Minggu, 11 Februari 2024

TERTULAR GAYA

TERTULAR GAYA

Bismillahirrahmanirrahim

Bukan hanya penyakit badan yang bisa menular dari satu manusia kepada manusia lainnya, akan tetapi gaya berpakaian, gaya hidup, gaya berbicara bisa menular dari satu kaum kepada kaum lainnya. Orang kafir, munafik, fasiq, ahli bid'ah hati mereka berpenyakit walaupun jasmani mereka tampak sehat. Hal ini telah difirmankan Allah -ta'ala- dalam Firman-Nya: 

فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٞ فَزَادَهُمُ ٱللَّهُ مَرَضٗاۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمُۢ بِمَا كَانُواْ يَكۡذِبُونَ 

"Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu ; dan mereka mendapat azab yang pedih karena mereka berdusta." QS. Al-Baqarah: 10

Sakit yang ada dalam hati mereka, bisa menular kepada kaum muslimin, karenanya kita dilarang loyal dan tasyabbuh kepada mereka. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata: "Secara umum, kekufuran kedudukannya seperti penyakit hati bahkan lebih. Kapan saja hati itu sakit, maka anggota badan tidak akan sehat secara sempurna. Terlebih kebaikan itu hanyalah dengan tidak tasyabbuh kepada orang yang sakit hatinya dalam perkara apapun, walaupun tersembunyi bagimu penyakit anggota badannya. Akan tetapi cukup bagimu bahwa kerusakan pokok (hati) pasti mempengaruhi kerusakan cabang (anggota badan). 
(iqtidho Shirothil Mustaqim, hal. 125, cet. Darul Fadhilah, Riyadh)

Orang yang meniru kaum apapun baik orang kafir, fasik, lelaki meniru pria, atau pria meniru wanita dalam pakaian misalnya. Lama kelamaan sifat dan karakter mereka akan tertular dan tertiru. Yang sangat berbahaya kalau sekiranya pola pikir dan watak mereka juga tertular sehingga sulit menerima hidayah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata: "Dan Sungguh Allah telah mengutus Muhammad -shallallahu 'alaihi wasallam- dengan hikmah yaitu sunnahnya. Dan ia adalah syariat dan minhaj (metode) yang Allah syariatkan untuknya. Maka diantara hikmah ini, Allah syariatkan berupa perbuatan dan perkataan yang menyelisihi jalan orang yang dimurkai dan yang disesati. Allah memerintahkan untuk menyelisihi mereka dalam hidayah (ajaran) yang nampak, walaupun tidak nampak keburukan meniru mereka bagi kebanyakan orang, diantaranya:

Bahwa berserikat dengan mereka dalam ajaran yang nampak akan mewariskan kesesuaian, kemiripan antara dua orang yang meniru dan ditiru, yang menyeret kepada kesesuaian akhlak, dan perbuatan. Dan perkara ini bisa dibuktikan dengan panca indra. Karena orang yang memakai pakaian ahli ilmu, ia akan mendapati dalam hatinya semacam tergabungnya mereka bersama ahli ilmu. Dan orang yang memakai pakaian tentara perang misalnya, ia mendapati dalam hatinya semacam berakhlak dengan akhlak mereka. Tabiat mereka menjadi saling menarik, kecuali dihalangi oleh suatu penghalang.

(Iqtidho Shirothil Mustaqim, hal 24, cet. Darul Fadhilah, Riyadh) 

Hal yang dikatakan Syaikhul Islam memang bisa kita rasakan, ketika kita memakai gamis, atau baju ibadah, atau pakaian penuntut ilmu dan ulama, maka watak, kepribadian, gaya, cara bicara menjadi sesuai dengan pakaiannya. Ketika kita memakai baju tentara atau polisi, maka ketika berjalan kita merasa seperti polisi, sehingga cara berperilaku dan berbicara pun mirip dengan mereka. Dan ketika seseorang memakai baju anak band, style anak hip-hop atau hardcore, antum akan dapati pada  yang memakainya watak, kepribadian, perilaku, cara bicara, gaya berjalan akan sama dan mirip sama anak-anak stylish hip-hop dan selainnya. Jadi apakah pantas sebagai salafi bergaya seperti mereka?

Kalau ada yang mengatakan bahwa pakaian street wear lebih syar'i dibanding gamis yang dipakai ikhwan, tentu itu penilaian dari hawa nafsu, dan tidak ada satupun ulama yang mengatakannya.

Syaikh Islam -rahimahullah-  berkata: "Dan telah diriwayatkan untuk masalah ini dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar -radhiyallah anhuma- dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- bahwa beliau melarang tasyabbuh dari bangsa 'ajam. Beliau bersabda:

من تشبه بقوم فهو منهم

'Barang siapa meniru suatu kaum, dia termasuk bagian dari mereka' Disebutkan oleh Al-Qodhi Abu Ya'la.

Dengan hadits ini, bukan hanya seorang ulama yang berhujjah tentang makruhnya pakaian selain kaum muslimin. Berkata Muhammad bin Abi Harb: Imam Ahmad ditanya tentang sendal dari Sind, dipakai untuk keluar, maka ia memakruhkannya untuk laki-laki dan wanita. Dan dia berkata: "Apabila untuk masuk WC, dan berwudhu (tidak mengapa) , dan aku tidak menyukai Ash-Shorror (jenis sendal bangsa 'ajam)" dan ia berkata: "itu termasuk busana bangsa 'ajam" 

Said bin Jubair -rahimahullah- berkata: "Sunnah Nabi Kami lebih kami sukai dibandingkan Sunnah Bakihan (raja India)"

(Iqtidho Shirothil Mustaqim, hal 165)

Semoga bermanfaat

Dika Wahyudi
Karawang, 10 Februari 2024