Minggu, 23 April 2023

Setiap tahun sering terjadi perdebatan sengit antara dua belah pihak tentang perkara yang masih diperselisihkan

Setiap tahun sering terjadi perdebatan sengit antara dua belah pihak tentang perkara yang masih diperselisihkan, menjelang Ramadhan dua kubu berselisih tentang penetapan tanggal 1 Ramadhan dan metode yang digunakan untuk menetapkan tanggal 1 Ramadhan, dan juga terjadi perdebatan tentang jumlah raka'at shalat tarawih.

Ketika Ramadhan tiba, terjadi perdebatan apakah Al Qur'an benar-benar diturunkan pada tanggal 17 Ramadhan, atau tidak? Dan terjadi perdebatan apakah boleh merayakan peringatan Nuzulul Qur'an atau tidak? Kemudian ketika Ramadhan berakhir terjadi perdebatan lagi, apakah boleh membayar zakat dengan uang tunai atau tidak? Apakah boleh lebaran dengan metode rukyat atau hisab? 

Sepertinya perdebatan karena perkara ini terjadi setiap tahun bahkan dari kedua belah pihak saling merasa paling benar dan mengklaim bahwasanya pendapat mereka adalah yang paling benar, bahkan menjadikan tolak ukur apakah fulan adalah ahlussunnah atau bukan, tetapi yang saat ini sedang viral adalah apakah boleh menggunakan metode hisab dan apakah boleh membayar zakat secara tunai, ini saja yang akan saya tanggapi.

Terkait penentuan tanggal 1 Ramadhan dan tanggal 1 Syawal, dalam mazhab Syafi'i terdapat perbedaan meskipun pendapat yang mu'tamad (Resmi) adalah tidak menggunakan metode hisab dalam menentukan awal Ramadhan dan awal Syawal. 

Dari kalangan Syafi'iyah yang membolehkan metode hisab adalah Ar Ramli (Anak dan bapaknya; Syihabuddin dan Syamsuddin), Ath Thablawi, Asy Syubrumalisi. Menurut Syamsuddin Ar Ramli, bahwa hasil hisab dari seorang ahli falak wajib diikuti olehnya dan bagi yang percaya padanya.

Bahkan Syihab Ar Ramli menegaskan, tidak hanya hasil hisab yang mungkin dilihat oleh mata, bahkan jika tidak dapat dilihat oleh mata, jika hasil hisabnya menegaskan sudah masuk bulan baru, maka bisa diambil. Untuk lebih jelas bisa baca kitab yang berjudul "Ittihaful Anam Bi Ahkami Shiyam" karya Syaikh Dr. Zain Bin Muhammad Bin Husein Al Idrus atau Al Fawaid Al Madaniyah karya Syaikh Muhammad Bin Sulaiman Al Kurdi (Wafat tahun 1194 H).

Sedangkan untuk zakat fitrah dengan uang tunai, kita sering mendengar bahwasanya para ulama Mazhab Hanafi membolehkan membayar zakat secara tunai, tetapi ternyata bukan hanya para Ahnaf saja yang membolehkan. Ada beberapa ulama yang membolehkan meskipun bukan dari kalangan Ahnaf seperti Umar Bin Abdul Aziz, Thawus, Mujahid, Sa'id Bin Al Musayyab, Urwah Bin Zubair, Hasan Al Bashri, Al Auza'i, Al Laits, Ibnu Taimiyah dll. 

Bahkan dari kalangan ulama Syafi'iyah ada yang membolehkan karena melihat lebih banyak kemaslahatannya dalam membayar zakat secara tunai di zaman sekarang, sebagaimana dikatakan oleh Syihabuddin Ar Ramli (Wafat tahun 957 H) dalam kitab "Fatawa Ar Ramli", Syaikh Toha Bin Umar As Saqqaf (Wafat tahun 1093 H) dalam kitab "Al Majmu Limuhimmatil Masa'il Fil Furu'" dan Syaikh Muhammad Az Zuhaili dalam dua kitab beliau, "Al Mu'tamad Fil Fiqhi Syafi'i" dan "Al Fiqhul Manhaji". 

Jadi, sebenarnya apa yang diperdebatkan adalah permasalahan yang dianggap sebagai perkara khilafiyah yang seharusnya kita berlapang dada, karena tidak ada pengingkaran dalam masalah khilafiyah. 

Jika saya ditanya, apakah saya ikut pendapat yang membolehkan menggunakan metode hisab dan membayar zakat secara tunai? Dalam penentuan awal Ramadhan dan awal Syawal saya mengikuti pendapat yang penentuannya dengan rukyat hilal, dan dalam masalah menunaikan zakat secara tunai saya menunaikan zakat dengan makanan pokok, karena ada kaedah, "Al Khuruju Minal Khilafi Mustahab" (Dianjurkan untuk keluar dari perkara yang diperselisihkan)

Sebagai penutup, agar kita tidak mudah menyalahkan ada beberapa nasehat untuk diri saya sendiri dan pembaca:

1) Hendaklah kita belajar fiqih mazhab,  karena jika kita belajar fiqih mazhab kita tidak akan terlalu keras pada pendapat berbeda meskipun apa yang kita yakini lebih kuat.

2) Mempelajari fiqih perbandingan agar tahu bahwasanya masing-masing madzhab meski berbeda-beda, semuanya berlandaskan dalil. Terlepas ada yang rajih dan ada yang marjuh.

3) Mempelajari ushul fiqih agar mengetahui betapa rumitnya memahami dalil dan menyimpulkan hukum darinya.

4) Mempelajari mana yang termasuk perkara ijma' dan khilaf diantara para ulama.

5) Hendaklah banyak bercermin dan introspeksi diri, bahwasanya kita bukan apa-apa.

Allahu A'lam
Ustadz naufal