LALU SAYA MEMUTUSKAN UNTUK TIDAK BELAJAR LAGI KEPADA GURU ITU
BISMILLAAH
KETIKA SAYA MASIH MENGHADIRI MAJELIS PENGAJIAN TAREKAT
Dalam perjalanan umur saya, saya pernah menyibukkan diri untuk mempelajari kajian sufi atau tarekat beberapa dalam tahun. Ada dengan cara mendatangi guru-guru tarekat dan ada pula dengan membaca buku-buku tarekat.
Di antara buku-buku ajaran sufi yang pernah saya baca dan pelajari ialah: kitab-kitab Imam Al-Ghazzaliy, beberapa karangan Buya Hamka semisal Tasawuf Moderen, Al-Hikam ‘Athaillah, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf karangan Mustafa Zahri, Ad-Durrun Nafis Al-banjariy dan lain-lain.
Sedangkan guru-guru tarekat yang saya kunjungi ada yang menganut Tarekat Syattariyah dan ada pula Tarekat Naqsyabandiyah, di berbagai daerah di Sumatera Barat.
KETIKA DIAJAK SEORANG TEMAN BERBAI’AT DI NAGARI KETAPING
Pernah ada seorang teman mengatakan bahwa tak jauh dari rumahnya, ada sebuah surau yang ada pertemuan pengajian tarekat rutin dan dia turut serta dalam majelis tersebut. Di Nagari Ketaping, Padang Pariaman. Maka saya dan teman tadi pun ikut hadir pada malam yang dijadwalkan, setelah dia meminta izin kepada guru itu bahwa saya akan mengaji kepadanya. Saya tak ingat apakah di sana kami shalat isya berjemaah atau di tempat lain sebelum ke sana.
Pengajian tarekat itu diadakan di sebuah surau berlantai dua, yaitu di lantai atasnya. Saat ini saya tak ingat lagi di mana lokasi pastinya karena Nagari Ketaping telah mengalami perubahan besar-besaran sejak dibangun Bandara Udara Internasional Minangkabau.
Kami bergabung dengan beberapa jemaah lain. Sebelum Ungku (panggilan guru itu) melakukan pembai’atan untuk kami, kami meletakkan infak di dalam piring porselen yang diletakkan di tengah majelis.
Lalu Ungku mulai menyampaikan pengajian tarekat, setelah dibuka dengan ucapan bai’at. Secara umum, isi pengajiannya sama dengan pengajian-pengajian tarekat sebelumnya yang pernah saya ikuti. Cuma ada dua penjelasannya yang membikin saya terkejut:
1. Jika telah berlalu 6 bulan, maka bai’at telah kosong atau tak berfungsi lagi. Mesti diperbaharui.
2. Para jemaah yang berbai’at kepada Ungku ini, berarti dalam alam ruh dulu adalah roh-roh yang menghadap kepada Allah ta’ala ketika Dia berfirman: “Alastu birabbikum…”
Sedangkan yang tidak ikut berbai’at, berarti dulu di alam ruh, dia adalah menyamping atau membelakang. Dia katakan bahwa ketika Allah ta’ala berfirman itu, ada ruh yang menghadap, ada yang menyamping dan pula yang membelakang.
Dua poin menjadi obyek pikiran saya sehingga saya pun mencari tahu dari berbagai sumber.
ANALISA POIN PERTAMA BAHWA SETELAH ENAM BULAN, BAI’AT TAREKAT HARUS DIPERBAHARUI
Bai’at kajian tarekat adalah semacam akad janji setia antara guru dan murid. Boleh jadi tujuan pengadaan bai’at adalah untuk persyaratan mengikuti pelajaran dengan guru itu. Secara umum, semua persyaratan yang tidak berisikan hal-hal yang bertentang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah boleh diterapkan.
Tapi, persoalan jadi berbeda ketika dikatakan bahwa setelah berlalu waktu 6 (enam) bulan, bai’at telah kadaluwarsa dan mesti diperbaharui. Ini adalah hal yang tidak ada dasarnya. Tak ada dalam ajaran islam bahwa iman akan habis ketika telah berlalu rentang waktu tertentu. Kecuali manakala orang itu murtad atau melakukan perbuatan kekufuran yang menyebabkan dia tanggal iman atau keislaman.
Allah ta’ala berfirman:
{الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ (82)} [الأنعام: 82]
“Orang-orang yang telah beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(QS. Al-An’am:82)
ANALISA POIN KEDUA BAHWA ORANG YANG BERBAI’AT KEPADA GURU INI ADALAH DAHULU KETIKA DI ALAM RUH, ROHNYA MENGHADAP KEPADA ALLAH TA’ALA KETIKA DIA BERFIRMAN “ALASTU BIRABBIKU…”
Adapun tentang Allah ta’ala berfirman kepada roh semua manusia pada suatu masa dahulu, memang ada di dalam Al-Qur’an, yaitu firman:
{وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ (172) أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ آبَاؤُنَا مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِنْ بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ (173) وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ وَلَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (174)} [الأعراف: 172 - 174]
“Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu telah mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Rabb kalian?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi."
(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Rabb)";
Atau agar kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Rabb sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?" Dan demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu, agar mereka kembali (kepada kebenaran).”
(QS. Al-A’raaf:172-174)
Pengarang Kitab Al-Mishbah Al-Munir fi Tahdzib Tafsir Ibn Katsir menulis:
“Allah ta’ala mengabarkan bahwa sesungguhnya Dia telah mengeluarkan keturunan Anak Adam dari tulang-tulang sulbi mereka, dalam kondisi mempersaksikan atas diri mereka sendiri bahwa Allah ta’ala adalah Rabb (Pencipta) dan Penguasa mereka; Dan bahwa sesungguhnya tiada ilah yang berhak diibadahi selain Dia. Sebagaimana juga Dia menciptakan fithrah dan watak mereka di atas itu.”
(Al-Mishbah Al-Munir, cetakan Ad-Dar Al-‘Alamiyah Kairo, 1437 H-2016 M, 1/523)
Artinya, dipahami dari ayat di atas bahwa semua roh telah menghadap kepada Allah ta’ala dan telah melakukan perjanjian.
Dan dalam dua hadits shahih ini, kita dapati penjelasan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang itu:
Hadits pertama:
6557 - حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي عِمْرَانَ، قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى لِأَهْوَنِ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا يَوْمَ القِيَامَةِ: لَوْ أَنَّ لَكَ مَا فِي الأَرْضِ مِنْ شَيْءٍ أَكُنْتَ تَفْتَدِي بِهِ؟ فَيَقُولُ: نَعَمْ، فَيَقُولُ: أَرَدْتُ مِنْكَ أَهْوَنَ مِنْ هَذَا، وَأَنْتَ فِي صُلْبِ آدَمَ: أَنْ لاَ تُشْرِكَ بِي شَيْئًا، فَأَبَيْتَ إِلَّا أَنْ تُشْرِكَ بِي "
Muhammad bin Basysyar telah menyampaikan hadits kepadaku, (yang mengatakan bahwa) Ghundar telah menyampaikan hadits kepada kami, (yang mengatakan bahwa) Syu’bah telah menyampaikan hadits kepada kami, dari Abu ‘Imran yang menuturkan, “Aku telah mendengar Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang telah bersabda,
" يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى لِأَهْوَنِ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا يَوْمَ القِيَامَةِ: لَوْ أَنَّ لَكَ مَا فِي الأَرْضِ مِنْ شَيْءٍ أَكُنْتَ تَفْتَدِي بِهِ؟ فَيَقُولُ: نَعَمْ، فَيَقُولُ: أَرَدْتُ مِنْكَ أَهْوَنَ مِنْ هَذَا، وَأَنْتَ فِي صُلْبِ آدَمَ: أَنْ لاَ تُشْرِكَ بِي شَيْئًا، فَأَبَيْتَ إِلَّا أَنْ تُشْرِكَ بِي "
Allah ta’ala berkata pada hari kiamat kepada penduduk Neraka yang paling enteng siksaannya, “Sekiranya kepunyaanmu semua yang ada di bumi, apakah kamu akan menebus dirimu dengannya?”
Orang itu menjawab, “Ya.”
Lalu Allah ta’ala berkata, “Aku telah menginginkan darimu sesuatu yang jauh lebih enteng dari pada ini ketika kamu berada di dalam tulang sulbi Adam, yaitu kamu tidak akan mempersekutukan sesuatu pun kepada-Ku. Namun kamu enggan, sebaliknya kamu melakukan kesyirikan terhadap-Ku.”
(Teks HR. Al-Bukhariy no. 6557)
Hadits kedua:
3076 - حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ: حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَمَّا خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ مَسَحَ ظَهْرَهُ، فَسَقَطَ مِنْ ظَهْرِهِ كُلُّ نَسَمَةٍ هُوَ خَالِقُهَا مِنْ ذُرِّيَّتِهِ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ، وَجَعَلَ بَيْنَ عَيْنَيْ كُلِّ إِنْسَانٍ مِنْهُمْ وَبِيصًا مِنْ نُورٍ، ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى آدَمَ فَقَالَ: أَيْ رَبِّ، مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ ذُرِّيَّتُكَ، فَرَأَى رَجُلًا مِنْهُمْ فَأَعْجَبَهُ وَبِيصُ مَا بَيْنَ عَيْنَيْهِ، فَقَالَ: أَيْ رَبِّ مَنْ هَذَا؟ فَقَالَ: هَذَا رَجُلٌ مِنْ آخِرِ الأُمَمِ مِنْ ذُرِّيَّتِكَ يُقَالُ لَهُ دَاوُدُ فَقَالَ: رَبِّ كَمْ جَعَلْتَ عُمْرَهُ؟ قَالَ: سِتِّينَ سَنَةً، قَالَ: أَيْ رَبِّ، زِدْهُ مِنْ عُمْرِي أَرْبَعِينَ سَنَةً، فَلَمَّا قُضِيَ عُمْرُ آدَمَ جَاءَهُ مَلَكُ المَوْتِ، فَقَالَ: أَوَلَمْ يَبْقَ مِنْ عُمْرِي أَرْبَعُونَ سَنَةً؟ قَالَ: أَوَلَمْ تُعْطِهَا ابْنَكَ دَاوُدَ قَالَ: فَجَحَدَ آدَمُ فَجَحَدَتْ ذُرِّيَّتُهُ، وَنُسِّيَ آدَمُ فَنُسِّيَتْ ذُرِّيَّتُهُ، وَخَطِئَ آدَمُ فَخَطِئَتْ ذُرِّيَّتُهُ ": «هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ، وَقَدْ رُوِيَ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»
‘Abdu bin Humaid telah menyampaikan hadits kepada kami, (yang mengatakan bahwa) Abu Nu’aim telah menyampaikan hadits kepada kami, (yang mengatakan bahwa) Hisyam bin Sa’ad telah menyampaikan hadits kepada kami, dari Zaid bin Aslam, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu yang menuturkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
" لَمَّا خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ مَسَحَ ظَهْرَهُ، فَسَقَطَ مِنْ ظَهْرِهِ كُلُّ نَسَمَةٍ هُوَ خَالِقُهَا مِنْ ذُرِّيَّتِهِ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ، وَجَعَلَ بَيْنَ عَيْنَيْ كُلِّ إِنْسَانٍ مِنْهُمْ وَبِيصًا مِنْ نُورٍ، ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى آدَمَ فَقَالَ: أَيْ رَبِّ، مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ ذُرِّيَّتُكَ، فَرَأَى رَجُلًا مِنْهُمْ فَأَعْجَبَهُ وَبِيصُ مَا بَيْنَ عَيْنَيْهِ، فَقَالَ: أَيْ رَبِّ مَنْ هَذَا؟ فَقَالَ: هَذَا رَجُلٌ مِنْ آخِرِ الأُمَمِ مِنْ ذُرِّيَّتِكَ يُقَالُ لَهُ دَاوُدُ فَقَالَ: رَبِّ كَمْ جَعَلْتَ عُمْرَهُ؟ قَالَ: سِتِّينَ سَنَةً، قَالَ: أَيْ رَبِّ، زِدْهُ مِنْ عُمْرِي أَرْبَعِينَ سَنَةً، فَلَمَّا قُضِيَ عُمْرُ آدَمَ جَاءَهُ مَلَكُ المَوْتِ، فَقَالَ: أَوَلَمْ يَبْقَ مِنْ عُمْرِي أَرْبَعُونَ سَنَةً؟ قَالَ: أَوَلَمْ تُعْطِهَا ابْنَكَ دَاوُدَ قَالَ: فَجَحَدَ آدَمُ فَجَحَدَتْ ذُرِّيَّتُهُ، وَنُسِّيَ آدَمُ فَنُسِّيَتْ ذُرِّيَّتُهُ، وَخَطِئَ آدَمُ فَخَطِئَتْ ذُرِّيَّتُهُ "
“Tatkala Allah ta’ala telah menciptakan Adam, Dia mengusap punggungnya. Maka berjatuhanlah dari punggungnya itu setiap nyawa dari keturunannya, yang Dia adalah Penciptanya hingga hari kiamat. Dan Allah ta’ala menciptakan seberkas cahaya di antara kedua mata setiap orang dari mereka.
Maka Adam pun berkata, “Wahai Rabb-ku, siapakah mereka ini?”
Allah ta’ala menjawab, “Mereka ini adalah keturunanmu.”
Lalu Adam melihat seorang lelaki dari mereka, maka dia pun kagum kepadanya dan kepada berkas cahaya yang ada di antara kedua matanya. Maka dia berkata, “Wahai Rabb-ku, siapakah ini?”
Allah ta’ala menjawab, “Ini adalah seorang lelaki dari ummat yang belakangan dari keturunanmu, yang mana dia dipanggil dengan nama Dawud.”
Adam berkata, “Wahai Rabb-ku, berapa umurnya Engkau ciptakan?”
Allah ta’ala menjawab, “Enam puluh tahun.”
Adam berkata lagi, “Wahai Rabb-ku, tambahkan kepadanya dari umurku, yaitu empat puluh tahun!”
Lalu tatkala telah diputuskan umur Adam, malaikat maut mendatanginya. Maka Adam berkata, “Bukankah masih bersisa empat puluh tahun lagi dari umurku?’
Malaikat berkata, “Bukanlah kamu telah memberikannya kepada anakmu, yaitu Dawud?”
Lalu Adam membantah, sehingga keturunannya juga membantah. Adam lupa, sehingga keturunannya juga mengalami lupa. Dan Adam telah melakukan kesalahan, sehingga keturunannya juga melakukan kesalahan.”
At-Tirmidziy berkata: “Ini adalah hadits shahih. Dan sungguh telah diriwayatkan pula dari jalur selain ini, dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.”
(Teks HR. At-Tirmidziy no. 3076)
Adapun penjelasan bahwa sikap roh ketika mendengar firman Allah ta’ala tersebut ada tiga macam: menghadap, menyampin dan membelakang, maka tak ada kita dapati keterangan tentang itu di dalam Al-Qur’an atau pun hadits-hadits shahih. Padahal tentang masalah roh, Allah ta’ala berfirman:
{وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا (85)} [الإسراء: 85]
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Rabb-ku, dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit."
(QS. Al-Israa’:85)
Sementara memberikan penjelasan tentang Al-Qur’an tanpa landasan ilmu yang benar, adalah berbahaya sebagaimana di dalam hadits ini:
2950 - حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ قَالَ: حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ السَّرِيِّ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَبْدِ الأَعْلَى، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ قَالَ فِي القُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ»: «هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ»
Mahmud bin Ghailan telah menyampaikan hadits kepada kami, (yang mengatakan bahwa) Bisyr bin As-Sariy telah menyampaikan hadits kepada kami, (yang mengatakan bahwa) Sufyan telah menyampaikan hadits kepada kami, dari ‘Abdul A’la, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma yang menuturkan bahwa Raulullah shallallaahu ‘alaihi telah bersabda,
«مَنْ قَالَ فِي القُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ»
“Barangsiapa yang telah berkomentar dalam Al-Qur’an tanpa ilmu, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari Neraka!”
Berkata At-Tirmidziy: “Ini hadits hasan.”
(Teks HR. At-Tirmidziy no. 2950)
HADITS BAHWA ROH YANG DICIPTAKAN MEMILIKI KESAMAAN, MAKA AKRAB DI DUNIA DAN SEBALIKNYA
Yang kita dapati dalam hadits shahih tentang adanya barisan roh, ialah sebagaimana dalam riwayat ini:
3336 - قَالَ قَالَ اللَّيْثُ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ ، عَنْ عَمْرَةَ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: «الأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ، وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ» وَقَالَ يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ، حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ بِهَذَا
Al-Laits mengatakan dari Yahya bin Sa’id, dari ‘Amrah, dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha yang menuturkan, “Aku telah mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
«الأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ، وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ»
“Roh-roh adalah barisan yang dikumpulkan. Mana di antaranya yang saling mengenal, maka ia tentu akrab. Dan mana di antaranya yang memiliki karakter berjauhan, maka ia PUN menjauh.”
Yahya bin Ayyub mengatakan bahwa Yahya bin Sa’id telah menyampaikan hadits ini kepadaku.
(Teks HR. Al-Bukhariy no. 3336)
Secara umum, maksud hadits ini ialah bahwa Allah ta’ala telah menciptakan ada kesamaan karakter dan kecenderungan pada roh-roh manusia. Roh-roh yang memiliki kesamaan tersebut, maka akan akrab dalam kehidupan dunia. Dan sebaliknya.
AKHIRNYA, SAYA PUTUSKAN BERHENTI IKUT PENGAJIAN GURU TERSEBUT.
Dua poin ini membuat hati saya tidak menyambung dengan Guru itu. Seingat saya, hanya dua kali saya mendatangi. Lalu saya katakan kepada teman itu bahwa kita tak usah saja berguru kepadanya. Apalagi ketika saya kaitkan dengan beberapa hal yang kami lihat kurang sesuai dengan pengalaman kaum muslimin secara umum. Sementara dalam pengajian itu tak biasa bertanya panjang lebar.
Semoga Allah ta’ala mengampuni teman saya itu. Dia telah wafat beberapa tahun yang lalu. Amiin.
Wallaahu a’lam, hanya Allah jualah Yang Maha Mengetahui.
Ahad, 1 Sya’ban 1445 H/11 Februari 2024 M
Zulkifli Zakaria
https://www.facebook.com/share/p/oypZMWFb7kwWzLKr/?mibextid=2JQ9oc