Hukum Duduk Istirahat
Duduk istirahat yaitu duduk sebentar setelah bangkit dari sujud menuju rakaat kedua atau keempat.
Tidak diragukan lagi bahwa hal ini disyariatkan apabila dibutuhkan, yaitu bagi orang yang sudah tua atau sakit (yang tidak kuat jika langsung berdiri).
Perbedaan pendapat disini bukan terkait itu, akan tetapi sebagai berikut :
Pendapat pertama :
Duduk istirahat disyariatkan. Orang yang shalat tidak bangkit dari sujudnya hingga dia duduk dengan tegak.
Ini adalah pendapat Imam Syafi'i.
Argumen dari pendapat ini:
Hadits dari Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya ia pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat, apabila beliau dalam rakaat ganjil dari shalatnya, beliau tidak bangkit berdiri sebelum duduk dengan tegak. (HR. Bukhari)
Pendapat kedua :
Duduk istirahat tidak disyariatkan. Orang yang shalat langsung bangkit dari sujudnya.
Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad.
Argumen dari pendapat ini:
1. Hadits Abu Humaid ketika beliau menceritakan sifat shalat Nabi ﷺ, yaitu beliau mengangkat kepalanya dari sujud kedua pada rakaat pertama, beliau berdiri dan tidak tawarruk (duduk). (HR. Abu Daud, shahih Ibnu Hibban, dan didhaifkan Albani)
2. Hadits Rifa'ah bin Rafi' ketika Nabi ﷺ mengajari Arab Badui shalat. Nabi ﷺ berkata kepadanya, "kemudian sujudlah hingga tumakninah." Tambahan dari hadits Yahya bin Khalad dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu, "Dan Nabi ﷺ tidak menyuruh untuk duduk."
3. Hadits Wail bin Hujr, beliau berkata, "Aku melihat Rasulullah ﷺ ketika akan sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum tangannya, dan ketika bangkit dari sujud, beliau mengangkat tangannya sebelum lututnya." (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'i, dll, dan didhaifkan Albani)
4. Jika duduk istirahat ini memang sunnah Nabi ﷺ, niscaya akan banyak disebutkan pada semua dalil sifat shalat Nabi ﷺ.
Yang rajih (pilihan muallif):
Pendapat kedua, duduk istirahat tidak disyariatkan.
Karena hadits-hadits menunjukkan tidak adanya hal tersebut. Adapun hadits Malik bin Huwairits, hadits ini dimaknai bahwa amalan itu dilakukan Rasulullah ﷺ diakhir hidup beliau ketika sudah berusia tua.
Dan secara umum, bagi siapa yang mengamalkannya, tidak boleh diingkari walaupun dia posisinya sebagai makmum (ketika imamnya tidak mengamalkan)
(Kitab Jadawil Al-Fiqhiyyah fii masaail khilaf fii kitab Bidayatul Mujtahid)