Selasa, 11 April 2023

TA`LIF DI ANTARA SESAMA KAUM MUSLIMIN

TA`LIF DI ANTARA SESAMA KAUM MUSLIMIN 

Tulisan tentang ta`lif ini ditujukan terutama kepada yang mengidolakan ulama semisal Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah dan/atau Grand Sheikh al-Azhar Ahmad Thayyib… 

Salah satu kutipan favorit saya dari Ibnu Taimiyyah—rahimahullah: 

والناس يعلمون أنه كان بين الحنبلية والأشعرية وحشة ومنافرة وأنا كنت من أعظم الناس تأليفا لقلوب المسلمين وطلبا لاتفاق كلمتهم واتباعا لما أمرنا به من الاعتصام بحبل الله وازلت عامة ما كان فى النفوس من الوحشة وبينت لهم أن الأشعرى كان من أجل المتكلمين المنتسبين الى الإمام أحمد رحمه الله ونحوه المنتصرين لطريقه كما يذكر الأشعرى ذلك فى كتبه

“Orang-orang mengetahui bahwa antara kalangan Hanbaly dan Asya’irah terjadi ketegangan dan pertikaian. Sedangkan saya termasuk kalangan yang sangat menginginkan ta`lif dan persatuan kalimat di kalangan kaum muslimin, dalam rangka mengikuti perkara yang diperintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan tali (agama) Allah. Saya (berusaha) menghilangkan ketegangan-ketegangan tersebut dari jiwa-jiwa (yang bertikai). Saya jelaskan bahwa al-Asy’ary adalah termasuk yang paling mulia dari kalangan Mutakallimin yang bernisbat kepada Imam Ahmad—dan semisal beliau—serta menguatkan metode beliau, sebagaimana disebutkan oleh al-Asy’ary dalam karya-karya tulis beliau.” 

Selanjutnya Ibnu Taimiyyah secara adil dan proporsional lebih mengunggulkan al-Asy’ary dibandingkan sebagian Hanbaly—yang notabene merupakan mazhab afiliasi beliau. Lalu beliau berkata, 

وأما الأشعرى فهو أقرب الى أصول أحمد من ابن عقيل واتبع لها فإنه كلما كان عهد الانسان بالسلف أقرب كان أعلم بالمعقول والمنقول

“Adapun al-Asy’ary maka beliau lebih dekat dan lebih mengikuti Ushul (prinsip-prinsip akidah) Imam Ahmad dibandingkan Ibnu ‘Aqil (al-Hanbaly). Semakin seseorang itu lebih dekat masanya dengan Salaf, maka ia semakin lebih mengetahui ilmu penalaran maupun periwayatan.”  

Setelah melengkapi uraian di atas, beliau berkata, 

ولما أظهرت كلام الأشعرى ورآه الحنبلية قالوا هذا خير من كلام الشيخ الموفق وفرح المسلمون باتفاق الكلمة وأظهرت ما ذكره ابن عساكر فى مناقبه أنه لم تزل الحنابلة والأشاعرة متفقين الى زمن القشيرى فإنه لما جرت تلك الفتنة ببغداد تفرقت الكلمة ومعلوم أن فى جميع الطوائف من هو زائغ ومستقيم

“Tatkala saya menampilkan ucapan al-Asy’ary di hadapan kalangan Hanabilah, mereka pun berkata, ‘Ini lebih baik dibandingkan ucapan Syaikh al-Muwaffaq.’ Kaum muslimin pun bergembira dengan persatuan kalimat. Saya juga menampilkan apa yang disebutkan oleh Ibnu ‘Asakir dalam ‘Manaqib’-nya bahwa HANABILAH DAN ASYA'IRAH TIDAKLAH BERTIKAI sampai dengan zaman al-Qusyairy. Ketika terjadi fitnah tersebut di Baghdad maka terceraiberaikanlah kalimat kaum muslimin. Merupakan perkara yang umum diketahui bahwa PADA TIAP GOLONGAN ITU ADA ORANG YANG LURUS (ADIL) DAN ADA PULA YANG MENYIMPANG (EKSTREM).” [Ref.: Majmu’ Fatawi Ibn Taimiyyah, vol. III, hlm. 227-229.] 

Jadi, meskipun Ibnu Taimiyyah di satu sisi dikenal kritiknya—secara normatif—terhadap Asy’ariyyah, bahkan sebagiannya bisa dibilang cukup “pedas”, namun di sisi lain beliau tetap mengupayakan ta`lif di kalangan kaum muslimin, termasuk antara Hanabilah dan Asy’ariyyah. Secara person to person, sikap baik beliau terhadap kalangan yang menyelisihi beliau pun juga dikenal. Misalnya sikap beliau kepada Ibnu Makhluf dan ‘Alauddin al-Bajy. Jadi tidak bisa disamakan antara kritik secara konsep/normatif dengan penyikapan secara personal. Terlebih telah dikenal dari manhaj beliau adanya pembedaan antara hukum an-nau’ (normatif/konsep) dan hukum al-‘ayn (personal). Di samping juga makruf dari pandangan beliau bahwa kalangan penyelisih tidak harus disikapi dengan cara keras atau boikot (hajr), melainkan juga bisa disikapi dengan ta`lif dan lemah lembut, sesuai dengan tuntutan kemaslahatan. 

Tentunya selain kritik, Ibnu Taimiyyah juga memiliki ucapan-ucapan positif terhadap Asya’irah. Hal ini seharusnya tidak asing bagi kalangan pengkaji pemikiran Ibnu Taimiyyah. 

Intinya, sekali lagi, Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa beliau sangat concern untuk mengupayakan persatuan (ta`lif) di kalangan kaum muslimin, termasuk di antara Hanabilah dan Asy’ariyyah. Jadi, sekiranya ada upaya provokasi untuk memecah-belah di kalangan kaum muslimin, termasuk antara kalangan Hanbaly dengan Asy’ariyyah, maka ini tentu tidak sejalan dengan semangat Ibnu Taimiyyah—sebagaimana kutipan di atas.

Btw, sebelum saya lanjutkan, ketika saya di tengah-tengah menuliskan draft status ini, saya melihat status yang bagus dari seorang kawan yang kiranya cukup relevan dengan bahasan ini.  Beliau mengutip ucapan dari seorang alim dari kalangan Salafy: Syaikh Hammad al-Anshary—rahimahullah, yang beliau merupakan keturunan dari seorang Sahabat: Sa’d bin ‘Ubadah al-Anshary—radhiyallahu ‘anhu. 

Syaikh Hammad al-Anshary berkata, 

يجب أن تحترم العلماء لعلمهم حتى لو كانوا أشاعرة أو ماتردية ...

“ANDA WAJIB MENGHORMATI ULAMA KARENA ILMU MEREKA, meskipun mereka dari kalangan Asya’irah dan Maturidiyyah....” [Ref.: al-Majmu’ fi Tarjamah al-`Allamah al-Muhaddits asy-Syaikh Hammad bn Muhammad al-Anshary, penyusun: ‘Abdul-Awwal bin Hammad al-Anshary, vol. I, hlm. 557.] 

Upaya yang baik untuk men-ta`lif di kalangan kaum musimin tentu juga dilakukan kalangan afiliasi lainnya. Misalnya yang dilakukan oleh Grand Sheikh of al-Azhar: Syaikh Ahmad Thayyib, ketika beliau mengkritik sebagian hasil Muktamar Chechnya—yang dinilai memantik kebencian terhadap sebagian afiliasi—sebagaimana wawancara CNN kepada beliau pada tahun 2016.  

Link (SS terlampir):  
https://arabic.cnn.com/middleeast/2016/11/19/azhar-grozny-conference-islam 

Di antara ucapan Syaikh Ahmad Thayyib—sebagaimana link di atas: 

علمنا في أبحاثنا بالدراسات العليا أن أهل السنة والجماعة هُم الأشاعرة والماتريدية، وأهل الحديث – وهم السلفيون- وأن فقهاء الحنفية والمالكية والشافعية والحنابلة، لم يخرجوا من عباءة هذا المذهب، كما يقول سلطان العلماء عز الدين بن عبد السلام

“Kami mengetahui dari pembahasan-pembahasan kami pada jenjang pendidikan lanjutan, bahwa Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah adalah Asya’irah, Maturidiyyah dan ahli hadis—yaitu kalangan Salafy—serta bahwa para ahli fikih kalangan mazhab Hanafy, Maliky, Syafi’iy, dan juga Hanbaly, tidak keluar dari cakupan Ahli Sunnah tersebut—sebagaimana dikatakan oleh sultan para ulama: ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam.” 

Adapun dari kalangan ulama Indonesia, juga ada upaya ta`lif, semisal yang dilakukan oleh Prof. Dr. KH Ali Mustafa Yaqub, MA—rahimahullah—melalui karya beliau: “Titik Temu Wahabi-NU” (SS terlampir). 

Selanjutnya, saya ingin menutup tulisan ini dengan ajakan untuk merenung: 

— Kalau kita bisa nyaman hidup damai berdampingan dengan para pemeluk agama lain, maka tidak bisakah kita juga hidup damai berdampingan dengan yang masih sesama kaum muslimin, bahkan sama-sama berusaha meneladani Salaf dan bernisbat kepada Sunnah? 

— Apa maslahatnya jika kita memakai redaksi yang mempersekusi dan memprovokasi kaum muslimin untuk saling bertikai sesama mereka? 

— Kalau kita diajarkan tentang betapa bahayanya tertumpahnya darah seorang muslim, maka perlu diingat bahwa yang diharamkan itu bukan hanya darah mereka, melainkan juga kehormatan mereka. 

— Kalau kita diajarkan untuk concern menjaga nikmat aman suatu negeri, maka kenapa membenarkan sikap provokatif yang berpotensi mengoyak keamanan dalam masyarakat negeri tersebut? 

Silakan renungkan... 

Tentunya masing-masing kita berhak untuk mengutarakan apa yang diyakininya sebagai kebenaran, serta melaksanakan amr ma’ruf nahy munkar berdasarkan keyakinannya tersebut. Tapi bagaimana cara penyampaian dan pelaksanaannya secara baik itu adalah perkara penting yang tidak boleh diabaikan. 

Semoga Allah Ta’ala memperbaiki kondisi seluruh kaum muslimin. Wallahul-muwaffiq.  

AKu – Adni Kurniawan 
MAGFIRA Project  
15/05/2022