Polemik menghadiahkan pahala.
Ini salah satu tema yang sengit diperselisihkan di tengah masyarakat kita.
Tahukah anda bahwa Imam Ahmad bin Hambal, dan juga Ibnu Taimiyah rahimahumallah termasuk yang menyatakan bahwa praktek menghadiahkan pahala kepada orang yang telah meninggal dunia itu boleh dan bisa sampai?
Namun apakah mereka mengajarkan batasan waktu tertentu seperti 3, 7, 40, setahun untuk praktek pengiriman pahala tersebut?
Jawabaannya tidak.
Pendapat di atas ditentang oleh ulama lain, salah satunya oleh Imam Syafii dalam salah satu pendapatnya.
Uniknya, sebagian dalil kedua pendapat ini sama, hanya saja beda cara pendalilannya.
Misalnya: hadits tentang menghajikan orang yang sudah meninggal dunia atau mengqadho’ puasanya.
Yang membolehkan berdalil bahwa kedua dalil di atas bukti nyata adanya konsep kirim pahala kepada orang lain.
Namun yang menolak, berdalil bahwa kedua dalil itu
Justru menolak pengiriman pahala, karena hanya ibadah ibadah tertentu yang dibolehkan adanya perwakilan, andai konsep kirim pahala terbuka lebar niscaya Nabi shallalahu alai wa sallam membuat pernyataan yang bersifat umum, sehingva mudah dipahami dan tidak timbul kesalah pahaman di tengah ummatnya.
Ditambah lagi konsep dasar dalam ibadah adalah tauqifi alias tidak berlaku kaedah qiyas.
Dan masih panjang diskusi antara dua pendapat di atas.
Silahkan simak kelanjutannya di Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah atau kitab lainnya yang membantah pendapat Ibnu Taimiyyah.
Yang jelas, Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyyah tidak dianggap ahli bid’ah karena berpendapat seperti di atas dan sebaliknya yang menolak pendapat itu juga tidak diponis keluar dari rumah besar Ahlussunnah wa al jamaah.
Asyik kan mengikuti diskusi antara ulama’ itu?
Tahukah anda bahwa matkul fiqih di kampus ini https://pmb.stdiis.ac.id/ menggunakan fiqih muqaranah/perbandingan dengan kitab Bidayatul Mujtahid sebagai referensi utamanya.
Ustadz Dr muhammad arifin badri Ma