Menyorot kembali hadis doa buka puasa dzahaba adzh-dzhama’u (ذهب الظمأ)
ذَهَبَ الظَّمَأُ ، وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ ، وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Dalam rangkaian sanadnya, hadis ini diriwayatkan dari ‘Ali bin Hasan, dari al-Husain bin Waqid, dari Marwan al-Muqaffa’, dari Ibnu ‘Umar.
Ada perawi yang bernama Marwan bin Salim al-Muqaffa’ yang meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar.
Apa kata tokoh kritikus hadis terkait Marwan bin Salim al-Muqaffa’ ini?
Penulis Tahrir Taqrib at-Tahdzib:
“Majhul hal"
Abu Bisyr ad-Daulabiy mengatakan: “Ia berstatus munkar al-hadis”
Ibnu Hibban memasukkan Marwan ini dalam ats-Tsiqat, namun kita tahu bahwa Ibnu Hibban termasuk tokoh yang bermudah-mudahan dalam men-tausiq para majhul.
Al-Hakim mengatakan: “Shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim.” Pun kita mengetahui keterangan ini tidak cukup untuk menilai shahih sebuah hadits sebab keberadaan rawi dalam shahihain tidak memiliki kekuatan yang sama jika rawi yang dimaksud ada di luar shahihain, karena nantinya akan terkait dengan banyak hal semisal keadaan gurunya.
Al-Hakim mengatakan: “Bukhari dan Muslim menjadikan al-Husain bin Waqid dan Marwan sebagai hujjah.”
Terkait ucapan al-Hakim ini, Ibnu Hajar -dalam Tahdzib-: “Al-Hakim menyangka bahwa Bukhari menjadikan Marwan sebagai hujjah. Al-Hakim keliru dan sepertinya al-Hakim menganggap Marwan al-Muqaffa’ adalah Marwan al-Asfar.”
Terkait Marwan al-Muqaffa’, Ibnu Hajar mengatakan: “Maqbul.” Kita tau bahwa ungkapan maqbul dari Ibnu Hajar menjadi maqbul jika rawi yang dimaksud memiliki mutaba’ah, sementara dalam hadits yang kita bicarakan Marwan tidak memiliki muta’bi, tidak ada mutaba’ah. Dari sekian banyak murid Ibnu ‘Umar, lebih dari 200 murid, hanya Marwan bin Muqaffa’ yang meriwayatkan hadits ini. Pun tidak ada sahabat yang meriwayatkan hadits/doa ini selain Ibnu ‘Umar.
Daraquthniy menilai hadits ini hasan, namun kita mengetahui bahwa makna hasan dalam penggunaan para mutaqaddimin lebih luas dibanding hasan dalam istilah mutaakhirin sehingga ucapan Daraquthniy tidak bisa menjadi acuan penilaian status hasan dalam istilah ilmu hadits.
Kesimpulan.
1. Hadits di atas adalah hadits gharib. Hanya Ibn Umar yang meriwayatkannya dari sekian banyak sahabat. Para ulama, untuk semisal do’a agung ini dan terulang dibaca oleh nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada sekian banyak puasa yang beliau jalani, mungkinkah para istri dan banyak sahabat beliau tidak meriwayatkan do’a ini? Padahal para istri dan sahabat beliau adalah sosok-sosok yang paling meneladani dan mencari tahu perihal kehidupan beliau.
2. Tafarrud seorang rawi majhul hal, yaitu Marwan bin al-Muqaffa’. Disebut majhul karena hanya ada dua perawi mengambil hadits darinya, dan tidak ada tokoh nuqqad memberikan keterangan tautsiq.
Tafarrud artinya riwayat dari Ibnu Umar hanya diriwayatkan oleh Marwan bin al-Muqaffa’ ini. Di antara lebih dari 200 murid Ibnu Umar, tidak ada yang meriwayatkan hadits ini. Inilah tafarrud. Kenap tidak ada murid yang lebih tsiqah menerima hadits ini dari Ibnu Umar? Tafarrudnya seorang majhul hal termasuk dalam kategori dhaif. Karena itu, Ibnul Qayyim dalam Zad al-Ma’ad menyebutkan hadits ini shighah tadh’if.
3. Syaikhuna Abul Hasan ‘ali Jadullah mengatakan, dhaif seperti ini termasuk dhaif syadid, tidak bisa diamalkan. Pula kaidah dhaif bisa diamalkan dalam fadhilah amal adalah kaidah yang masih diperselisihkan. Pula, kaidah tersebut tidak berlaku pada dhaif syadid.
4. Bahkan sebagian jalur yang disebutkan Ibnu Abi ad-Dunya, ada riwayat mursal di mana Marwan bin al-Muqaffa’ mengatakan: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam …. “ Yang menegaskan riwayatnya terputus.
Ustadz yani fahriansyah