[ Apakah Syari’at Menentukan Satu Cara Tertentu Memilih Pemimpin dan "Mengharamkan" Cara yang Lain ? ]
Ada satu kalam menarik dari Imam Ibnu Qudamah dari kitabnya “Raudhatun Nazhir”, yang kami pelajari beberapa tahun silam. Kalam ini ada di dalam pembahasan berkaitan dengan “qiyas”.
Berikut ini kalam Imam Ibnu Qudamah yang kami maksud :
فأما التعبد به شرعًا : فالدليل عليه: إجماع الصحابة -رضي الله عنهم- على الحكم بالرأي في الوقائع الخالية عن النص.
فمن ذلك : حكمهم بإمامة أبي بكر -رضي الله عنها- بالاجتهاد مع عدم النص، إذ لو كان ثم نص لنقل، ولتمسك به المنصوص عليه. وقياسهم العهد على العقد، إذ عهد أبو بكر إلى عمر -رضي الله عنهما- ولم يرد فيه نص، لكن قياسًا لتعيين الإمام على تعيين الأمة
Kesimpulan terpenting dari kalam ini adalah :
Pertama, para sahabat Nabi Muhammad sepakat menggunakan sarana “ijtihad” dalam menentukan hukum untuk masalah-masalah yang tidak ditemukan sama sekali “nash”.
Ke dua, para sahabat Nabi Muhammad sepakat menggunakan perantara “ijtihad” dalam menetapkan khalifah setelah Nabi Muhammad wafat.
Satu kenyataan yang tidak bisa dibantah adalah sampai sebelum wafatnya, Nabi Muhammad tidak menentukan secara “nash” siapa yang menjadi pemimpin umat Islam setelah beliau ?
Jadi menurut Imam Ibnu Qudamah, penetapan Abu Bakar sebagai khalifah bukan berdasarkan “nash” Qur’an maupun Hadits. Karena memang tidak ada “nash” dalam masalah ini.
Ke tiga, penetapan Umar bin Khathab sebagai khalifah “berbeda” dengan penetapan Abu Bakar sebagai khalifah.
Ke empat, ‘Umar Al-Faruq menjadi khalifah dengan cara langsung ditunjuk oleh Abu Bakar As-Shidiq.
Yang paling menarik menurut saya adalah kalimat Ibnu Qudamah :
قياسًا لتعيين الإمام على تعيين الأمة
Bahwa penetapan ‘Umar sebagai khalifah, yaitu melalui penunjukan Abu Bakar, adalah mengqiyaskan penunjukan pemimpin sebelumnya kepada penunjukan umat Islam.
Artinya yang menjadi “landasan” (al-ashlu) adalah cara memilih khalifah setelah Nabi Muhammad. Yang ketika itu adalah “ta’yinul ummah” (umat Islam yang sepakat memilih Abu Bakar).
Sedangkan Umar terpilih menjadi khalifah adalah dengan cara “ta’yinul imam” (penunjukan dari pemimpin sebelumnya).
Kesimpulan yang ingin kami utarakan di sini adalah :
Penetapan dua khalifah di atas dilakukan dengan cara yang berbeda. Yang mengisyaratkan tidak adanya cara tertentu yang diharuskan syari’at dalam menentukan pemimpin.
Ini bukan dalam rangka membahas “cara terbaik” memilih pemimpin. Sekali lagi fokus pembahasannya adalah :
“Apakah Islam menentukan satu cara tertentu untuk memilih pemimpin dan mengharamkan cara memilih pemimpin yang lain ?”
Dengan pemaparan di atas insyaallah sudah jelas jawabannya. Maka dari itu yang menyatakan : “Hanya ada satu cara yang wajib digunakan dan haram cara yang lain” ; dia dituntut mendatangkan dalilnya.
Lebih jauh dari itu pihak yang mengatakan : “Yang ikut serta “nyoblos” maka murtad”.
Itu artinya menganggap “perbuatan” “nyoblos” sebagai salah satu “pembatal ke-islaman”.
Maka dari itu kami tidak heran ketika mengetahui banyak ulama kontemporer yang memperbolehkan memanfaatkan hak memilih, ikut serta dalam memilih pemimpin, di saat tidak ditemukan “nash” yang membatasi satu cara tertentu dan tidak ada “nash” yang mengharamkan cara yang lain.
Untuk pembahasan apakah “wajib” atau “mustahab” ? Bisa dikaji melalui pendekatan beberapa kaidah Fiqih.
Yang populer dikaitkan dengan masalah ini adalah kaidah “memilih mudharat yang lebih kecil”. Sebenarnya bisa juga melalui pendekatan kaidah “al-wasail laha ahkamul maqashid”.
Wallahu a’lam
[ Fajri Nur Setyawan ]