Apakah Ibnu Taimiyyah Mujassim ?
Menjawab tuduhan terhadap Ibnu Taimiyyah rahimahullah (10)
Di antara teks yang digunakan untuk menuduh Ibnu Taimiyyah sebagai mujassim, atau dianggap bahwa beliau menisbatkan kepada Salaf bahwa mereka mengatakan Allah adalah jisim adalah berikut ini (sebagaimana dalam gambar) :
وقد ثبت عن أئمة السلف أنهم قالوا لله حد وأن ذلك لايعلمه غيره وأنه مباين لخلقه وفي ذلك لأهل الحديث والسنة مصنفات وهذا هو معنى التحيز عند من تكلم به من الأولين. (وكثير منهم من الكرامية والشيعة والفقهاء والصوفية وأهل الحديث يقولون هو فوق العرش وهو جسم وهو متحيز). فإن هؤلاء كثيرًا ما يكون النزاع بينهم لفظيًّا لكن أهل السنة والحديث فيهم رعاية لألفاظ النصوص وألفاظ السلف.
Dalam penukilannya saja ini tidak tepat. Yaitu ada paragraf yang disisipkan tidak pada tempatnya, seperti yang ada dalam kurung, yang justru itu yang menjadi poin tuduhan mereka. Mereka memasukkan paragraf yang menyebut Allah adalah jisim dalam alur perkataan para Salaf. Sehingga menuduh Ibnu Taimiyyah menyebut bahwa Salaf mengatakan seperti itu. Padahal Ibnu Taimiyyah menyebutkan itu dalam alur perkataan Karromiyyah, Syi'ah dan lainnya, bukan dalam rangkaian perkataan para imam Salaf.
Coba perhatikan alur perkataan beliau yang sebenarnya :
فنقول غاية ما في الباب أن يقال الأجسام تحتاج إلى شيء آخر وهذا غير ممتنع أما كونه تعالى محتاجًا في وجوده إلى شيء آخر فممتنع فظهر الفرق. يقال هذه الحجة وغيرها من الحجج كلها مبنية على أن القول بكونه فوق العرش يستلزم أن يكون متحيزًا كما قدمه في الحجة الأولى فقد تقدم أن هذا فيه نزاع مشهور بين الناس من مثبتة الصفات ونفاتها فإن كثيرًا من الصفاتية من الكلابية والأشعرية وغيرهم من الفقهاء والصوفية وأهل الحديث يقولون ليس بجسم وهو فوق العرش وقد يقولون ليس بمتحيز وهو فوق العرش إذا كان المراد بالمتحيز الجسم أو الجوهر الفرد.
وكثير منهم من الكرامية والشيعة والفقهاء والصوفية وأهل الحديث يقولون هو فوق العرش وهو جسم وهو متحيز ولكن منهم من يقول ليس بمركب ولا منقسم ولا ذي أجزاء وأبعاض ومنهم من لا ينفي ذلك.
وأما سلف الأمة وأئمتها ومن اتبعهم فألفاظهم فيها أنه فوق العرش وفيها إثبات الصفات الخبرية التي يعبر هؤلاء المتكلمون عنها بأنها أبعاض وأنها تقتضي التركيب والانقسام، وقد ثبت عن أئمة السلف أنهم قالوا لله حد وأن ذلك لايعلمه غيره وأنه مباين لخلقه وفي ذلك لأهل الحديث والسنة مصنفات وهذا هو معنى التحيز عند من تكلم به من الأولين فإن هؤلاء كثيرًا ما يكون النزاع بينهم لفظيًّا لكن أهل السنة والحديث فيهم رعاية لألفاظ النصوص وألفاظ السلف.
"Maka kita katakan, inti dari bab ini untuk dikatakan, "Jisim-jisim itu membutuhkan kepada sesuatu yang lain, ini tidak mustahil. Adapun keadaan Allah SWT membutuhkan dalam keberadaan-Nya kepada sesuatu yang lain, maka ini yang mustahil. Maka jelaslah perbedaannya. Dikatakan, hujjah ini dan hujjah-hujjah yang lainnya, semuanya dibangun di atas dasar bahwa mengatakan keadaan Allah di atas arsy, memastikan bahwa Ia berada di ruang, sebagaimana ia (Ar-Rozi) kemukakan pada hujjah pertama. Sungguh telah disebut dalam pembahasan lalu bahwa dalam hal ini ada perselisihan yang masyhur di antara orang-orang dari yang menetapkan sifat dan yang menafikannya. Banyak dari kelompok yang menetapkan sifat dari Kullabiyyah, Asy'ariyyah dan selain mereka dari para ahli fiqih, Shufiyyah dan ahli hadits, mereka berkata, "Allah bukan jisim, tetapi Ia di atas Arsy", dan terkadang mereka mengatakan, "Dia tidak berada pada ruang, tetapi Dia di atas Arsy" apabila yang dimaksud dengan berada pada ruang itu adalah jisim atau Jauhar fard.
Dan banyak dari mereka dari Karromiyyah, Syi'ah, para ahli fiqih, Shufiyyah dan ahli hadits, mereka berkata "Dia di atas Arsy dan dia jisim, dan dia berada di ruang, tetapi di antara mereka ada yang berkata, "tidak tersusun dan tidak terbagi-bagi, tidak pula memiliki bagian-bagian dan organ-organ. Dan di antara mereka ada yang tidak menafikan hal itu.
Adapun Salaf umat dan para imam mereka, dan orang-orang yang mengikuti mereka, redaksi-redaksi mereka tentangnya, bahwa Dia di atas Arsy. Di dalamnya ada penetapan sifat-sifat khobariyyah, yang diungkapkan oleh para ahli kalam bahwa ia adalah bagian-bagian dan bahwa ia menuntut adanya ketersusunan dan keterbagian. Dan sungguh telah valid dari para imam Salaf bahwa mereka berkata, "Allah memiliki batasan" dan bahwa hal itu tidak diketahui oleh selain-Nya, dan bahwa Ia berbeda/terpisah dari makhluk-Nya. Dalam hal itu para ahli hadits dan sunnah memiliki karya-karya. Dan inilah makna "tahayyuz" menurut orang-orang Salaf yang membicarakan hal itu. Sesungguhnya, banyak yang menjadi perbedaan di antara mereka sebatas lafzhi (redaksional), tetapi Ahlus Sunnah dan hadits pada mereka sangat menjaga kepada lafazh-lafazh nash dan lafazh-lafazh para Salaf." (Bayan Talbis Jahmiyyah, 3/590-592).
Coba perhatikan dengan cermat, adakah Ibnu Taimiyyah menisbatkan kepada Salaf bahwa mereka mengatakan Allah adalah jisim? Atau beliau sendiri mengatakan bahwa Allah adalah jisim? Sama sekali tidak ada! Justru beliau sedang menukil perkataan kelompok Karromiyyah, Syi'ah, dan yang mengikuti mereka, bukan sedang menukil perkataan Salaf.
Uraian ini beliau hadirkan dalam rangka membantah perkataan Fakhruddin Ar-Rozi dalam kitabnya Asasut Taqdis, karena memang kitab Bayan Talbis Jahmiyyah ini beliau tulis dalam rangka membantah kitab tersebut, yang mengatakan bahwa kalau Allah di atas Arsy berarti Allah berada pada ruang, dan yang berada pada ruang itu pasti jisim. Sehingga dengan hal itu ia menafikan Allah berada di atas Arsy.
Beliau membantah bahwa pernyataan tersebut tidak benar. Tidak ada konsekwensi seperti itu. Justru kalangan Kullabiyyah, Asy'ariyyah dan yang lainnya, ada yang mengatakan bahwa Allah di atas Arsy tapi bukan jisim, atau terkadang menyebut tidak pada ruang, kalau yang dimaksud ruang itu adalah jisim atau Jauhar fard. Jadi, ini dibantah oleh kalangan Asy'ariyyah sendiri.
Juga, orang yang menyebutkan jisim itu, seperti kalangan Karromiyyah dan Syi'ah, tidak semuanya memaksudkan seperti yang dimaksudkan oleh para ahli Kalam, yaitu yang berarti memiliki ketersusunan dan keterbagian. Itu artinya, penggunaan istilah jisim juga beragam maksudnya. Sedangkan menghukumi istilah itu harus dilihat maksudnya. Bisa saja mereka memaksudkan benar meskipun menggunakan istilah yang tidak tepat.
Adapun para ulama Salaf menetapkan sebagaimana dalam nash, yaitu bahwa Allah di atas Arsy, tanpa adanya konsekwensi-konsekwensi yang dianggap dan dituduhkan oleh para ahli kalam itu. Dan tidak juga menggunakan istilah jisim itu. Dan Ibnu Taimiyyah berpegang kepada metode mereka.
Adapun penggunaan istilah "tahayyuz" (pada ruang) yang digunakan oleh sebagian Salaf, atau dalam istilah lain "had" (batasan), ini bisa dicek dalam karya-karya mereka, hal ini untuk menyebut bahwa Allah itu terpisah (mubayin/bain) dari makhluk-Nya, tidak bersatu dan bercampur dengan makhluk-Nya. Bukan dalam makna yang dianggap dan dituduhkan oleh para ahli kalam itu. Perbedaan di kalangan para imam dan ulama Salaf tentang penggunaan istilah "tahayyuz" dan "had", antara yang menetapkannya dan yang tidak, tiada lain sebatas perbedaan secara redaksional saja. Inilah yang dimaksud oleh Ibnu Taimiyyah bahwa ikhtilaf mereka itu lafzhi.
Semoga kita lebih cermat lagi dalam memahami perkataan para ulama, agar tidak melahirkan kesimpulan yang keliru.
Wallahul Muwaffiq.
(Muhammad Atim)
t.me/butirpencerahan