Sabtu, 08 April 2023

Penganut Mazhab Syafii bermakmum dengan penganut mazhab Hanafi.

Penganut Mazhab Syafii bermakmum dengan penganut mazhab Hanafi.

Imam yang bermazhab hanafi tidak meyakini wajibnya membaca Al Fatihah, namun cukup ayat terpendek dalam Al Qur'an sudah cukup.

Sedangkan menurut mazhab syafii, membaca Al Fatihah adalah rukun shalat.

Imam bermazhab Syafii meyakini bahwa makan daging onta tidak membatalkan wudlu, sedangkan penganut mazhab Hambali meyakini bahwa memakan daging onta membatalkan wudlu.

Imam bermazhab Hambali meyakini bahwa mencium istri sendiri atau bersentuhan dengan wanita bila tanpa nafsu tidak membatalkan wudlu. 

Sedangkan menurut mazhab syafii menyentuh lawan jenis membatalkan wudlu.

Dan masih banyak lagi perbedaan pendapat di antara mazhab mazhab yang ada.

Bagaimana bila penganut mazhab Syafii berjamaah dengan imam yang bermazhab Hanafi atau Hambali, atau sebaliknya?

Padahal bisa jadi sebelum shalat, sang imam melakukan hal yang  oleh makmumnya diyakini membatalkan wudlunya?

Ada 3 pendapat  dalam hal ini:

Pendapat pertama: Shalat makmum tetap sah  dan sempurna, apapun mazhab dan keyakinan imamnya. Faidah berjamaah hanya melipat gandakan pahala shalat imam dan makmum, tidak berdampak pada rusak atau berkurangnya pahala makmum.

Pendapat kedua: Kesalahan imam dalam amalan atau keyakinan berdampak pada keabsahan dan kesempurnaan shalat makmumnya. Mengingat makmum adalah pengikut imamnya, sehingga kesalahan imam turut ditanggung makmunya, karena itu bila imamnya lupa maka makmum tetap harus mengikuti sujud sahwi bersama imamnya walaupun mereka tidak lupa.

Pendapat ketiga: Shalat makmum tetap sah dan sempurna, selama perbedaan keyakinan dan amalan antara imam dan makmun itu keduanya memiliki alasan. 

Adapun bila tidak ada alasan, alias imam melakukan kesalahan dengan sengaja dan makmum mengikuti kesalahan itu maka shalat makmum bisa saja turut batal atau berkurang kesempurnaan shalatnya.

Pada kasus perbedaan pendapat semisal di atas, masing masing imam dan makmum mengikuti dalil atau imam yang ia yakini benar atau berada di atas kebenaran.

Pendapat ketiga ini menurut Ibnu Taimiyyah adalah pendapat yang paling moderat.

Hadits berikut, salah satu dalil yang melatar belakangi Ibnu Taimiyyah memilih pendapat ini :
( يصلون لكم فإن أصابوا فلكم وإن أخطؤوا فلكم وعليهم )
Mereka (para pemimpin/khalifah) itu memimpin kalian mendirikan shalat, bila mereka memimpin shalat dengan benar maka kalian mendapat pahala shalat kalian dengan sempurna. Bila mereka melakukan kesalahan, maka dosa kesalahannya mereka yang memikulnya sedangkan pahala shalat kalian tetap sempurna". (AL Bukhari)

Silahkan berkunjung ke Majmu' Fatawa Ibnu taimiyyah 23/371-372)

Demikianlah seharusnya ummat islam bisa saling berlapang dada dalam menyikapi saudaranya yang berbeda pendapat, tidak perlu buat masjid sendiri hanya gara gara Imam Masjid pertama berbeda mazhab.

Perbedaan pendapat semisal di atas tidak dapat dielakkan, bukan hanya oleh kita di zaman sekarang, namun juga oleh ummat Islam sejak dahulu kala.

Jadi seusai shalat tidak usah gaduh atau memaki imam atau risau, perbedaan semacam ini biasa bin natural alias alami atau sunnatullah.

Yuk, sedikit mengintip perbedaan pendapat di kalangan para ulama' agar dada kita bisa lebih lapang dan hati kita bisa lebih dingin menghadapi perbedaan pendapat di tengah ummat.

Karena itu, saya mohon maaf kepada semua pengunjung halaman saya, bila komentar cibiran atau hujatan atau provokasi anda tidak saya respon, karena saya sedang menikmati itu semua, sebagai media mengasah hati dan telinga saya agar bisa selalu dingin dalam suasana perbedaan seperti ini.

Penasaran dengan sensasi belajar perbedaan ulama', anda bisa mencobanya di sini: https://pmb.stdiis.ac.id/
Ustadz Dr muhammad arifin badri Ma