[ Lebih Baik yang Kuat Tapi Tidak Shalih ? ]
Imam Ibnu Taimiyah di kitabnya 'As-Siyasah Asy-Syar'iyyah' mengutip, bahwa Imam Ahmad pernah ditanya seperti ini :
"Seandainya ada dua orang yang menjadi "panglima perang", yang satu "kuat" tapi "suka maksiat", dan yang satu lagi "shalih" tapi "lemah". Dengan siapa sebaiknya kita berperang?"
Imam Ahmad menjawab :
"Yang suka maksiat akan tetapi kuat ; manfaat dari kekuatannya menguntungkan umat Islam, sedangkan dampak dari kemaksiatannya merugikan dirinya sendiri.
Adapun yang shalih tapi lemah, kebaikannya hanya untuk dirinya, sedangkan kelemahannya merugikan umat Islam. Maka perang dilakukan di bawah komando panglima perang yang kuat meskipun suka maksiat."
Ini adalah jawaban Imam Ahmad, dengan konteks yang tertentu dan dengan pertimbangan kondisi saat itu pastinya.
Maka dari itu kita tidak bisa menerapkan jawaban Imam Ahmad dalam bidang yang lain. Terlebih lagi jika kita mencermati pernyataan Ibnu Taimiyah sebelum mengutip jawaban Imam Ahmad di atas.
Salah satunya kalam Ibnu Taimiyah berikut ini :
فالواجب في كل ولاية الأصلح بحسبها، فإذا تعين رجلان أحدهما أعظم أمانة والآخر أعظم قوة قدم أنفعهما لتلك الولاية وأقلهما ضررا فيها
Kesimpulan dari apa yang disampaikan beliau adalah :
- Keharusan memilih yang paling maslahat untuk bidang yang dipimpin.
- Yang dijadikan petimbangan dalam mengukur maslahat adalah jenis jabatan dan tugasnya.
- Seandainya ada dua kandidat ; yang satu dominan sifat amanahnya, sedangkan yang lainnya dominan sifat kuatnya, diutamakan yang paling besar manfaatnya dan paling kecil dampak buruknya untuk jabatan tersebut.
Setelah memberikan kesimpulan tersebut, Ibnu Taimiyah mengutip jawaban Imam Ahmad di atas.
Sehingga kesimpulannya tidak selalu yang dominan kuat yang lebih diutamakan. Harus melihat jenis jabatan dan tugas yang diemban.
| Fajri Nur Setyawan |