Di kitab-kitab ushul aqidah kita akan menemukan kaidah-kaidah besar seperti larangan berdebat, perintah bersatu, larangan menyempal/nyeleneh, perintah taat kepada penguasa, shalat bersama penguasa, larangan memberontak, dll.
Ketika para ulama memasukkan sebagian permasalahan fiqih dan muamalat ke kitab-kitab aqidah, maka itu artinya ia bukan persoalan fiqih biasa sebagaimana persoalan lainnya, tapi memang berkaitan dengan pokok agama.
Tentu masing-masing hal tersebut ada rinciannya. Kapan debat itu dibolehkan.. Kapan boleh tidak taat penguasa, kapan boleh memberontak, dll.. Jadi memang tidak untuk dimutlakkan, melainkan ditekankan urgensinya dan diambil globalnya sebagai landasan beragama
Begitu pula jika seseorang menyelisihi pokok-pokok tersebut di atas, maka tidak otomatis keluar dari sunnah. Karena itu juga ada rinciannya. Seperti kata Imam Ibnu Taimiyyah:
وليس كل من خالف في شيء من هذا الاعتقاد يجب أن يكون هالكاً، فإن المنازع قد يكون مجتهداً مخطئاً يغفر الله خطأه
"Tidak setiap yang menyelisihi salah satu dari aqidah ini maka otomatis dia termasuk orang yang binasa, karena boleh jadi dia orang yang telah berijtihad kemudian keliru sehingga Allah ampuni dia..." dst. beliau menyebutkan udzur2 lainnya. Saya juga sudah menerjemahkan buku terkait ini dengan judul: Kapan seseorang keluar dari Ahlus Sunnah.
Walhasil, kita sikapi sesuatu sesuai porsinya dalam agama. Kalau itu furu', kita perlakukan sebagaimana furu'. Kalau ushul, maka jangan kita perlakukan seperti furu'. Adanya perincian dan pengecualian dari suatu masalah ushul tidak berarti kemudian ia 'turun level' menjadi permasalahan furu'.
Ustadz ristiyan ragil