PERSFEKTIF EPISTEMOLOGI IBNU TAIMIYAH BAGIAN 1

Oleh: Lalu Heri Aprizal, Lc., M.Ud.

Bagian Pertama

Pendahuluan

Salah satu virus berbahaya yang menimpa wacana pemikiran Islam saat ini adalah proyek-proyek penafsiran kontemporer (hadatsah) yang tidak hanya mengingkari otoritas wahyu, namun juga berupaya melakukan penafsiran materialis-rasional terhadap agama dan wahyu, dengan menganggap agama sekedar fenomena sosial (budaya) yang terjadi pada tahapan sejarah tertentu (historisitas) yang dipengaruhi oleh kondisi dan nilai-nilai budaya pada zaman itu. Oleh karenanya, menurut Arkoun, kepercayaan terhadap Tuhan hanyalah hasil dari apa yang ia sebut sebagai karya para aktor sosial (mitologi). Hasan Hanafi mengatakan bahwa Tuhan hanyalah sebuah konsep dan persepsi di dalam pikiran dan bukan merupakan realitas faktual secara eksternal. Muhammad Abed al-Jabiri tanpa ragu mengatakan bahwa semua ilmu pengetahuan Islam tanpa kecuali bersifat spekulatif, sementara Nasr Hamid Abu Zaid mengatakan bahwa makna teks wahyu tidak terbatas. Ujung dari semua penafsiran tersebut adalah hendak “mengadili” agama Islam dengan segenap ajarannya kepada ‘mahkamah’ paham materialisme-rasionalisme-sekuler yang sangat bertentangan dengan pandangan hidup Islam.[1]

Problematika pemikiran ini sejatinya muncul karena para pemikir tersebut telah kenyang “disusui” oleh Peradaban, Barat lalu berusaha memandang hakikat Islam dengan kacamata pemikiran dan pandangan hidup Barat yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Sementara banyak dari kalangan umat Islam sendiri kurang memahami prinsip-prinsip dasar agamanya, sehingga mereka silau oleh kemajuan Dunia Barat dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya, lalu menerima segala hal yang datang dari Barat, baik madu maupun racunnya tanpa proses seleksi dan adapsi. Kemudian mereka ikut-ikutan menghujat agama sendiri dan terjerumus ke dalam liberalisme pemikiran yang akut. Oleh sebab itu, tulisan ini berusaha merumuskan prinsip-prinsip dan dasar-dasar epistemologi Islam melalui uraian-uraian para ulama Islam, dalam hal ini adalah Syaikhul Islâm Ahmad bin Abdul Halîm bin Abdussalâm Ibnu Taimiyah Al-Harrâniy Rahimahullâh. Dengan harapan semoga tulisan sederhana ini dapat menjadi filter bagi pemikiran dan ideologi luar yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Telah maklum bahwa epistemologi merupakan gabungan dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang lazim dipakai untuk menunjukkan makna pengetahuan sistematik, sehingga secara terminologi epistemologi dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Dalam The Oxford Companion to Philosophy, disebutkan: “Epistemology, or the theory of knowledge, is that branch of philosophy concerned with the nature of knowledge, its possibility, scope, and general basis.”[2] Ketika istilah epistemologi ini dinisbatkan kepada seorang tokoh maka ia berarti kajian tentang sistem pengetahuan yang dimiliki oleh tokoh tersebut. Oleh karena itu tulisan ini akan mencoba mengulas pandangan Imam Ibnu Taimiyah tentang bahasan-bahasan penting seputar epistemologi seperti: hakikat pengetahuan (kajian ontologis), sumber & referensi pengetahuan, media & dan sarana pengetahuan, mekanisme pengetahuan (epistemologi) dan nilai pengetahuan (aksiologi) dan sebagainya.

Dipilihnya Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah sebagai obyek kajian dalam tulisan ini adalah karena beliau merupakan seorang tokoh ulama besar yang warisan pemikirannya dianggap sangat berpengaruh di era beliau serta paling banyak mengilhami gerakan pemikiran dan pembaharuan hingga abad modern ini. Beliau dikenal sebagai seorang ulama yang memiliki kecerdasan intelektual yang luar biasa, ahli ibadah yang zuhud tapi bersahaja, dai yang gigih dan penuh wibawa, bahkan singa pemberani di medan jihad. Beliau dikaruniai kelebihan dalam banyak aspek. Oleh karena itu, kajian terhadap basis epistemologi beliau setidaknya akan membuka cakrawala, tentang bangunan keilmuan beliau (nasaq ma’rifi) dalam segala disiplin ilmu yang melahirkan kemantapan pribadi yang kokoh dan konsistensi pemikiran yang bebas dari fanatisme buta maupun subyektifitas yang timpang.

Biografi Singkat[3]

Baliau adalah Taqiyuddîn Abu al-‘Abbâs, Ahmad bin Abd al-Halim bin Abd as-Salâm bin Taimiyah Al-Harrânî ad-Dimasyqi, masyhur dengan julukan Syaikhul IslâmIbnu Taimiyah. Beliau lahir di kota Harrân, sebuah daerah yang sekarang ini termasuk wilayah perbatasan antara Turki dan Syiria. Di masa kecil, beliau dibawa hijrah oleh keluarganya ke kota Damaskus, salah satu kota Islam yang paling dinamis dalam dunia keilmuan di masa itu. Dengan modal kecerdasan intelektual yang luar biasa beliau menjadi tokoh ulama multidisipliner yang menguasai berbagai disiplin ilmu seperti: akidah, tafsir, hadis, fiqh, ushul fiqh, lughah, tarikh, bahkan matematika, kristologi, mantiq, kalam, tasawuf, filsafat dan lain-lain. Oleh karena itu, di usia yang masih belia Ibnu Taimiyyah sudah mampu terjun dalam dunia diskusi dan argumentasi ilmiah, bahkan diangkat menjadi mufti dan mulai menulis buku-buku pada saat berusia 17 tahun dan menjadi direktur Madrasah Dâr al-Hadîts as-Sukkariyyah pada usia 21 Tahun.

Kepakaran beliau sangat kompleks dan mendalam. Di setiap cabang ilmu beliau tidak hanya mencukupi diri dengan wawasan umum, tetapi menyelaminya hingga ke akar-akar konsep, menelisik berbagai perbedaan pandangan, argumentasi berikut para tokoh penganutnya. Tentang hal ini, salah satu murid beliau, yaitu Imam adz-Dzahaby RH memberikan sebuah pujian luar biasa:

“Beliau sangat ajaib dalam hal kecerdasan; pionir dalam pengetahuan seputar al-Kitab, as-Sunnah, dan Ikhtilâf; beliau adalah lautan dalam ilmu-ilmu naqli. Di masanya, beliau adalah anak tunggal zaman dalam hal keilmuan, kezuhudan, keberanian, kedermawanan, amar ma’ruf nahi munkar, serta karya yang melimpah… Jika tafsir disebutkan maka beliaulah pembawa panji-panjinya; jika disejajarkan dengan para fuqaha, beliaulah mujtahid mutlak mereka; jika para huffâz hadîts itu hadir maka beliaulah yang layak bicara dan yang lain terdiam… jika disebut nama-nama mutakallimûn maka beliaulah yang menonjol dan menjadi referensi mereka; dan jika Ibnu Sînâ memimpin barisan para filosof maka beliaulah yang menghempaskan dan mengalahkan mereka. Beliau juga memiliki wawasan mendalam mengenai nahwu, sharf dan lughah. Beliau lebih hebat dari apa yang bisa diungkapkan oleh lisanku atau yang dilukiskan oleh penaku!”[4]

Ketika berbicara mengenai sebuah disiplin ilmu maka beliau akan mengungguli para pakar yang membidangi ilmu tersebut. Bahkan saking mendalamnya, ketika fokus berbicara mengenai sebuah ilmu, orang mengira seolah-olah kepakarannya hanya sebatas bidang ilmu itu saja. Hal ini digambarkan oleh rekan sezamannya Kamâluddîn az-Zamlakâny, ulama fikih Syâfi‘iyyah terkemuka di masa itu:

 “Jika beliau ditanya mengenai sebuah disiplin ilmu, orang yang melihat dan mendengarnya akan mengira bahwa beliau hanya pakar di bidang itu saja, dan akan memastikan bahwa tidak ada orang lain yang menyaingi kepakarannya pada bidang yang sama. Ketika para Fuqaha dari berbagai kelompok berkumpul bersama beliau, mereka semuanya mendapatkan wawasan baru mengenai mazhab mereka masing-masing yang belum mereka ketahui sebelumnya. Beliau dikenal tidak pernah kalah ketika berdebat dengan siapapun. Dan beliau tidak pernah berbicara mengenai satupun disiplin ilmu, baik ilmu syari’ah maupun yang lainnya, melainkan beliau pasti mengungguli para pegiat dan peminat bidang ilmu tersebut.”[5]

Selain dikenal sebagai tokoh ensiklopedik beliau juga masyhur sebagai ulama yang sangat gigih berdakwah menasihati rakyat dan penguasa, sangat pemberani menyampaikan kebenaran meskipun dimusuhi dan difitnah oleh sebagian kalangan, hingga berkali-kali masuk penjara karena mempertahankan prinsip dan kebenaran yang diyakininya. Di samping itu, beliau juga dikenal sebagai ahli ibadah yang sangat gigih, memiliki keluhuran akhlak yang luar biasa dan kehidupan yang sangat zuhud dan sederhana namun bersahaja dan berwibawa. Kegigihan dan ketangguhan beliau ini tidak sekedar di medan dakwah, tetapi juga teruji di medan perang. Beliau turut berperan sebagai mujahid penting dalam beberapa perjuangan jihad menghadapi serangan tentara Mongol terhadap dunia Islam.

Meskipun berbagai cobaan hidup menerpa beliau secara bertubi-tubi, beliau tetap teguh dan tegar serta selalu syukur dan bahagia. Salah satu murid terdekat beliau, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah RH{ bertutur tentang gurunya:

“Demi Allah Yang Maha Mengetahui, aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih bahagia hidupnya daripada beliau. Padahal kondisi beliau sangat susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat memprihatinkan. Ditambah lagi dengan penderitaan penjara, ancaman dan penindasan. Meski demikian, beliau termasuk orang yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya, serta paling tenang jiwanya. Terpancar dari wajah beliau sinar keindahan dan kenikmatan hidup. Dan kami (murid-murid beliau) ketika dilanda perasaan takut berlebihan, atau timbul pada diri kami prasangka-prasangka buruk, atau merasakan kesempitan hidup, kami segera mendatangi beliau. Dan dengan hanya memandang wajah beliau serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.”[6]

Dengan kelebihan yang Allah anugerahkan itu banyak sekali pengakuan dan pujian para ulama yang dialamatkan kepada beliau. Diantaranya ungkapan populer dari Imam adz-Dzahaby: “Beliau terlalu besar untuk diingatkan tentang sirahnya oleh orang sepertiku. Kalaulah aku bersumpah di antara Hajar Aswad dan Maqam Ibrahim maka aku akan bersumpah bahwa aku tak pernah melihat dengan mataku orang sehebat beliau! Oh, tidak! Bahkan beliau sendiripun tak pernah melihat orang sehebat dirinya.”[7]

Imam al-Hâfiz Ibnu Hajar Al-‘Asqalâny juga menyatakan dalam kitab Taqrîz-nya terhadap buku ar-Radd al-Wâfir karya al-Qâdî Ibnu Nâsiruddîn:

“Popularitas keimaman Syaikh Taqiyyuddîn Ibnu Taimiyah lebih terang daripada matahari. Julukannya sebagai ‘Syaikh al-Islâm’ pada zaman itu terus awet sampai sekarang dari lisan-lisan yang suci, dan akan terus lestari di masa mendatang sebagaimana sebelumnya. Tidak akan ada yang mengingkari hal tersebut kecuali orang yang tidak mengetahui kadarnya, atau orang yang memang sengaja menjauhi kejujuran. Maka alangkah keliru orang yang melakukan hal itu dan hanya memperbanyak celaannya! Hanya Allah Ta’âla semata tempat kita bermohon agar melindungi kita dari kejelekan-kejelekan jiwa kita dan sampah-sampah lidah kita”.[8]

            Kelebihan-kelebihan Ibnu Taimiyah yang prima serta rangkaian perjalanan hidup beliau yang penuh berkah membuat namanya menjadi sangat populer dan tersohor. Pelaksanaan shalat janazah untuk beliau selepas wafat, menjadi saksi atas kebesaran posisi beliau di hati umat dan ulama. Shalat jenazah di Damaskus yang dihadiri oleh sekitar enam puluh sampai seratus ribu laki-laki dan lima belas ribu perempuan ini dinyatakan para Sejarawan sebagai shalat jenazah terbesar di Dunia Islam pasca Imam Ahmad bin Hanbal di Baghdâd.

Sumbangsih Keilmuan

Selain kehebatan beliau di medan dakwah dan jihad, sumbangsih keilmuan yang beliau berikan juga tidak kalah hebatnya. Karya-karya ilmiah beliau cukup banyak. Uniknya, mayoritas buku-buku tersebut tidak sengaja diproyeksikan semenjak awal, tapi merupakan respon spontan terhadap pertanyaan fatwa atau tanggapan terhadap problem-problem aktual. Tetapi jawabannya sangat meluas dan mendalam. Anehnya, sebagaimana dikatakan oleh muridnya Ibnu ‘Abd al-Hâdy dalam al-‘Uqud ad-Durriyyahbanyak di antara karya-karya itu yang beliau tulis saat beliau berada di dalam penjara, di saat tidak tersedia buku-buku untuk referensi.[9]

Berikut ini adalah potret singkat beberapa buku utama Ibnu Taimiyyah yang berkisar pada tema-tema Aqidah:

1.      Kitâb almân. Buku ini ada dua macam, Al-Îmân Al-Kabîr dan Al-Îmân al-Awsat}. Keduanya membahas tentang hakekat iman dan kaitannya dengan amal. Buku ini merupakan kajian tentang al-asmâ’ wal ahkâm (label dan vonis) yang memberikan kritik dan koreksi terhadap konsep-konsep doktrin Murji’ah dan Khawârij.

2.      Nasîhat Ahl al-Îmân fi al-Radd ‘Alâ Mant}iq al-Yûnân, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ar-Raddu ‘Alâ al-Mant}iqiyyîn yang artinya “Sanggahan terhadap para pegiat logika”. Buku spektakuler ini merupakan analisa mendetail sekaligus kritik konstruktif terhadap berbagai konsep-konsep dan doktrin-doktrin ilmu logika atau mantiq.

3.      Al-Risâlah al-Safadiyyah. Buku yang cukup tebal ini menjawab konsepsi-konsepsi Falasifah, Qaramithah dan Bathiniyyah yang menyatakan bahwa kenabian dan mukjizat para Nabi adalah berangkat dari “quwâ nafsâniyyah (potensi-potensi psikologis prima) dan bukan berasal dari wahyu sebagaimana diyakini Umat Islam. Tema utama lainnya dari buku ini adalah bantahan terhadap doktrin Filsafat mengenai qidamu’l ‘âlam dan teori emanasi.

4.      Al-Nubuwwât.  Tema utama buku ini mirip dengan al-Safadiyyah. Tetapi materi kajiannya lebih terfokus pada kajian atas konsepsi ulama kalam tentang masalah “mukjizat” dan argumentasi kenabian, yang banyak menjadi polemik panjang antara berbagai sekte Ilmu Kalam. Buku ini juga mengulas beberapa kajian mengenai argumentasi kosmologis tentang keberadaan Pencipta ala mutakallimin.

5.      Dar’ Ta‘ârud al-‘Aql wa an-Naql atau Bayân Muwâfaqat Sarîh al-‘Aql li Sahîh{ an-Naql. Ini adalah buku terbesar Ibnu Taimiyyah yang berbicara tentang berbagai permasalahan aqidah yang terkait dengan filsafat, kalam dan tasawuf. Dalam syair Nûniyyah-nya, Ibn al-Qayyim Al-Jauziyah RH{menyebut buku ini sebagai yang “tidak ada duanya di dunia”. Ratusan referensi kalam dan filsafat dari berbagai aliran dikutip oleh Ibnu Taimiyyah dalam buku ini, disertai dengan analisa rasional yang mendetail seraya melakukan komparasi dengan ayat-ayat al-Quran, hadis-hadis Rasulullah dan berbagai atsar Salaf maupun kitab-kitab karya para imam, fuqaha dan ahli hadis. Sesuai judulnya, buku ini menegaskan keselarasan antara naql shahîh} (tradisi yang valid) dengan ‘aql sarîh (rasio yang akurat) dan merontokkan postulat fiktif taqdîm al-‘aqli ‘alâ al-sam‘î (mendahulukan akal atas wahyu), seraya menegaskan konsep metodologis “Taqdîm al-sahîh ‘alâ al-saqîm wa tarjîh al-sarîh ‘alâ asy-syubuhât” (Mendahulukan wahyu valid atas wahyu problematik, dan menguatkan rasio akurat terhadap rasio syubuhat).

6.      Minhâj al-Sunnah al-Nabawiyyah fi Naqd Kalâm al-Syî‘ah wa al-Qadariyyah. Buku ini juga salah satu buku terbesar Ibnu Taimiyyah yang mengulas tentang doktrin-doktrin Syi’ah dan Râfidah. Buku ini merupakan tanggapan dan koreksi terhadap buku kecil berjudul Minhâj al-Karâmahtulisan Ibn al-Mutahhar al-Hilly (pentolan tokoh Syi’ah di zamannya). Buku ini juga mengandung banyak sekali konsep-konsep epistemologi, metodologi, etika mengkaji dan berdiskusi, fiqih dakwah dan lain-lain. Sebagian porsi buku ini juga diisi oleh kajian serupa yang disorot oleh Dar’ at-Ta‘ârud.

7.      Bayân Talbîs al-Jahmiyyah fî Ta’sîs Bida‘ihim al-Kalâmiyyah yang juga dikenal dengan nama Naqd at-Ta’sîs. Buku ini mengkritisi kaedah-kaedah dan doktrin-doktrin Ilmu Kalam secara terperinci. Mengulas konsep-konsep Ilmu Kalam, kalimat perkalimat secara analitis dari buku Asâs atTaqdîs yang ditulis oleh Fakhruddin ar-Razi.

8.      At-Tis‘îniyyah. Ini buku beliau yang mengulas secara panjang lebar permasalahan “Kalam Allah”. Buku yang ditulis Ibnu Taimiyyah di hari-hari terakhirnya ini, berisi sembilan puluhan argumentasi untuk membantah doktrin “Kalâm Nafsî” ala Kullâbiyyah dan Asy‘ariyyah. Buku ini memuat berbagai argumentasi tajam dan menunjukkan secara obyektif bahwa kredo Salaf “Al-Qur’ân kalâmullah ghairu makhlûq” tanpa menyatakannya qadim dan tanpa menafikan huruf-hurufnyaadalah konsepsi yang paling rasional dan paling sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah.

9.      Al-Istiqâmah. Buku ini terutama berbicara seputar Sunnah dan Bid’ah dalam masalah-masalah ‘amaliyyah. Jadi isi buku ini lebih ditujukan kepada kalangan Shufiyyah, terutama kalangan penganut “Tashawwuf Falsafy”. Buku ini fokus memberikan banyak komentar, kritik, dan koreksi terdalah Risâlah Qusyairiyyah, salah satu buku paling populer dalam dunia Tashawwuf Muta`’khkhirîn.

10.  Al-Jawâb as-Sahîh Liman Baddala Dîn al-Masîh. Buku ini merupakan karya paling penting Ibnu Taimiyyah yang menganalisa ajaran-ajaran agama Nasrani dan Yahudi, dan termasuk karya klasik yang sangat penting dan berkualitas dalam bidang Kristologi. Dalam kajiannya, Ibnu Taimiyyah menelusuri akar-akar konsep ajaran agama Nasrani terutama yang terkait dengan masalah-masalah teologi dan kenabian. Dalam buku ini pula beliau sekaligus menetapkan pokok-pokok pikiran argumentatif yang mendemonstrasikan secara meyakinan kebenaran aqidah Tauhid dan kenabian Muhammad Saw.

12.  Kumpulan beberapa buku, risalah dan fatwa Ibnu Taimiyah, yang masyhur dengan nama: Majmû’ al-Fatâwâ li Syaikhil Islâm Ibni Taimiyyah. Buku ini adalah kapita selekta yang dihimpun oleh pasangan ayah-anak: Ibnu Qasim dan Muhammad. Di dalamnya terdapat beberapa karya utama Ibnu Taimiyyah tentang Aqidah semisal al-‘Aqîdah al-Wâsitiyyah, ar-Risâlah al-Akmaliyyah, ar-Risâlah al-Madaniyyah, ar-Risâlah ad-Tadmuriyyah, ar-Risâlah al-Hamawiyyah, ar-Risâlah al-‘Arsyiyyah, Syarh al-‘Aqîdah al-Isfahâniyyah, Syarh Hadîts an-Nuzûl, at-Tuhfah al-‘Irâqiyyah, al-Furqân baina Awliyâ’ ar-Rahmân wa Awliyâ’ asy-Syaitân, al-‘Ubûdiyyah dan sebagainya.

Demikian paparan singkat tentang biografi dan sumbangsih keilmuan Syaikhul Islâm Imam Ibnu Taimiyah rahimahullâh. Ulasan ringkas ini tentu saja jauh dari memadai untuk menggambarkan biografi beliau secara utuh, tetapi semoga dapat mewakili cerminan kontribusi ilmiah & kapasitas intelektual beliau secara umum.

I. HAKIKAT PENGETAHUAN

Hakikat pengetahuan yang dimaksud di sini adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar seputar pengetahuan manusia. Pertanyaan-pertanyaan yang mula-mula dimunculkan oleh kalangan Sophis-skeptis yang menurut Furmerton merupakan tokoh paling dominan dalam sejarah epistemologi Barat.[10] Diantara pertanyaan yang sering mereka lontarkan adalah: “How much of what we thing we know about nature is really objective part of it, and how much is contributed by the human mind. Indeed, do we have any knowledge of nature as it really is?” Sementara Gorgias secara radikal meragukan eksistensi segala sesuatu dengan mengatakan: “there was no such thing as reality, that if there were, we could not know of it, and that even if we could know of it, we colud not communicate our knowledge of it.” Kemudian Protagoras menegaskan relatifnya ilmu pengetahuan melalui diktum terkenalnya: “Man is measure of all thing”. [11]

Berbagai pertanyaan dan pernyataan skeptis semacam ini pada gilirannya melahirkan pertanyaan-pertanyaan serius dan mendasar seputar hakikat pengetahuan yang kemudian menjadi bahasan utama dalam kajian epistemologi, seperti: apa definisi pengetahuan? apakah manusia dapat mengetahui? bagaimanakah tabiat pengetahuan? bagaimanakah proses manusia mengetahui? Di manakah letak dan posisi derajat ontologis pengetahuan? dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan epistemologis ini akan coba dijawab dalam paragraf-paragraf berikut berdasarkan perspektif Ibnu Taimiyah.

A. Definisi Pengetahuan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “pengetahuan” diartikan dengan dua hal: “Segala sesuatu yang diketahui”, dan “Kepandaian”. Yang pertama identik dengan sesuatu yang diperoleh melalui aktivitas nalar (objek), dan yang kedua identik dengan sifat manusia yang bernalar (subyek). Kedua makna kamus ini juga tidak jauh berbeda dengan definisi pengetahuan sebagaimana dijelaskan oleh para filosof dan teolog muslim sebelumnya. Dalam literatur Islam klasik terdapat banyak perbedaan pendapat seputar definisi ilmu (pengetahuan). Kalangan filosof berpendapat, ilmu ialah: “Wujudnya citra/gambaran sesuatu di dalam benak/rasio.” Senada dengan itu, al-Ghazâly dari kalangan Mutakallimûn memberi definisi: “Tampilnya citra (gambar) di dalam jiwa/hati.” Kedua definisi ini memaknai ilmu sebagai gambaran sesuatu di dalam pikiran manusia. Imam al-Asy‘ary mendefinisikan ilmu sebagai: “Sarana yang digunakan seseorang untuk mengetahui”. Definisi ini cenderung memaknai ilmu sebagai sifat mengetahui pada diri manusia.

Imam al-Haramain al-Juwainiy berpendapat bahwa ilmu adalah keyakinan hati yang sesuai dengan realitas. Definisi ini mengaitkan ilmu dengan kondisi hati; jika pengetahuan itu meyakinkan dan sesuai dengan ralitas maka ia disebut ilmu, jika hanya mendekati tingkat yakin maka disebut zann, dan jika meragukan disebut syakk. Al-Qâdy al-Bâqillâny memaknai ilmu sebagai: “Mengetahui sesuatu sebagaimana adanya”, yakni pengetahuan akan esensi sesuatu. Sementara Fakhruddîn Ar-Râzy mengkritik semua definisi ilmu di atas dan memilih pendapat bahwa ilmu tidak dapat didefinisikan, karena menurutnya ilmu terlalu jelas untuk didefinisikan. Upaya mendefinisikanya hanya akan memperumit konsepsinya, padahal sebuah definisi bertujuan untuk memperjelas sesuatu yang kurang jelas atau tidak terang agar menjadi jelas dan terang, bukan sebaliknya.[12]

Dalam al-Mu’jam al-Falsafy (Ensiklopedi Filsafat), Dr. Jamil Saliba merangkum makna kata ma‘rifah (pengetahuan) yang dicapai oleh para filosof kontemporer terkumpul dalam empat definisi—yang beliau kutip dari Ensiklopedi Filsfat karya Andre Lalande—bahwa pengetahuan adalah: (1) Aktivitas akal dalam mempersepsikan realitas. (2) Aktivitas akal dalam menelusuri esensi realitas. (3) Pengetahuan hasil aktivitas akal dengan makna pertama. (4) Pengetahuan hasil aktivitas akal dengan makna kedua. Definisi pertama dan kedua identik dengan sifat atau aktivitas nalar, sementara definisi yang ketiga dan keempat identik dengan pengetahuan yang dihasilkan dari aktivitas nalar.[13]

Berdasarkan definisi-definisi para pakar di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu atau pengetahuan itu memang terlalu terang untuk didefinisikan, karena setiap orang telah menyadari di dalam dirinya bahwa ia mengetahui. Definisi-definisi di atas hanyalah upaya mendefinisikan sebagian sisi dari makna ilmu. Ada yang mendefinisikannya sebagai keyakinan yang sesuai dengan realitas seperti definisi Imam H{aramain, atau pengetahuan akan esensi sesuatu seperti definisi al-Qâdy, atau sifat dari zat yang mengetahui seperti definisi Imam al-Asy‘ary, atau kondisi yang dirasakan di dalam diri yaitu tampilnya gambar sesuatu pada diri yang mengetahui seperti definisi Imam al-Ghazâly dan para filosof. Intinya, semua definisi di atas adalah upaya untuk menjelaskan sesuatu yang sudah jelas di dalam diri manusia yang ia sadari dan rasakan sendiri. 

            Ibnu Taimiyah sendiri tidak menafikan definisi-definisi ilmu tersebut. Beliau setuju pengetahuan adalah proses tergambarnya sesuatu pada diri pribadi orang yang mengetahui (irtisâm sûrat asy-syai fî al-‘âlim), atau ia adalah gambaran/citra pengetahuan itu sendiri (nafs as-sûrah al-‘ilmiyyah) pada diri orang berakal yang sesuai dengan obyek yang diketahui.[14] Yang pertama adalah proses hadirnya citra sesuatu pada akal manusia, dan yang kedua citra itu sendiri pada akal. Beliau memberi permisalan seperti penampakan bayangan pada cermin “Terjadinya citra pengetahuan (sûrah ‘ilmiyyah) dalam diri orang yang mengetahui seperti terjadinya bayangan wajah pada cermin atau air; dan telah maklum bahwa gambar pada cermin atau air itu bukanlah zat matahari atau wajah itu sendiri dan tidak pula sama dalam esensi ataupun substansinya, melainkan sekedar pantulan.”[15] Beliau mengumpamakan pengetahuan seperti proses hadirnya bayangan pada cermin, atau bayangan yang muncul pada cermin itu sendiri. Yang jelas bahwa keduanya berbeda dengan realitas kongkret pemilik bayangan yang dipantulkan di cermin tersebut.

Tetapi pengetahuan bagi beliau bukanlah semata-mata hadirnya gambar di dalam benak manusia. Pengetahuan jauh lebih kompleks daripada sekedar demikian.[16] Ia dapat berupa kesadaran akan eksistensi dan potensi-potensi diri, sensasi yang dirasakan di dalam diri seperti rasa sakit, lapar dan dahaga, kesadaran akan eksistensi eksternal yang ditangkap oleh panca indra, seperti gambar yang dicerap mata, suara yang didengar telinga, aroma yang dihirup hidung, citarasa yang dikecap lidah, sentuhan yang dirasakan oleh kulit, termasuk juga abstraksi akal terhadap dimensi ruang dan waktu, hubungan relasional antar obyek, pengetahuan-pengetahuan apriori yang tertanam di dalam diri manusia seperti pengetahuan tentang bilangan dan penjumlahan, serta yang terpenting dari semua pengetahuan itu adalah pengetahuan yang bersumber dari wahyu Tuhan.

B. Mungkinkah Manusia “Mengetahui”?

Pertanyaan ini sebenarnya terlihat culun! Karena apabila seseorang mempertanyakan apakah pengetahuan itu sesuatu yang mungkin bagi manusia? berarti  sebenarnya ia telah mengetahui apa itu pengetahuan. Sebab tidak mungkin seseorang mempertanyakan kemungkinan sesuatu yang tidak ia ketahui. Jika ia telah mengetahui apa itu pengetahuan berarti ia telah mengetahui sesuatu, sehingga pertanyaan: mungkinkah manusia itu mengetahui? menjadi sesuatu yang kontradiktif. Terlepas dari hal ini, telah masyhur bahwa di zaman Yunani Kuno, pada era Sokrates, yaitu sekitar abad ke-5 SM, terdapat sekelompok filosof kalangan Sophis yang menafikan pengetahuan manusia akan hakikat segala sesuatu. Mereka meragukan fakta-fakta kebenaran dan berusaha menggoyahkan dasar-dasar ilmu pengetahuan. Kemahiran retorika mereka gunakan untuk memutarbalikkan fakta, meruntuhkan nilai-nilai tradisi dan moralitas demi meraih materi duniawi.[17]

Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa kalangan Sophis (Sûfastâ’iyyah) yang menentang “pengetahuan manusia” itu ada empat golongan: Pertama, golongan agnostik (al-lâ adriyyah) yang menganggap manusia tidak mengetahui bahwa realitas itu bersifat pasti ataupun tidak pasti. Kedua, golongan skeptik-radikal (al-‘inâdiyyah) yang menolak sepenuhnya kepastian segala realitas dan pengetahuan tentangnya. Ketiga, golongan relativis (al-‘indiyyah) yang memandang bahwa realitas segala sesuatu itu tergantung kepada siapa yang memandang. Seorang yang memandang bahwa sesuatu itu pasti maka itu hanya pasti bagi dia, belum tentu bagi orang lain. Dan keempat, golongan skeptik-pesimis (syukkâk) yang memandang bahwa realitas segala sesuatu itu memang ada namun tidak ada jalan untuk mengetahuinya.[18]

Aliran filsafat ini ‘dikatakan’ mengingkari fakta dan tidak mengakui apapun yang dirasakan dan dipikirkannya. Tetapi, bagi Ibnu Taimiyah, pola pikir yang mengingkari segenap pengetahuan manusia sebenarnya tidak pernah terjadi. Menurut beliau, mustahil sebuah bangsa bisa hidup dengan pola pikir semacam ini. Karena jika manusia tidak saling mengenal satu sama lain, tidak dapat membedakan antara dirinya dan orang lain, antara hari ini dan hari kemarin, antara apa yang dimakan dan diminum, antara istri atau anaknya dan yang bukan istri atau anaknya, tak bisa membedakan pakaiannya dan pakaian orang lain, perkataannya dan perkataan orang lain, maka ia hakikatnya adalah orang gila! Bahkan kebanyakan orang gila pun masih memiliki sedikit daya identifikasi terhadap sesuatu, demikian juga binatang. Maka sungguh aneh mengatakan ada segolongan sekte yang menyangkal dan tidak mengakui hakikat segala sesuatu! Sebenarnya kaum Sophis adalah orang yang mengalami semacam ‘kondisi tak normal’ yang menjadikan mereka mengingkari sebagian hakikat dan mencampuraduk antara kebenaran dengan kepalsuan.[19]

Yang diingkari oleh Ibnu Taimiyah adalah anggapan bahwa kaum Sophis mengingkari hakikat ‘segala sesuatu’, karena orang yang tidak bisa mengetahui dan membedakan hakikat segala sesuatu hanyalah orang gila atau hewan saja. Bahkan hewan saja masih memiliki sedikit kemampuan mengidentifikasi. Ayam masih bisa mengenal anaknya, induknya, membedakan mana makanan dan yang bukan makanan, bisa kembali pulang ke kandang dan sebagianya. Maka, kaum Sophis itu adalah segolongan orang yang menafikan pengetahuan akan ‘sebagian hakikat’ saja, bukan keseluruhan hakikat, baik karena kekacauan pola pikir atau sengaja mencampuradukkan kebenaran dan kepalsuan dengan tujuan tertentu, apakah untuk mencari cuan, kecendrungan negatif untuk merusak tata nilai, moral dan agama.

Pandangan Ibnu Taimiyah ini bukanlah pembelaan terhadap kaum Sophis, tetapi justru merupakan hantaman keras terhadap mereka. Sebab pada kenyataannya, kaum Sophis itu dikenal sebagai para filosof, orang-orang yang ahli berdebat dan berlogika, bukan orang gila yang tidak mengetahui atau mengenal sandalnya sendiri! Mereka pasti mengenal orangtua, istri, anak-anak, pakaian, pekerjaannyanya dan sebagainya. Jika mereka mengenal itu semua berarti sebenarnya mereka ‘bisa mengenal, mengetahui dan mengidentifikasi sesuatu’, sehingga klaim mereka bahwa segala sesuatu tidak mungkin bisa diketahui kepastiannya adalah kedustaan yang terbantahkan oleh sikap mereka sendiri. Maka, kalaupun mereka mengingkari sebagian fakta, maka itu terjadi karena ada something error pada pola pikir mereka, atau mereka sengaja memutarbalikkan fakta untuk maksud dan kepentingan tertentu. Sebab mustahil mereka bisa hidup jika mengingkari pengetahuan akan segala sesuatu.

Adapun bagi Ibnu Taimiyah pengetahuan itu bukan sekedar sesuatu yang mungkin, bahkan merupakan sesuatu yang aksiomatis dan faktual seperti halnya wujud realitas. Beliau menegaskan bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang eksis sebagaimana eksisnya ciptaan. Sebagaimana Allah SWT adalah Pencipta makhluk (khalaqa al-insân), Dia juga adalah Pengajar makhluk (‘allama al-insân).[20]Sebagaimana makhluk adalah ciptaan Tuhan maka pengetahuan pun adalah pengajaran Tuhan, dan sebagaimana diri-Nya adalah sumber bagi wujud makhluk maka pengetahuan tentang-Nya juga merupakan basis bagi segala pengetahuan makhluk.[21]Sebagaimana realitas eksternal adalah eksistensi yang bersifat nyata di luar pikiran, demikian pula ia dapat diketahui dan dipersepsikan oleh akal pikiran, diungkapkan oleh lisan dan dituangkan dalam bentuk tulisan.[22]

Menurut Ibnu Taimiyah pengetahuan-pengetahuan itu datang kepada diri manusia melalui perantara para malaikat. “Ilmu itu terjadi di dalam diri seperti hal terjadinya seluruh persepsi indra dan gerakan badan, dengan sebab yang dijadikan oleh Allah, dan semua itu melalui perantara para Malaikat Allah—Ta‘âlâ—karena Allah menurunkan semua itu ke dalam hati hamba-hamba-Nya berupa ilmu dan kekuatan sesuai kadar yang Dia kehendaki.”[23] Hal ini dalam pandangan Islam bukan hal yang asing, sebab Allah SWT mengatur alam semesta melalui para malaikat. Ada malaikat yang bertugas membawa wahyu (Jibrîl), ada yang bertugas mengatur hujan dan membagi rezeki (Mîkâ’îl), ada yang bertugas menjaga gunung, lautan dan sebagainya. Bahkan malaikat yang menjadi pengawal manusia pun cukup banyak; ada yang bertugas sebagai penjaga (hafazah), ada yang bertugas sebagai pencatat amal baik dan buruk (raqîb-‘atîd), dan ada juga yang bertugas memberikan lammah yaitu bisikan berupa janji-janji kebaikan atau dorongan mengimani kebenaran.[24]

Tetapi penyampaian ilham oleh malaikat ini tentu tidak diartikan sebagai turunnya malaikat dalam rangka menyampaikan wahyu Tuhan sebagaimana halnya kepada para nabi, tetapi penyampaian ilham berupa ilmu atau ide-ide kebaikan di sini adalah seperti hal yang terjadi pada makhluk-makhluk Allah secara umum. Allah menciptakan makhluk, menyempurnakan ciptaan-Nya, memberikannya takdir serta memberikan petunjuk ilham kepada mereka. [QS. al-A‘lâ: 2-3]. Dia memberikan ilham kepada jiwa manusia berupa pengetahuan tentang hal-hal yang merupakan ketakwaan dan juga kemaksiatan [QS. asy-Syams: 8]. Dia mengilhamkan kepada Ibunda Nabi Musa untuk menyusui putranya lalu mengalirkannya di sungai Nil [QS. al-Qasas}: 7]. Dia juga memberikan ilham kepada lebah agar membuat sarang di gunung-gunung, pohon-pohon dan sarang-sarang yang dibuatkan oleh manusia. [QS. an-Nahl: 68].

C. Tabiat Pengetahuan

Maksud “tabiat pengetahuan” ialah relasi antara manusia sebagai subyek yang mengetahui dan realitas segala sesuatu sebagai obyek yang diketahui[25], dengan kata lain, relasi antara pengetahuan manusia dan realitas eksternal. Dalam dunia filsafat Yunani kuno terdapat dua mazhab besar filsafat yang saling berdebat seputar realitas eksternal (wujûd khârijy) dan realitas imajiner (wujûd dzihny) yaitu: filsafat Idealisme (Mitsâliyyah) dan filsafat Realisme (Wâqi‘iyyah). Mereka mempersoalkan apakah hakikat kedua eksistensi ini? Jika pengetahuan manusia itu eksis, realitas eksternal juga eksis, lantas apakah hubungan antara kedua eksistensi ini? Apakah keduanya merupakan hakikat yang sama ataukah berbeda? Manakah di antara keduanya yang lebih utama: eksistensi sesuatu ataukah pengetahuan tentangnya?[26]

Filsafat Idealisme adalah mazhab filsafat yang dipelopori oleh Plato yang mengembalikan segenap realitas eksternal kepada alam pikiran yang mandiri terpisah dari eksistensi indrawi. Filsafat ini memandang bahwa realitas atau eksistensi sejati adalah ide, sementara fenomena alam hanyalah bayang-bayang dari alam ide yang eternal dan tidak pernah berubah[27]sehingga eksistensi ide lebih layak disebut ada daripada realitas itu sendiri.[28] Sebab, realitas eksternal selalu berubah dan berganti, terlahir dan hancur, tidak ada yang bersifat tetap dan meyakinkan. Sementara esensi sejati dari realitas indrawi kausanya adalah citra-citra mandiri yang tidak bermateri, tidak dapat diindra, hanya dapat dicerap oleh akal saja, dan para filosof menyebutnya dengan istilah idea/konsep (mutsul/nazhariyah).[29]

Menurut filsafat ini, pengetahuan terhadap esensi segala sesuatu dihasilkan oleh jiwa, bukan oleh indra. “Jiwa menyaksikan sebagian realitas oleh dirinya secara langsung dan juga menyaksikannya dengan mediasi anggota badan.”[30] Tetapi pengetahuan yang diperoleh dari indra hanyalah bayangan partikular di dalam imajinasi yang tidak memberikan pengetahuan sejati.[31] Pengetahuan sejati adalah yang terkait dengan eksisten yang tiada berwarna, tiada berbentuk dan memiliki esensi yang tidak dapat diperoleh melalui panca indra, tetapi hanya disaksikan dan dicerap oleh akal semata.[32]Misalnya, ketika indra menyaksikan realitas kuda yang banyak maka akal melakukan sterilisasi (tajrîd) terhadap aspek-aspek aksidensial seperti warna dan sifat-sifat khusus pada setiap kuda tersebut, hingga tersisa sebuah citra kuda yang imajiner. Itulah yang disebut sebagai eksistensi rohani yang non fisikal, atau ide.[33] 

Adapun Aristoteles, pelopor filsafat Realisme, menolak ajaran Plato tentang Idea. Menurutnya tidak ada ide-ide abadi. Apa yang dipahami oleh manusia tidak lain adalah citra-citra abstrak yang dipahami oleh akal budi yang diperoleh dari pengindraan terhadap realitas eksternal yang konkret. Menurutnya ajaran Plato tentang idea-idea merupakan interpretasi yang salah terhadap fakta bahwa manusia dapat membentuk konsep-konsep universal di dalam pikirannya tentang realitas empiris partikular.[34] Dari sini filsafat Realisme memandang bahwa realitas eksternal memiliki eksistensi mandiri yang terpisah dari segenap akal yang mengetahuinya.[35] Eksistensi sejati adalah realitas eksternal, bukan ide atau realitas imajiner. Realisme berasal dari kata “real” berarti yang aktual atau eksis dan menunjuk kepada benda-benda atau kejadian-kejadian yang nyata, lawan dari kata imajinasi atau persepsi pikiran.[36]Objek-objek eksternal adalah sesuatu nyata pada dirinya, tidak tergantung pada subjek (manusia) yang mengetahui. “Obyek-obyek eksternal yang riil dicerap oleh indra, sehingga yang melahirkan persepsi indrawi adalah obyek eksternal yang memberikan efek pada indra manusia. Artinya, pengetahuan pada subyek yang mengetahui ditentukan oleh keadaan objek.”[37]

Menurut filsafat ini hubungan antara realitas eksternal dan pikiran ialah bahwa pikiran merupakan subyek memperoleh pengetahuan tentang suatu obyek sesuai dengan kenyataan obyek itu sendiri, dan obyek tidak tergantung pada persfektif subyek. Pengetahuan akan sesuatu tak lain sekedar citra atau gambar daripada realitas eksternal di dalam diri subyek yang mengetahui. Sementara realitas eksternal adalah eksistensi yang bersifat tetap sebagaimana adanya, tidak berubah-ubah dan tidak dipengaruhi oleh pengetahuan kita terhadapnya, dan ia selaras dengan citra atau pemikiran kita tentangnya yang kita ketahui melalui mediasi potensi mengetahui di dalam diri.[38]

Ketika filsafat Realisme memandang bahwa eksistensi sejati adalah realitas eksternal, sementara ide atau pengetahuan hanya sekedar citra tentang realitas eksternal dan bukan merupakan hakikat eksistensi sejati, konsep inilah yang kemudian menjadi benih munculnya paham Materialisme modern yang mengingkari segala bentuk pemikiran yang berbau metafisika, karena dianggap hanya sekedar ilusi manusia. Maka pembicaraan mengenai ketuhanan atau alam gaib yang tidak dapat diindra dalam pandangan filsafat ini menjadi tidak punya arti. Implikasinya bahwa eksistensi sejati menurut filsafat Materialisme ini adalah eksistensi alam material ini saja yang merupakan entitas yang berdiri sendiri, berjalan sendiri secara mekanik dan sistemik, tanpa perlu “Agen luar” yang diklaim memberikan pengaruh terhadapnya.[39] Maka filsafat Realisme pada akhirnya bermuara kepada paham Materialisme-Atheisme yang tidak mengakui Tuhan Pencipta yang tentu saja sangat bertentangan dengan akidah Islam.

Di sisi lain, ketika filsafat Idealisme memandang bahwa eksistensi sejati adalah alam ide yang terpisah daripada realitas eksternal, di mana realitas eksternal hanyalah bayang-bayang dari alam ide yang bersifat immateri dan eternal maka filsafat ini telah memunculkan semacam dogma yang menjadikan intelek sebagai ‘berhala’ yang didewakan. Dalam dogma ini tidak jelas keyakinan tentang “konsep penciptaan”, atau hubungan antara manusia sebagai makhluk dengan Tuhan sebagai Zat yang menciptakan dan mengajarinya. Bahkan meskipun filsafat ini mengakui adanya Tuhan, tetapi Tuhan tersebut akan ditafsirkan sebagai sebuah “ide” atau “pikiran” yang tidak jelas hakikatnya. Tuhan dengan makna ini adalah impersonal yang hanya ada di dalam pikiran. Oleh karena itu ketuhanan Plato ialah Kebaikan, Keindahan, Kesatuan dan seterusnya, dengan kata lain hanya berupa konsepsi-konsepsi saja.[40]Tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan al-Quran yang memandang bahwa hubungan Tuhan dengan makhluk adalah hubungan antara Zat dan zat[41], bukan antara zat dan pikiran atau konsep.

Harry Austryn menjelaskan: “Plato treats of god either as one of ideas, a supreme idea, the idea of good, or as a being above the ideas, a demiurge, who cannot, however, but be of the same nature as the ideas.”[42] Di sini tampaknya Plato terjebak antara dua persepsi kontradiktif; antara memandang Tuhan sebagai sebuah ide, ide teragung, ide mengenai kebaikan, atau sebagai demiurge(agen pergerakan/ penciptaan) yang melampaui ide dan tidak mungkin memiliki hakikat yang sama dengan ide. Jika dia memandang Tuhan dengan persepsi kedua, yaitu sebagai Demiurge, atau agen pencipta yang tidak sama dengan ide, alias merupakan entitas independen yang terpisah dari ciptaan-Nya maka dalam hal ini ia sedikit mendekat kepada akidah Islam, selama ia menafsirkan demiurge tersebut sebagai sesuatu yang singular bukan plural, karena nyatanya dalam beberapa tempat ia menulis demiurge dalam bentuk plural (Demiurge[s]).[43] Cicero menulis bahwa ada banyak pembicaraan Plato yang tidak konsisten/konsekuen. Ia percaya bahwa dunia adalah Tuhan, begitu juga langit, bintang, jiwa dan semua ketuhanan yang dikenal oleh leluhur. Pada saat yang sama ia berusaha memperkenalkan figur Tuhan dengan mengatakan bahwa Tuhan adalah Satu dan Unik, tetapi kemudian menjelaskan pula sebagai pluralitas dengan adanya beberapa Tuhan (dewa).[44]

Namun jika ia memandang Tuhan sebagai “ide mutlak”[45] yang impersonal maka hal ini mengandung penyimpangan teologis yang sangat fatal. Diantaranya, ide mutlak yang impersonal dipahami sebagai sebuah konsep atau makna umum tentang ide, yang tentu saja tidak merujuk kepada sebuah entitas independen melainkan sebuah aksiden. Karena dalam konsep Ibnu Taimiyah, eksistensi ide, ilmu ataupun akal hanyalah aksiden yang tidak independen, tetapi dependen pada entitas yang menyandangnya.[46] Tentu akan sangat naif menganggap Tuhan hanya sekedar aksiden atau sifat! Karena akan menggeser posisi ontologis Tuhan yang merupakan zat independen dengan segala sifat kesempurnaan-Nya, menjadi sekedar sifat yang tidak dapat berdiri sendiri tanpa zat. Sifat ada jika zat ada. Jika zat tidak ada maka sifatpun tidak ada. Oleh karena itu, realasi antara Tuhan dengan makhluk dalam pandangan ini menjadi terbalik. Makhluk dianggap sebagai zat yang independen, sementara Tuhan dianggap sebagai aksiden yang tidak independen tanpa makhluk! Tuhan ada karena ada makhluk. Kalau tidak ada makhluk maka Tuhan tidak ada! Naudzubillah.

Di sisi lain, konsep ini mengarah kepada anggapan kesatuan wujud Tuhan dan makhluk “wahdat al-wujûd (Pantheisme)”[47]karena alam semesta ini tiada lain hanyalah bayangan dari ide abadi yang dianggap sebagai Tuhan. Anggapan ini tidak memandang dualisme ontologis, yakni eksistensi Tuhan yang terpisah dari eksistensi makhluk, melainkan makhluk yang berupa alam semesta ini tiada lain hanyalah manifestasi atau emanasi Tuhan! Sebab berdasarkan teori Plato, rumah, kucing, stapler, kantong kresek dan seluruh realitas dunia empiris ini adalah salinan tak sempurna (imperfect copies) daripada bentuk-bentuk ideal yang eksis dan eternal di Alam Ide.[48] Namun relasi antara alam Ide dan dunia empiris ini masih tidak jelas, hingga datanglah Plotinus (Neo Platonis, 204-270 M) yang menafsirkan mekanisme pengkopian alam materi dari ide abadi tersebut dengan teori “Emanasi”nya, yang menandaskan bahwa Realitas itu terdiri dari Yang-Satu atau The One (to Hen), di mana Yang-Satu ini merupakan sumber yang melimpahkan Roh (Nous); kemudian Roh memancarkan Jiwa (Psykhe); dan Jiwa memancarkan Materi (Hyle).[49]

Itulah konsekuensi fatal daripada filsafat Idealisme yang tak kalah fatalnya dari filsafat Realisme yang berujung pada paham materialisme yang mengingkari eksistensi Tuhan. Jika filsafat Realisme memandang bahwa eksistensi sejati hanyalah realitas alam semesta yang berujung kepada paham Materialisme yang mengingkari eksistensi Tuhan maka filsafat Idealisme juga demikian. Sebab filsafat ini memandang bahwa eksistensi sejati hanyalah eksistensi ide, sementara alam semesta ini bukan eksistensi sejati, tetapi sekedar manifestasi daripada ide. Yang satu memandang eksistensi itu hanya satu yaitu realitas material, tidak ada Tuhan di balik itu; dan yang lain memandang eksistensi sejati adalah ide yang diklaim sebagai Tuhan, sementara yang lain hanyalah manifestasi dari ide tersebut. Walhasil, kedua pandangan filosofis ini bermuara pada pengingkaran terhadap konsep penciptaan dan dualisme wujud, yaitu wujud Tuhan sebagai Sang Pencipta dan wujud makhluk sebagai ciptaan-Nya!

Jika kita menelusuri konsep Ibnu Taimiyah tentang “tabiat pengetahuan”, atau relasi antara eksistensi eksternal (wujûd khârijiy) dan eksistensi pengetahuan (wujûd dzihniy) maka keduanya memang berkaitan erat. Menurut beliau, keduanya sama-sama merupakan eksistensi meskipun dengan karakter yang berbeda. Realitas eksternal adalah sumber dan dasar pengetahuan, tetapi pengetahuan tidak menjadi syarat bagi eksistensi sebuah realitas. Sebuah realitas tetaplah eksis baik manusia mengetahuianya ataupun tidak. Artinya, pengetahuan itu bersifat tergantung dan mengikut kepada realitas dan bersumber darinya. Beliau mengatakan: “Sebuah realitas yang terpisah dari kita tidaklah tergantung kepada persepsi pikiran kita, tetapi persepsi pikiran kitalah yang tergantung kepadanya.[50] Beliau juga mengatakan: “Pengetahuan itu sifatnya sesuai dengan obyek yang diketahui (ma‘lûm) tapi pengetahuan itu sendiri berbeda dan mandiri. Namun, pada saat yang sama, pengetahuan (‘ilm) itu bersifat mengikut dan bergantung kepada obyek yang diketahui (ma‘lûm).”[51]

Sekilas konsep Ibnu Taimiyah ini ada miripnya dengan pandangan filsafat Realisme Kalasik di atas. Tetapi jika ditelusuri lebih jauh keduanya sangat berbeda secara kontras. Sebab filsafat Realisme memandang bahwa realitas eksternal adalah eksistensi sejati, sementara pengetahuan hanyalah abstraksi terhadap realitas eksternal yang bersifat ilusi atau imajinasi semata. Adapun Ibnu Taimiyah, beliau memandang bahwa pengetahuan memiliki eksistensi tersendiri sebagaimana akan dipaparkan berikutnya. Selain itu, konsep filsafat Realisme bermuara pada paham Materialisme yang memandang Tuhan itu hanyalah sekedar ilusi yang tidak memiliki wujud riil. Ibnu Taimiyah jelas tidak demikian. Beliau dan seluruh umat Islam meyakini bahwa Tuhan adalah eksistensi yang paling riil dan hakiki. Dialah Pencipta dan sebab wujud bagi seluruh realitas eksternal. Adapun realitas alam semesta—yang diyakini oleh kaum Materialisme sebagai eksistensi hakiki—memang betul ia adalah eksistensi riil, tetapi ke-riil-annya tidak mandiri melainkan disebabkan oleh Penciptanya. Demikian pula eksistensi pengetahuan, ia adalah eksistensi riil yang merupakan pengajaran Tuhan.

Ibnu Taimiyah menjelaskan tentang hakikat kedua eksistensi tersebut dalam konsep ontologisnya sebagai berikut:

“Allah SWT adalah pencipta seluruh realitas eksternal dan pengajar seluruh persepsi imajiner yang selaras dengan eksistensi eksternal… Maka sebagaimana Dia adalah pencipta segala eksistensi riil (wujûd ‘ainy) Dia pula adalah pengajar seluruh eksistensi imajiner (wujûd dzihny). Realitas eksternal adalah tanda yang menunjukkan kepada wujud-Nya, dan apabila tanda tersebut dipersepsikan oleh akal secara spesifik ataupun general maka Dialah yang mengajarkan persepsi tersebut, sebab persepsi akal juga merupakan tanda-Nya yang menunjukkan kepada wujud-Nya.”[52]

Artinya, baik eksistensi eksternal-relistis maupun eksistensi internal-imajiner, keduanya tanda atau makhluk ciptaan Tuhan yang menunjukkan kepada eksistensi-Nya. Bedanya, yang satu diciptakan secara faktual di luar pikiran (ja‘l khalqy) dan yang lain diciptakan secara imajiner dalam bentuk pengajaran dari dalam pikiran (ja‘l ta‘lîmiy).[53] Artinya, mengatakan bahwa salah satu dari kedua wujud tersebut adalah yang hakiki dan menjadi sumber bagi wujud yang lain, sementara wujud yang lain hanyalah bayangan yang merupakan manifestasi dari wujud hakiki tersebut tidak lain hanyalah klaim tanpa bukti. Yang satu bukan berasal dari yang lain, tetapi kedua eksistensi tersebut berasal dari Penciptanya.

Karena kedua eksistensi tersebut merupakan ciptaan tersendiri maka manusia bisa saja memikirkan sesuatu yang belum ada atau tidak ada sama sekali. Dengan kekuatan imajinasinya ia bahkan dapat merekayasa realitas eksternal, mengimajinasikan gambar-gambar tanpa batas berbasis realitas yang ia saksikan, seperti mengimajinasikan manusia berkepala singa, gunung emas, lautan air raksa dan sebagianya. Bagi Ibnu Taimiyah, persepsi akal lebih luas daripada realitas ekstramental, sebab akal bukan saja dapat mempersepsikan sesuatu yang ada tetapi juga dapat mengabstraksikan sesuatu yang tidak ada, bahkan sesuatu yang mustahil ada.[54] Tetapi di sisi lain, pengetahuan manusia sangat terbatas. Akal manusia tidak mampu mengetahui seluruh realitas, baik karena tidak pernah disaksikan oleh indranya ataupun karena tidak terjangkau oleh akal pikirannya, seperti alam gaib.

Karena eksistensi imajiner adalah ciptaan tersendiri yang berbeda karakternya dengan realitas eksternal maka sangat mungkin pikiran dan persepsi seseorang tentang suatu realitas itu salah, dalam arti tidak sesuai dengan realitas eksternal. Dan merupakan fakta bahwa pengetahuan manusia itu bertingkat-tingkat, seseorang mengetahui pengetahuan yang tidak diketahui oleh orang lain, karena pengetahuan bukanlah sesuatu yang melekat semenjak awal pada akal manusia melainkan relatif kepada orang yang mengetahuinya.[55] Oleh karena itu pula: “Ketiadaan pengetahuan akan sesuatu bukan berarti mengetahui bahwa sesuatu itu tidak ada, ketiadaan pengetahuan akan realitas tidak menafikan eksistensi realitas tersebut.”[56] Maka, sebagaimana akal dapat mengimajinasikan sesuatu yang tiada wujudnya, ia juga terkadang mempersepsikan sesuatu tidak sesuai dengan realitasnya, dan juga tidak mampu mengetahui seluruh realitas karena keterbatasannya.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa selain pandangan kedua mazhab filsafat di atas tentang tabiat pengetahuan, terdapat mazhab ketiga yaitu mazhab Ibnu Taimiyah dan kaum Muslimin yang memandang bahwa baik eksistensi eksternal maupun eksistensi imajiner, keduanya adalah ciptaan Tuhan. Dengan perspektif ini, tidak dibutuhkan pertanyaan: manakah yang lebih utama di antara kedua eksistensi tersebut? dan tamatlah perdebatan panjang para filosof seputar tabiat pengetahuan ini. Dan jelaslah pula hakikat relasi antara keduanya, bahwa keduanya adalah ciptaan Tuhan yang sesuai dengan karakter masing-masing; yang satu diciptakan secara riil di luar pikiran, dan yang lain diciptakan secara imajiner di dalam pikiran. Kalaupun harus ditentukan manakah eksistensi yang lebih utama tentu saja yang lebih utama daripada kedua eksistensi tersebut adalah eksistensi Penciptanya, yang justru diingkari oleh filsafat Materialisme dan menjadi konsekuensi logis bagi filsafat Idealisme.

D. Jenjang Ontologis Pengetahuan

Jenjang ontologis pengetahuan sering ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah ketika membahas tentang konsep derajat ontologis segala sesuatu. Misalnya penegasan beliau ketika menfasirkan surat Al-‘Alaq ayat 1-5:

“Segala sesuatu memiliki eksistensi tersendiri (tsubût fî nafsihi) yang riil di luar pikiran, kemudian dipersepsikan oleh akal dan hati, lalu diungkapkan dengan lisan kemudian dituangkan dalam tulisan. Maka ia memiliki wujud riil (wujûd ‘ainy), wujud imjiner (wujûd dzihny), wujud verbal (wujûd lafzy) dan wujud tekstual (wujûd rasmy). Wujud riil itu adalah yang pertama, sementara ketiga wujud berikutnya adalah gambaran yang sesuai dengannya (mitsâl mutâbiq). Yang pertama ‘diciptakan’ dan tiga berikutnya ‘diajarkan’. Maka Allah menyebut (dua hal): ‘penciptaan’ dan ‘pengajaran’ agar tercakup empat jenjang ontologis. Allah berfirman (yang artinya): ‘Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu lah yang Mahamulia. Yang mengajarkandengan perantara pena. Mengajari manusia apa yang ia tidak ketahui.’[57]

Dari kutipan ini dipahami bahwa derajat ontologis seluruh realitas dalam konsep Ibnu Taimiyah ada empat: (1) Eksistensi Riil (wujûd khârijy), yaitu wujud nyata yang kongkret di luar pikiran yang disebut sebagai realitas eksternal atau ekstramental, seperti wujud Tuhan dan wujud makhluk yang riil dan faktual. (2) Eksistensi Imajiner (wujûd dzihny), yaitu persepsi, imajinasi dan abstraksi akal terhadap wujud riil, seperti persepsinya tentang hakikat manusia, imajinasinya tentang wujud manusia berkepala singa, abstraksinya terhadap nilai-nilai, angka-angka, hubungan relasional, hukum-hukum logika dan sebagainya. (3) Eksistensi Verbal (wujûd lafzy), yaitu eksplanasi lisan tentang persepsi dan abstraksi akal. Dan (4) Eksistensi Tekstual (wujûd kitâby), yaitu tulisan yang sesuai dengan eksplanasi lisan tersebut.

Berdasarkan keempat jenjang ontologis tersebut suatu entitas riil dalam pandangan Ibnu Taimiyah akan dipersepsikan oleh akal, lalu diungkapan secara verbal, kemudian ungkapan verbal dituangkan dalam bentuk tulisan. Eksistensi derajat pertama adalah wujud yang riil dan faktual, sementara eksistensi yang lain hanyalah mitsâl mutâbiq (gambaran selaras) bagi derajat wujud yang pertama; baik berupa persepsi akal yang bersifat imajiner yang serupa dengan realitas di luar pikiran, atau berupa ungkapan verbal yang sesuai dengan persepsi imajiner tersebut, ataupun jabaran tekstual tentang ungkapan verbal tersebut.[58] Dari sini diketahui bahwa pengetahuan menurut Ibnu Taimiyah adalah eksistensi imajiner yang tidak independen, baik ia dianggap sebagai persepsi akal ataupun citra yang hadir di dalam akal, keduanya bukanlah entitas independen, melainkan aksiden yang dependen atau melekat pada subyek yang mengetahui.[59] Tetapi keduanya adalah realitas ciptaan Tuhan yang eksis dan memiliki eksistensi tersendiri sesuai karakter masing-masing.

Namun demikian, Realitas yang paling riil dan sejati tentunya adalah Pencipta keduanya. Realitas wujud hakiki merupakan salah satu makna dari nama Allah “Al-Haq”. Menurut Ibnu Taimiyah, nama Allah “Al-Haq” jika dilihat dari derajat ontologis di atas memilki dua makna: Pertama, jika dilihat dari segi zat atau wujud riil Tuhan, Al-Haq berarti “Yang Ada secara mandiri” (al-Mawjûd bi nafsihi), Yang Niscaya Ada (Wâjib al-Wujûd), Yang Mustahil tiada (Mumtani‘ al-‘Adam), dan Dialah Allah SWT, Pencipta seluruh eksistensi yang lain. Lawannya adalah al-bâtil yang berarti: “yang tiada” (al-ma‘dûm). Maka segala sesuatu selain Allah yang dianggap sebagai Tuhan adalah batil, karena memang tiada Tuhan selain Dia. Kedua, jika dilihat dari segi wujud imajiner (dzihny), verbal (lafzy) dan tekstual (kitâby) maka “Al-Haq” berarti: kesesuaian antara pemahaman, ungkapan dan tulisan dengan realitas eksternal (wujûd ‘ainiykhârijy), karena yang namanya pemahaman, berita dan tulisan bersifat mengikut dan bergantung kepada realitas eksternal. Mana yang sesuai dengan realitas eksternal itulah yang disebut kebenaran (al-haq) dan yang tidak sesuai dengannya disebut kesalahan (al-batil).[60]

E. Proses Pengetahuan

Proses pengetahuan bermula dari kesadaran atau perasaan manusia akan dirinya sendiri dan potensi-potensi di dalam dirinya. Ia sadar dan merasakan bahwa ia dapat melihat, mendengar, menyentuh, merasa dan sebagianya. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sensasi (syu‘ûr) adalah derajat ilmu atau pemahaman yang paling awal. Orang yang tidak merasakan sesuatu bagaimana dapat dikatakan ia mengetahui atau memahaminya![61] Sensasi ini tersemat kuat di dalam diri manusia tanpa dia upayakan, seperti sensasi akan wujud dirinya, sensasi akan rasa lapar, kenyang, dahaga, sakit dan sebagianya yang dirasakan oleh indra dalamnya, dan juga sensasi bahwa ia dapat melihat, mendengar, menyentuh, merasakan dan mencium aroma daripada dunia eksternal. Sensasi semacam ini bersifat hudûry yaitu merupakan potensi yang telah hadir secara otomatis di dalam diri manusia tanpa dipelajari, tanpa dikehendaki oleh manusia dan tidak butuh mediator untuk mengetahuinya.

Kemudian sensasi hudûry ini disusul oleh kesadaran terhadap dunia eksternal melalui mediasi indra luar dan indra dalamnya. Ibnu Taimiyah mengatakan: “Pengetahuan itu memiliki jalur-jalur, persepsi (madârik), potensi-potensi luar (indra luar/lahir) dan dalam (indra dalam/batin) pada diri manusia. Bermula dari manusia merasakan dan menyaksikan sesuatu, lalu akalnya berimajinasi, berhipotesis dan memberi nilai, kemudian menganalogikan ralitas-realitas non empiris (yang tidak disaksikan) dengan realitas-realitas empiris (yang bisa disaksikan).”[62] Artinya bahwa kesadaran yang kedua ini tidak hudûry, melainkan husûly, yakni dihasilkan oleh intelek manusia dari obyek eksternal melalui mediasi indra luar yaitu pendengaran, penglihatan, penciuman, perasa dan peraba. Dengan kata lain, ia adalah persepsi pikiran yang timbul dari persinggungan intelek dengan realitas ekstramental.[63]

Kemudian berbekal sensasi dan persepsi ini intelek manusia melakukan aktivitas-aktivitas berikutnya seperti: berimajinasi, berhipotesis, memikirkan ide-ide, memberi penilaian, penyimpulan dan generalisir makna-makna konseptual (at-tajrîd al-‘aqly). Ibnu Taimiyah berkata: “Tak diragukan lagi bahwa indra mencerap obyek-obyek eksternal terlebih dahulu, kemudian beralih kepada penyimpulan konsep general.”[64] “Apabila manusia mengindra obyek eksternal ia menyimpulkan dari pengindraan itu sifat universal, terutama bila obyek eksternal tersebut banyak. Dan pengetahuan tentang adanya sifat bersama pada obyek eksternal adalah pengetahuan akan konsep-konsep general.”[65] “Dengan indra, obyek-obyek tertentu bisa diketahui, kemudian jika hal ini terjadi berulang kali maka intelek dapat menangkap bahwa hal tersebut disebabkan oleh adanya qadar musytarak kully (sifat universal yang sama), kemudian memberikan penilaian umum terhadapnya.”[66]

Semua sensasi yang dialami manusia dengan indra dalam seperti rasa lapar, dahaga, suka, marah, senang, sedih, rasa lezat dan rasa sakit, atau persepsi yang dirasakan melalui indra luar seperti segala yang ia lihat dengan mata atau dengar dengan telinga, semua itu adalah kasus-kasus parsial yang kongkret, di mana akal menyimpulkan makna-makna universal darinya. Dari sana ia mengetahui makna lapar secara umum, makna senang secara umum, bau harum secara umum, rasa sakit secara umum, dan seterusnya. Semua makna universal itu adalah konsep-konsep pikiran murni semata-mata dan tidak ada wujud kongkret bagi konsep-konsep universal secara eksternal yang dapat diindra, karena indra hanya dapat menangkap obyek-obyek parsial yang kongkret.[67]

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa proses pengetahuan manusia bermula dari sensasi indra dalam (batin) dan persepsi indra luar (lahir), kemudian berdasarkan kedua hal tersebut intelek manusia melakukan aktivitas-aktivitas seperti: berimajinasi, berhipotesis, memikirkan ide, memberi penilaian dan kesimpulan serta melakukan generalisir yang merupakan ciri khas akal; yaitu menyimpulkan makna konseptual yang bersifat universal melalui entitas-entitas parsial eksternal.[68] Kemudian setelah itu menganalogikan ralitas-realitas yang tidak disaksikan dengan realitas-realitas yang disaksikan.”[69] Artinya, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa mekanisme logika manusia itu dua model: yang pertama, “berpikir dari khusus ke umum”, yakni dari informasi-infomasi parsial yang ditangkap oleh indra yang kemudian dinalar dan digeneralisir oleh akal; ini adalah logika induktif; dan kedua: “berpikir dari umum ke khusus”, yakni hasil generalisir akal itu dianalogikan kepada realitas lainnya, dan ini adalah nalar deduktif.

F. Basis Utama Pengetahuan Manusia

Telah dijelaskan di atas bahwa derajat pertama pengetahuan manusia adalah rasa atau sensasi. Menurut Ibnu Taimiyah, rasa paling besar di dalam diri manusia dan menjadi basis bagi seluruh pengetahuannya adalah rasa bertuhan yang beliau sebut dengan istilah al-‘ilm al-ilâhy (Pengetahuan Ketuhanan) atau kesadaraan akan wujud Tuhan. Ibnu Taimiyah berkata:

“Pengetahuan tentang-Nya… adalah basis bagi pengetahuan akan segala sesuatu. Pengetahuan-pengetahuan tentang selain-Nya adalah cabang dari pengetahuan tentang-Nya. Seorang manusia tidak akan mengetahui segala sesuatu yang lain sebagaimana mestinya sampai ia mengetahui oleh apa ia menjadi ada. Dan hal ini tidak terjadi kecuali dengan pengetahuan tentang Allah Ta‘âlâ. Oleh karena itu akal senantiasa mencari tahu sebab keberadaan segala sesuatu yang wujudnya bukan karena dirinya sendiri (tidak mandiri), yang dengan Sebab itu ia menjadi ada, baik Dia (yang mewujudkannya) disebut sebagai: Pemberi efek (mu’atstsir), Pelaku (fâ‘il), Kausa Aktif (‘illah fâ‘ilah), Pencipta (sâni‘) atau Tuhan (rabb), hingga pencariannya tiba kepada (pengetahuan tentang) Allah SWT, dan saat itulah pencariannya akan berhenti.”[70]

‘Pengetahuan ketuhanan’ ini juga bersifat naluriah-apriori (fitry-darûry), yang ada dalam diri manusia tanpa diajarkan, tetapi disematkan oleh Allah di dalam dirinya, seperti halnya pengetahuan aksiomatis-matematis maupun fisis, bahkan lebih kuat dari keduanya. Ibnu Taimiyah berkata: “Asas pengetahuan ketuhanan (al-‘ilm al-ilâhy) itu bersifat fitry-darûry. Ia tertanam lebih kokoh di dalam jiwa daripada prinsip pengetahuan matematis seperti ungkapan: satu adalah setengah dari dua, dan prinsip pengetahuan fisis seperti ungkapan: suatu benda tidak mungkin berada di dua tempat (sekaligus).”[71] Beliau juga mengatakan: “Ia (rasa bertuhan) adalah perkara aksiomatis pada diri Bani Adam baik secara pengetahuan (ilmiyah-logis) maupun secara kehendak (perasaan-psikis). Mereka telah dijadikan berfitrah demikian. Pengetahuan dan kehendak yang aksiomatis di dalam jiwa mereka ini jauh lebih besar daripada pengetahuan di atas (pengetahuan matematis maupun fisis).”[72]

Pengetahuan ketuhanan ini tertanam di dalam diri manusia pada dua potensi dasar yang dimilikinya, yaitu: (a) potensi logis, bahwa pengetahuan akan wujud Tuhan adalah perkara yang aksiomatis berdasarkan Prinsip Kausalitas di dalam logikanya; dan (b) potensi psikis, bahwa pengetahuan ini adalah perkara yang aksiomatis di dalam jiwanya, dimana kehendak hatinya senantiasa tertuju kepada Tuhannya. Ibnu Taimiyah berkata:

“Pengetahuan ini melekat kuat pada jiwa mereka sehingga tidak mungkin terlepas darinya. Jauh lebih kuat dari melekatnya pengetahuan matematis dan fisis, seperti: satu adalah sepertiga dari tiga, atau suatu benda tidak mungkin berada pada dua tempat (sekaligus). Sebab pengetahuan tersebut hanya pengetahuan kognitif murni, manusia tidak secara otomatis mengetahuinya, bahkan mungkin ada orang yang tak pernah memikirkannya sama sekali. Adapun pengetahuan ini (pengetahuan ketuhanan), disamping mereka mengetahuinya secara aksiomatis (pengetahuan-logis), mereka juga tergerak (berkehendak) secara aksiomatis menuju efek dan konsekuensinya seperti: berdoa, memohon, merendahkan diri dan tunduk kepada Tuhan dan sesembahan mereka (perasaan-psikis).”[73]

Berdasarkan kutipan di atas, “pengetahuan ketuhanan” itu lebih kuat daripada pengetahuan matematis atau pengetahuan fisis yang hanya bersifat logis semata yang barangkali sebagian orang tidak pernah berpikir tentangnya dan juga tidak mesti menjadi kehendak hatinya. Pengetahuan ketuhanan adalah perkara yang aksiomatis baik secara logis maupun psikis. Secara logika manusia mengetahui eksistensi Tuhan berdasarkan Prinsip Kausalitas, bahwa setiap ada efek pasti ada kausanya, dan secara psikis ia tidak terlepas dari keinginan untuk mengenal dan medekat kepada Tuhannya, mencintai dan tunduk kepada-Nya, serta berdoa dan memohon kepada-Nya, seandainya tidak ada mu‘âridh(penghalang) berupa, kerusakan fitrah secara internal dan setan yang menggoda serta lingkungan yang menyesatkan secara eksternal.

Selain itu, “pengetahuan ketuhanan” ini juga merupakan asas bagi semua pengetahuan ilmiyah )kognitif( maupun amaliyah (praktis). Beliau berkata: “Karena Dia adalah Sang Awal yang menciptakan segala sesuatu yang ada, dan Sang Akhir yang kepada-Nya segala sesuatu akan kembali, maka Dia adalah asas yang menghimpun semua keberadaan (al-asl al-jâmi‘), dan pengetahuan tentang-Nya adalah asas dan simpul seluruh pengetahuan, dzikir/sebutan-Nya adalah asas dan simpul seluruh ucapan, dan amal ibadah untuk-Nya adalah asas dan simpul seluruh amal.”[74] Maka prinsip dasar pengetahuan baik yang bersifat ilmiyah maupun amaliyah kembali kepada Sang Khaliq. Dari pengetahuan tentang-Nya bercabang pengetahuan-pengetahuan lain, dan dari ibadah serta menghadapnya hati (tawajjuh al-qalb) kepada-Nya bercabang seluruh maksud-maksud yang baik.[75]

Bahkan, “pengetahuan ketuhanan” ini adalah fitrah manusia. Fitrah sendiri dalam bahasa Arab adalah ism hai’ah (kata bentuk) dari kata fatara yang berarti bentuk atau format dasar ciptaan. Fitrah ini adalah fitrah keislaman (fitrat al-islâm) yang merupakan format dasar penciptaan manusia di saat Allah berfirman kepada mereka: “Bukankah Aku ini adalah Rabb kalian. Mereka menjawab: Benar.” [QS. Al-A‘râf: 172]. Fitrah keislaman tersebut hakikatnya ialah rasa tunduk kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Fitrah inilah yang dimaksud oleh hadis Nabi SAW bahwa setiap manusia yang lahir itu terlahir dalam keadaan fitrah; dan juga firman Allah dalam hadis qudsi: “Sungguh Aku menciptakan hamba-hambaku dalam keadaan lurus (hunafâ’), namun syetan menggelincirkan mereka.”[76]

Ibnu Taimiyah juga menegaskan bahwa fitrah adalah penciptaan manusia dalam kondisi “bebas dari keyakinan yang batil serta siap menerima keyakinan yang benar”.[77] Beliau mengumpamakan fitrah dan kebenaran seperti mata kepala dan matahari. Setiap orang yang sehat mata kepalanya jika dibiarkan tanpa penghalang pasti akan melihat matahari. Fitrah manusia menyukai yang manis, tetapi jika dirusak oleh penyakit maka rasa manis baginya menjadi sesuatu yang pahit. Faktor pengubah fitrah yang dimaksud ialah keyakinan-keyakinan batil seperti keyakinan Yahudi, Nasrani dan Majusi yang dapat merusak kondisi awal fitrah manusia.[78] Semakin manusia bertumbuh, fitrahnya akan mencintai kebenaran dan senantiasa mencarinya. Jika datang kepadanya keinginan terhadap keburukan maka ia akan berusaha menghalaunya. Karena keburukan itu merusak hati sebagaimana benalu merusak tanaman.”[79]

Akan tetapi, keadaan manusia yang diciptakan dengan fitrah dasar ini tidak berarti sejak lahir ia sudah meyakini akidah Islam. Ia terlahir dalam keadaan belum memiliki pengetahuan apa-apa sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT dalam surat An-Nah}l ayat: (78). Oleh karena itu, fitrah di sini dapat diartikan sebagai kondisi awal yang menuntutunya menerima akidah Islam jika tidak ada faktor luar yang menghalanginya. Seandainya bayi yang lahir dibiarkan dalam keadaan tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor pengubah fitrahnya niscaya ia akan tumbuh sebagai seorang muslim.[80] Tetapi seorang muslim dalam arti hamba yang berserah diri kepada Tuhan yang menciptakannya. Adapun pengetahuan lebih lanjut tentang siapa Tuhannya, bagaimana cara menyembah dan berserah diri kepada-Nya, apa saja ajaran-ajaran-Nya, dan sebagainya, semua itu tidak diperoleh secara otomatis dari fitrah.  Oleh karena itu fitrah saja tidak cukup untuk menjadi hidayah bagi manusia. Ia membutuhkan pelengkap berikutnya yang menjadi penyempurna hidayah dan pembimbing keselamatan baginya di dunia dan akhirat. Ia adalah fitrah kedua yang diistilahkan oleh Ibnu Taimiyah sebagai fitrah munazzalah (fitrah yang diturunkan), yaitu Syariat Allah melalui wahyu-Nya. Ibnu Taimiyah berkata: “Fitrah (dasar) disempurnakan oleh fitrah munazzalah. Karena fitrah saja hanya ‘mengenal secara umum’, dan Syariat lah yang merinci dan menjelaskannya serta menunjukkan apa yang tidak dapat ditunjukkan oleh fitrah semata.”[81] Beliau juga berkata: “Sesungguhnya Allah telah menjadikan fitrah manusia di atas kebenaran, dan para rasul diutus untuk menyempurnakan dan menguatkannya, bukan menyimpangkan ataupun mengubahnya.”[82]


[1]  Kata pengantar Dr. Abdullâh bin Muhammad Al-Qarny, terhadap buku Manhaj Ibnu Taimiyah Al-Ma‘rify, karya Dr. Abdullâh bin Nâfi ‘ Ad-Da‘jâniy (KSA: Takween li ad-Dirâsât wa al-Abh}âts, 2014), h. 16

[2] Ted Honderich, The Oxford Companion to Philosophy, (New York: Oxpord University Prss, 2005), h. 260

[3] Biografi singkat dan sumbangsih keilmuan Ibnu Taimiyah di sini dikutip dari makalah berjudul: “Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam”, karya Nidlol Masyhud Bahri, Lc., dalam Jurnal Himmah, PPMI, Kairo Mesir. 

[4] Muhammad ‘Uzair Syams dan Ali bin Muhammad Al-Imrân, Al-Jâmi’ li Sîrati Syaikh al-Islâm Ibnu Taimiyah Khilâla Sab‘ati Qurûn, (Riyâd}: Dar ‘At}â’ât al-‘Ilm, 2019), h. 800

[5] Muhammad ‘Uzair Syams, Al-Jâmi’ li Sîrati Syaikh al-Islâm … 708

[6] Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Al-Wâbil As}-S{ayyib wa Rafi‘ al-Kalim at}-T{ayyib,(Beirut: Dâr Ibnu Hazm, 2019), h. 109-110

[7] Muhammad ‘Uzair Syams, Al-Jâmi’ li Sîrati Syaikh al-Islâm … 761

[8] Ibnu Hajar Al-‘Asqalâniy, At-Taqrîdz ‘alâ Ar-Radd al-Wâfir, (Kuwait: Maktabah Ibnu Taimiyah, cet.1, 1988), h. 12

[9] Ibnu ‘Abd al-Hâdy Al-Maqdisy, Al-‘UqûdadDurriyyah, (Riyâd}: Dâr ‘At}a’ât al-‘Ilm, cet.3, 2019), h. 107

[10] Richard Furmerton, Epistemology, (Oxford: Blackwell Publising, 2005), h. 6

[11] Paul Edwards, The Encyclopedia of Philosophy, (New York: Macmillan Publising, 1967), h. 9

[12] Definisi-definisi seputar ilmu di atas dapat dilihat pada: Râjih Abul Hamîd Al-Kurdy, Nazariyat al-Ma’rifah baina al-Qur’ân wa al-Falsafah(Riyâd), Maktabah al-Mu’ayyad: 1992), 37-45

[13] Jamîl Saliba, al-Mu’jam al-Falsafy(Beirut: Dâr al-Kitâb al-Lubnânî, 1983), 2/393.

[14] Ibnu Taimiyah, Dar’ at-Ta‘ârud} (KSA: Jâmi‘at Al-Imâm Muhammad bin Su‘ûd, cet.2, 1991), 10/52

[15] Ibid. 10/66

[16] Ibid. 10/48, 55

[17] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani: Dari Thales ke Aristoteles (Yogyakarta: Penerbit Kanisisus, 1999), h. 83

[18] Ibnu Taimiyah, as-S{afadiyyah (Mesir: Maktabah Ibnu Taimiyah, cet.2, 1406 H), 98

[19] Ibnu Taimiyah, Talkhîs al-Istigâtsah (Maktabah Gurabâ’ al-Atsariyyah), 178-179

[20] Ibnu Taimiyah, Majmû‘ al-Fatâwâ, ed. Abdurrahmân bin Muhammad bin Qâsim, (Madinah: Majma’ Malik Fahd, 1995), 4/38

[21] Ibid. 4/38. Lihat firman Allah SWT dalam surat al-Qalam ayat: 1-5, yang menjelaskan bahwa Dialah yang mencipatakan manusia dan mengajarinya apa-apa yang tidak ia ketahui.

[22] Ibid. 16/264-265

[23] Ibid. 4/31, 17/530

[24] Tentang malaikat penjaga manusia disebutkan dalam al-Quran surat al-An‘âm ayat: 1, dan surat ar-Ra’d ayat: 11. Malaikat pencatat amal disebutkan dalam surat Qâf ayat: 18 dan surat al-Infitâr ayat: 10 dan 11. Malaikat pemberi bisikan kebaikan disebutkan dalam hadis tentang: (lammat al-malak wa lammat asy-syait}ân) yang diriwayatkan oleh: At-Tirmidzi, no. 2988, An-Nasâ’iy, no. 11051, Ibnu H{ibbân, no. 997, dan Abû Ya‘lâ, no. 4999.

[25] Râjih} Al-Kurdy, Naz}ariyat al-Ma’rifah … 233

[26] Abdullâh bin Muhammad Al-Qarny, Al-Ma‘rifah fi Al-Islâm, Mas}âdiruhâ wa Majâlâtuhâ  (KSA, Markaz At-Ta’s}îl li ad-Dirâsât wa al-Buh}ûts, 2008 M), 19; Râjih} Al-Kurdy… 265

[27] Râjih} Al-Kurdy, Naz}ariyat al-Ma’rifah … 241, 249

[28] Ibid. 284

[29] Jamâ‘ah Min al-Asâtidzah as-Sufyât, Mûjaz Târîkh Al-Falsafah, terj. Dr. Taufik Salom, (Beirut: Dâr al-Fârâbiy, cet.1, 1989), 66-67

[30] Yusuf Muhammad Yusuf Samrin, Nazariyat Ibn Taimiyah fi Al-Ma‘rifah wa al-Wujûd, (Riyâd}: Markaz al-Fikr al-Gharby li an-Nasyr wa at-Tauzî‘), h.116.

[31] Jamâ‘ah Min al-Asâtidzah as-Sufyât, Mûjaz Târîkh Al-Falsafah… 28

[32] Yusuf Samrin, Nazariyat Ibn Taimiyah… 116

[33] Ibid. 61

[34] Ali Maksum, Pengantar Filsafat dari Masa Klasik hingga Posmodernisme, (Yoyakarta: ar-Ruzz Media, 2017), h. 70-71

[35] Prof. Wolf, Falsafat al-Muhadditsîn al-Mu‘âsirîn, terj. Abû al- ‘Alâ ‘Afîfî (Kairo: Âfâq al-Ûlâ, 217), 26

[36] Jamîl S}aliba, Al-Mu’jam Al-Falsafy …2/25; Râjih al-Kurdy, Nazariyat al-Ma’rifah … 283

[37] Yusuf Samrin, Nazariyat Ibn Taimiyah… 63

[38] Râjih al-Kurdy, Nazariyat al-Ma’rifah … 285

[39] Ibid.289

[40] Ivan Th. J. Weismann, “Filsafat Ketuhanan Menurut Plato”, dalam: Jurnal Jaffray: Jurnal Teologi dan Studi Pastoral, vol 3, no. 1, (Sekolah Tinggi Theologia Jaffray, 2005), h. 13

[41] Râjih Al-Kurdy, Nazariyat al-Ma’rifah … 272

[42] Harry Austryn Wolfson, Artikel berjudul: “The Knowability and Describability of God in Plato and Aristotle” dalam: Harvard Studies in Classical Philology, Vol. 56/57, (United States: Department of the Classics, Harvard University, 1947), p. 233

[43] Jan Opsomer, “Demiurges in Early Imperial Platonism”, dalam Gott und die Götter bei Plutarch, (German: Institute Bibliotheken, 2005), h. 69

[44] Ivan Th. J. Weismann, Jurnal Jaffray: Jurnal Teologi dan Studi Pastoral… h. 13

[45] Seperti dalam pandangan Hegel, Râjih} Al-Kurdy, Nazariyat al-Ma’rifah … 272

[46] Ibnu Taimiyah, al-Jawâb as-Sahîh}… 4/328  

[47] Râjih} Al-Kurdy, Nazariyat al-Ma’rifah … 272

[48] “According to Plato, all of the things that people perceive with their senses are but very imperfect copies of the eternal Forms. The most important and fundamental Form is that of the Good. It is ‘beyond being and knowledge’, yet it is the foundation of both. ‘Being’ in this context does not mean existence, but something specific—a human, a lion, or a house—being recognizable by its quality or shape.” Diakses pada tanggal 24/01/2024 dari situs: https://www.britannica.com/topic/Western-philosophy/Plato.

[49] Anton Bakker, Ontologi: Metafisika Umum, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 27-28.

[50] Ibnu Taimiyah, ar-Radd ‘ala al-Mantiqiyyîn… 71

[51] Ibnu Taimiyah, Dar’ at-Ta‘ârud… 71

[52] Ibnu Taimiyah, ar-Radd ‘ala al-Mant}iqiyyîn … 153

[53] Ibnu Taimiyah, Majmû` al-Fatâwâ… 16/264-266

[54] Ibid. 2/163; Dar’ at-Ta‘ârud}… 1/137

[55] Ibnu Taimiyah, Dar’ at-Ta‘ârud}… 1/144

[56] Ibid. 1/87

[57] Ibnu Taimiyah, Majmû` al-Fatâwâ… 16/264-265

[58] Ibid. 1/112

[59] Ibnu Taimiyah, Dar’ at-Ta‘ârud}… 10/57, 67

[60] Ibnu Taimiyah, Majmû‘ al-Fatâwâ 2/417. Ibnu Taimiyah, Majmû ‘ al-Fatâwâ… 2/415; Jâmi‘ al-Masâ’il… 6/245.    

[61] Ibid. 10/64

[62] Ibnu Taimiyah, Bayân Talbîs…(KSA: Majma‘ Malik Fahd, 1426 H), 1/434

[63] Abdullâh Ad-Da‘jâny, Manhaj Ibn Taimiyah Al-Ma‘rify}… 435

[64] Ibnu Taimiyah, Ar-Radd ‘ala al-Mant}iqiyyin … 363

[65] Ibnu Taimiyah, Majmû‘ Al-Fatâwâ… 9/204

[66] Ibnu Taimiyah, Ar-Radd ‘ala al-Mant}iqiyyin … 471

[67] Ibnu Taimiyah, Bayân Talbîs Jahmiyyah… 1/18

[68] Ibnu Taimiyah, ar-Radd ‘ala al-Mantiqiyyin … 368

[69] Ibnu Taimiyah, Bayân Talbîs… 1/434

[70] Ibnu Taimiyah, Syarh Al-Asbahâniyyah, ed. Muhammad bin ‘Audah As-Sa‘wiy, (Riyâd}: Maktabah Dâr al-Minhâj, cet.1, 1430 H), 109-110

[71] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ…. 2/15-16

[72] Ibnu Taimiyah, Bayân Talbîs Jahmiyyah…. 4/562

[73] Ibnu Taimiyah, Bayân Talbîs Jahmiyyah…. 4/561

[74] Ibnu Taimiyah, Majmû’ Al-Fatâwâ…. 2/16

[75] Ibid. 2/16

[76] Ibid. 4/245

[77] Ibid. 4/245

[78] Ibid. 4/247; Dar’ At-Ta‘ârud}…. 9/375

[79] Ibnu Taimiyah, Majmû’ Al-Fatâwâ…. 10/188

[80] Ibid. 4/247

[81] Op.cit. 4/45

[82] Ibid. 5/260

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

 

 

 

Related Post

TIGA JENIS TAHRIF PADA “TAURAT” DAN “INJIL”TIGA JENIS TAHRIF PADA “TAURAT” DAN “INJIL”

Wisnu Tanggap Prabowo

Bismillahirrahmanirrahim

Al-Tahrif artinya perubahan atau pengalihan (al-taghyir), pergantian atau penukaran (al-tabdil).[1] Jadi tahrifbermakna perubahan dengan cara mengalihkan kepada sesuatu yang lain, baik itu maknanya maupun teksnya, atau juga menggantinya dengan sesuatu yang lain. Dalam konteks perubahan pada kitab-kitab terdahulu, tahrif terbagi menjadi tiga jenis, tahrif makna, tahrif lafaz, dan keduanya.[2] Ibnu Katsir menjelaskan tabiat tahrif sebagai berikut:

 ثُمَّ شَرَعُوا فِي تَحْرِيفِهَا وَتَبْدِيلِهَا وَتَغْيِيرِهَا وَتَأْوِيلِهَا وَإِبْدَاءِ مَا لَيْسَ مِنْه  

“Kemudian mereka mulai mengubahnya (tahrif), menggantinya (tabdil), mengalihkannya (taghyir), menakwilkan/menafsirkan (ta’wil) dan menambahkan (ibda’un) apa yang tidak ada di dalamnya.”[3]

Selanjutnya, Ibnul Qayyim al-Jauziyah merinci hakikat tahrif yang terjadi pada kitab-kitab terdahulu:

  1. Mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan (لبس الحق بالباطل). Pencampuran sedemikian rupa itu membuat kebenaran dan kebatilan tidak lagi dapat dibedakan.
  2. Menyembunyikan kebenaran (كتمان الحق).
  3. Perubahan kalimat dari tempatnya (تحريف الكلم عن مواضعه). Ada dua bentuk dari tahrif model ini: tahrif makna dan tahrif lafaz.
  4. Tahrif dengan lisannya sehingga si pendengar menangkap maksud yang berbeda.

            Bagaimanakah perubahan yang terjadi pada Kitab-Kitab Allah ﷻ sebelum Al-Qur’an? Terdapat perbedaan di tengah para ulama mengenai hakikat perubahan di dalam Taurat dan Injil. Rinciannya adalah sebagai berikut:

Pandangan pertama: Tahrif al-Nash(perubahan pada teks). Pada teks Taurat dan Injil telah terjadi perubahan yang mengakibatkan berbeloknya makna kepada selain dari yang dimaksud. Persoalan apakah perubahan teks (lafaz) ini terjadi pada seluruh isi kitab-kitab terdahulu atau sebagian kecilnya saja, ulama juga memiliki ragam pandangan. Terlepas dari itu, berbicara tentang tahrif model ini, perlu kiranya menyimak pandangan Ibnu Hazm di dalam karyanya al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal. Oleh banyak ulama, bukan saja di Andalusia tetapi di seluruh dunia Islam, beliau merupakan sosok terdepan yang mengusung konsep tahrif al-nash. Bahkan sejumlah cendekiawan barat yang tidak setuju dengan pandangan Ibn Hazm sekalipun mengakui kepiawaian Ibnu Hazm dalam berargumentasi menggunakan konsep tahrif-nya. David Powers sampai menduga, Ibnu Hazm memiliki sejumlah terjemahan berbahasa Arab dari Perjanjian Lama yang berbeda sehingga ia tidak bergantung pada satu versi terjemahan saja. Senada dengan David Powers, Sweetman bahkan lebih eksplisit dalam mengungkapkan kekagumannya kepada penguasaan Ibn Hazm terhadap Perjanjian Lama dan Baru, sebagaimana terungkap dalam kutipan dia dalam buku Islam and Christian Theology: “Beliau (Ibn Hazm) tampaknya telah melengkapi dirinya dengan baik dalam pekerjaan yang dilakukannya. Beliau memiliki pengetahuan tentang berbagai terjemahan dari Perjanjian Lama dan Baru. Beliau mengetahui perbedaan antara Septuaginta dan bahasa Ibrani. Beliau juga memiliki akses untuk kontak langsung dengan para cendekiawan Yahudi, di mana beliau memperoleh beberapa pengetahuan tentang Talmud dan tradisi rabbinik.” Bahkan Montgomery Watt, salah seorang orientalis dan kritikus Islam terdepan, sampai mengatakan, “Tampak jelas bahwa Ibn Hazm memiliki pengetahuan yang lebih mendalam tentang banyak hal terkait agama Kristen dibandingkan dengan para pendahulunya.” [4]

Ibnu Hazm memandang bahwa perubahan pada teks terjadi pada seluruh bagian Taurat dan Injil, dengan kata lain, teks kedua kitab suci itu sudah mengalami distorsi secara masif. Setidaknya ada tiga alasan yang membawa Ibnu Hazm sampai pada kesimpulan di atas. Pertama, banyak sekali ditemukan ketidakakuratan di dalam Taurat dan Injil dari aspek narasi sejarah dan aspek geografis. Kedua, “periwayatan” kitab-kitab itu tidak didukung oleh rantai testimoni dalam proses transmisi sebagaimana isnad di dalam ilmu hadis. Ketiga, adanya pemalsuan teks, hal ini berdasarkan profil Nabi di dalam Taurat yang jika ditinjau menggunakan tashawwurIslami, tidaklah mungkin profil sejenis itu dimiliki atau terjadi pada sosok Nabi. Di antara contohnya adalah narasi persetubuhan dua putri Luth dengan ayahnya sendiri hingga kedu putri Luth hamil (Kej 19: 30-38).

Berangkat dari pandangan pertama ini, kesakralan kedua Kitab Suci itu tentu hilang. Oleh karena itu ada satu pendapat yang sampai membolehkan seseorang untuk bersuci dari hadas dengan menggunakan lembaran-lembaran apa yang diklaim sebagai “Taurat” atau “Injil”. Hanya saja hal tidak boleh dilakukan ketika yang bersangkutan menemukan pada lembaran-lembaran itu adanya kebenaran. Al Khatib al-Syarbini merincinya: Dibolehkan beristinja dengan sesuatu yang tidak dimuliakan. Alqadi membolehkannya dengan lembaran Injil dan Taurat. Namun hal ini disimpulkan apabila lembaran tersebut berisi ayat-ayat yang sudah diubah, dan tidak terdapat padanya nama Allah Ta’ala dan semisal itu (Mughni al-Muhtaj, 1/54).[5] Tentu ini merupakan sikap yang tidak diperlukan. Keberadaan batu atau benda-benda lain yang boleh digunakan untuk bersuci (khususnya istijmar) lebih mudah dijumpai ketimbang lembaran-lembaran yang disucikan oleh Ahli Kitab.

Terlepas dari pandangan di atas, menurut Ibnu Taimiyah, pendapat yang mengatakan bahwa tahrif tekstual (tahrif al-nash) terjadi pada Taurat dan Injil seluruhnya merupakan posisi yang “tidak dikenal” di tengah Kaum Muslimin, sebab, sudah menjadi kesepakatan Kaum Muslimin bahwa tahrif pada Taurat dan Injil itu terjadi pada sebagian teksnya saja, tidak seluruhnya. Karena itu di dalam kitab-kitab itu masih terdapat kebenaran yang tersisa, termasuk Nama Allah ﷻ dan nama Para Utusannya. Karena itulah Ibnu al-Hajar al-Haitami menyatakan, pendapat terbaik adalah agar tidak menjadikan lembaran-lembaran Injil dan Taurat untuk beristinja atau beristijmar. Beliau berkata:

الْحَقُّ أَنَّ فِيهِمَا مَا يُظَنُّ عَدَمُ تَبْدِيلِهِ لِمُوَافَقَتِهِ مَا عَلِمْنَاهُ مِنْ شَرْعِنَا

[Pendapat] yang benar adalah bahwasanya di keduanya [Taurat dan Injil] diduga di dalamnya masih terdapat sesuatu yang tidak diubah karena sesuai yang kita ketahui dalam syariat kita. [6]

Pandangan kedua: Tahrif al-Ma’na (perubahan pada penakwilan/penafsiran). Pandangan ini menyatakan perubahan yang terjadi pada kitab-kitab terdahulu bukan secara tekstual tetapi pada pemaknaan. Ini adalah pendapat dari Imam Bukhari (Fath al-Bari, 15/503) dan juga Fakhruddin al-Razi (Tafsir al-Kabir, 2/123), serta mayoritas ulama sebelum masa Ibnu Hazm. Di antara ulama lain yang berada pada posisi ini di antaranya At-Tabari, Ibnu Katsir, Ibnu al-Hajar al-Asqalani, Al Ghazali, dan satu pendapat Ibnu Taimiyah. Tahrif makna ini merupakan sesuatu yang dinilai gamblang dan jelas, sebagaimana perkataan Ibnu Hajar, “Tahrif makna yang dilakukan oleh Ahli Kitab adalah sesuatu yang tidak bisa diingkari, dan hal ini sesuatu yang banyak ditemukan pada kitab-kitab mereka,” (Fath al-Bari, 15/505).

Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa al-Nihayah juga menjelaskan bahwa distorsi dalam penafsiran atau penakwilan merupakan mayoritas tahrif yang didapati pada kitab-kitab terdahulu. Beliau berkata:

وَهَذَا مَا لَا خِلَافَ فِيهِ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ وَهُوَ أَنَّهُمْ يَتَصَرَّفُونَ فِي مَعَانِيهَا وَيَحْمِلُونَهَا عَلَى غَيْرِ الْمُرَادِ

“Dan ini adalah sesuatu yang tidak ada perselisihan di antara para ulama, yaitu bahwa mereka melakukan tahrif terhadap maknanya dan membawanya kepada sesuatu yang berbeda dari yang dimaksudkan.”[7]

Pandangan ini menyatakan bahwa tahrifpada kitab-kitab terdahulu adalah dari sisi penafsiran, bukan teks. Konsekuensinya, pandangan ini secara umum menganggap teks-teks Taurat dan Injil tidak banyak berubah, atau minimal secara umum “benar”. Tetapi pandangan ini menurut Ibnu Taimiyah  perlu dirinci lebih jauh sehingga tidak dapat diterima begitu saja tanpa menyertakan sejumlah rincian itu. Rincian itu menyasar pada sebagian teks Taurat dan Injil yang memang sudah mengalami distorsi di aspek teks (tahrif al-nash), hanya saja porsinya tidak seluruhnya, bahkan sebagian kecil saja. Hal ini tampak melalui dalil-dalil Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi ﷺ sendiri, dan telusuran terhadap kitab-kitab terdahulu dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai pembanding dan penimbang. Ibnu Taimiyah memandang,  perubahan teks (disebut juga dengan tahrif al-lafz) itu satu hal yang gamblang ditemukan di dalam kitab-kitab itu. Sebab, lanjut beliau, ditemukan di dalamnya perkataan-perkataan yang mustahil berasal dari Allah ﷻ. Terlebih lagi, terdapat sejumlah kontradiksi di dalam teks-teks Ahli Kitab. Maka, jika itu adalah wahyu dari Allah ﷻ, sudah pasti tidak akan terjadi pertentangan-pertentangan lafaznya. Jadi masifnya perubahan makna (tahrif al-ma’na) pada kitab-kitab itu bukan berarti tidak ada perubahan dalam lafaz (tahrif al-nash) sama sekali. Dalam hal ini, Ibnu Hazm adalah seorang ulama yang telah banyak menyebutkan sejumlah pertentangan-pertentangan teks di dalam Kitab-Kitab itu sehingga menjadi bukti gamblang akan adanya tahrif di aspek teks, demikian Ibnu Taimiyah.[8]

Terlepas dari itu, Ibnu Taimiyah memandang, secara umum pendapat inilah yang disepakati oleh Kaum Muslimin, bahkan terdapat ijma’ terkait hal ini, bahwa mayoritas distorsi dalam penafsiran atau pemaknaan itulah yang terjadi pada kitab-kitab terdahulu. Tidak hanya itu, masih dari Ibnu Taimiyah, adanya distorsi dalam penafsiran ini pula yang menjadi konsensus di tengah Ahli Kitab, baik Yahudi maupun Nasrani.

Pandangan ketiga adalah turunan dan rincian dari jenis tahrif al-ma’na di poin ke dua di atas. Pandangan ini menyatakan, tahrif memang realita. Hanya saja, perubahan itu terjadi di sebagian kecil dari kitab-kitab itu. Konsekuensinya, sebagian besarnya masih berada pada kondisi sebagaimana diturunkannya. Ibnu Taimiyah sendiri cenderung mengambil pendapat ketiga ini (Al-Jawab al-Sahih, 2/420). Apabila melihat telusuran intertekstual Ibnu Qutaibah dalam kitabnya A’lamu Rasulillah al-Manzilatu ‘ala Rusulihi, dan dalam karya Ibnul Qayyim al-Jauziyyah berjudul Hidayah al-Hayara fi Ajwibat al-Yahudi wa al-Nashara, kedua ulama tersebut condong pada posisi yang sama dengan Ibnu Taimiyah ini.

            Kesimpulannya, tahrif pada Taurat dan Injil terjadi pada dua aspek; dari sisi teks dan sisi makna. Dari dua aspek itu memiliki turunan lain seperti mengalihkan kepada sesuatu yang berbeda dengan maksudnya (al-taghyir), mengganti dengan sesuatu yang lain (al-tabdil), atau menyembunyikan atau menutupi (kitman al-haq). Dapat disimpulkan bahwa perubahan teks pada Taurat dan Injil merupakan sesuatu yang diperselisihkan di tengah para ulama.

Adapun tahrif dalam pemaknaan, maka hal ini merupakan konsensus di tengah Kaum Muslimin, dan Kaum Muslimin bersepakat tanpa adanya khilaf (perselisihan), bahkan sesuatu yang diafirmasi di tengah cendekiawan Ahli Kitab sendiri. Hal ini sesuai dengan perkataan Ibnu Taimiyah:

ولكن علماء المسلمين وعلماء أهل الكتاب متفقون على وقوع التحريف في المعاني والتفسير

“Tetapi para ulama dari kalangan Muslim dan para ulama dari Ahli Kitab bersepakat bahwa distorsi (tahrif) terjadi dalam sisi makna dan penafsiran.” (Al-Jawab al-Sahih, 2/419)[9]

Tahrif makna pada Taurat dan Injil itu muncul dari dua sebab; ketidaksengajaan dan kesengajaan. Untuk itulah Ibnu Taimiyah berkata:

وأهل الكتاب اليهود والنصارى مع المسلمين متفقون على أن الكتب المتقدمة وقع التحريف بها؛ إما عمداً وإما خطأ: في ترجمتها، وفي تفسيرها، وشرحها، وتأويلها؛ وإنما تنازع الناس هل وقع التحريف في بعض ألفاظها

Ahli Kitab, baik Yahudi maupun Nasrani, begitu pula dengan Kaum Muslimin, sepakat bahwa distorsi telah terjadi pada kitab-kitab yang ada sebelum Al-Qur’an, baik itu  terjadi dengan sengaja maupun karena kesalahan, yakni dalam penerjemahan kitab-kitab itu, juga dalam penafsirannya, demikian pula dalam penjelasannya, serta takwil dari kandungan kitab-kitab tersebut. Terdapat perselisihan pendapat terkait apakah distorsi ini terjadi pada sebagian dari lafaznya [atau seluruhnya-pent] (Al-Jawab al-Sahih, 5/123).

            Tahrif dalam makna juga tampak dalam inkonsistensi terjemahan Taurat. Memang demikian apabila kita melihat kepada sejarah Ahli Kitab. Pada abad 3 SM, terjadi penerjemahan Taurat dari Bahasa Ibrani ke dalam Bahasa Yunani yang bertempat di Aleksandria, dan terjemahan Yunani itulah yang kini banyak digunakan sebagai acuan dalam penerjemahan ke bahasa-bahasa lain di dunia. Ternyata, Kaum Yahudi sepakat bahwa terjemahan Yunani itu, yang dikenal dengan Septuaginta, memiliki “cacat” berupa tambahan dan perubahan. Karena itulah, masih dari Ibnu Taimiyah, seseorang dapat menemukan di dalam Taurat berbagai salinan terjemahan yang di antaranya terdapat perbedaan, dan perbedaan terjemahan itu menyebabkan perbedaan makna.

Adapun tahrif dari sisi teks, hal ini diperselisihkan di tengah para ulama karena sebagian ulama ada yang menganggap distorsi teks-teks pada kitab-kitab di sisi Yahudi dan Nasrani  itu tidak terjadi, atau minimal hanya terjadi pada sebagian kecilnya saja. Apa yang terjadi hanyalah tahrif dari pemaknaan. Distorsi dalam pemaknaan, penafsiran, penakwilan inilah model tahrif yang banyak ulama terdahulu nilai sebagai poros dari makna yuharrifunahu (mereka mengubahnya QS. 2: 75).

Seorang peneliti Yahudi yang menganalisa tentang komunitas Yahudi Madinah di zaman Nabi ﷺ bernama Dr. Haggai Mazuz menulis bahwa berdasarkan “kritik” Al-Qur`an terhadap komunitas Yahudi yang kerap mengubah-ubah kitab mereka, hal itu menjadi indikasi kuat mengenai karakter para cendekiawan rabinik yang memang suka mengubah-ubah teks-teks suci mereka sendiri. Haggai mengutip ayat Al-Qur`an untuk mendukung argumentasinya. Misalnya, Al-Qur’an menyatakan: Apakah kalian masih mengharapkan mereka akan percaya kepa­da kalian, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedangkan mereka mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 75).

Haggai Mazuz menyatakan setidaknya ada 17 contoh bagaimana para kalangan ahli ilmu Yahudi mengubah-ubah huruf-huruf dalam penafsiran mereka terhadap Taurat. Haggai juga memandang, kritik Al-Qur`an tentang tahrif “tidak sepenuhnya keliru.” Ia juga mengatakan posisi Islam dalam mengkritik tahrif para cendekiawan Yahudi di sekte rabinik persis seperti posisi sekte Yahudi karaim kepada rabbinic.[10] Sekte karaim adalah kelompok Yahudi yang menolak Talmud. Bagi mereka, tafsiran manusia di dalam Talmud justru memalingkan maksud awal dari kandungan Taurat.

Haggai Mazuz bukanlah satu-satunya. Seorang orientalis bernama Gordon Darnell Newby dalam bukunya A History of The Jews of Arabia mengisyaratkan bahwa kritik Al-Qur’an terhadap tahrif dalam Taurat dapat diafirmasi oleh tradisi Yudaisme sendiri. Gordon mengatakan bahwa ungkapan “orang-orang Yahudi” di dalam Al-Qur`an pada surah Al-Ma’idah ayat 64, “Orang-orang Yahudi berkata, ‘Tangan Allah terbelenggu,’ (waqaalatil yahuudu Yadullaahi maghluulatun) memang terdapat di dalam Midrash on Lamentation Rabbah, bab 2, ayat 3. Disebutkan di dalamnya bahwa tangan tuhan terbelenggu di belakang karena tidak mencegah penghancuran Haikal Sulaiman. Maksudnya, Tuhan bagi mereka tidak mau atau mampu berbuat apa-apa. Sedangkan di tempat lainnya ungkapan itu ditemukan di 3 Enoch 48a, “Rabbi Ishmael berkata padaku, ‘Mari dan aku akan tunjukkan tangan kanan yang maha ada, yang telah dibuang di belakangnya karena menghancurkan Haikal Sulaiman.”[11]

Namun demikian, Gordon memandang adanya paralel antara Surah Al-Ma’idah ayat 64 di atas dengan Lamentation Rabbah serta dalam 3 Enoch diletakkan dalam bingkai “Muhammad mengambil materi dari teks-teks tradisi Yahudi”. Pandangan Gordon jelas sesuatu yang tidak kompatibel dengan konsep Wihdah al-Din. Salah satu karakter Al-Qur’an dalam konteks intertekstual memang menjalin “komunikasi” dengan teks-teks keagamaan Ahli Kitab, baik teks kanon, deuterokanonika, atau apokrif, baik dalam tradisi Yudaisme maupun Nasrani. Namun hal itu tidak serta “Muhammad menjiplak”. Selain para pengkritik Al-Qur’an belum pernah ada yang datang dengan bukti yang konkrit selain hanya conjenture (al-dzann) saja, justru di situlah hemat Penulis salah satu bukti Al-Qur’an datang dari Allah ﷻ. Sebab, Rasulullah ﷺ lahir, tumbuh, dan berdakwah di tengah masyarakat ummiy (tidak membaca dan menulis). Akses kepada teks-teks kanon Ahli Kitab tidaklah memungkinkan, terlebih lagi akses kepada literatur Talmud yang notabeme kompilasi komentar para rabbi di Babilonia dan Syam.

Wallahu A’lam


[1] Oleh kumpulan penulis, disupervisi oleh Syaikh ‘Alawi Abdul Qadr As-Saqqaf. Al-Mausu’ah al-Aqidah, 3/404. Al-Durar Al-Suniya (Dorar.net). 1433 H/2011 M. المكتبةالشاملة. https://shamela.ws/book/38058/1407.

[2] Dr Khalid al-Mosleh. Syarah al-’Aqidah al-Wasithiyah li-Khalid al-Mosleh. Berdasarkan transkrip audio ceramah beliau. Bab أنواع التحريف. https://shamela.ws/book/7728. .المكتبةالشاملة.

[3] Ibnu Katsir. Al-Bidayah wa an-Nihayah.Dar Hijr li al-Thabi’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi’ wa I’lanAl Jizah (Giza).1448 H / 1997 M. Hal, 3/78

[4]Abdul Rashied Omar. Ibn Hazm: On the Doctrine of Tahrif (disertasi). Department of Religious Studies, University of Cape Town (UCT), Cape Town, 1992. Hal, 20-26. https://open.uct.ac.za/server/api/core/bitstreams/0cd80963-75fe-4501-990d-c950928458f2/content

[5] Al-Khatib al-Syarbini. Al-Iqna’ fi Hal al-Fazh Abi Syuja‘. Dar al-Fikr, Beirut. Hal, 1/54 dan 1/162-163.

[6] Ibnu al-Hajar al-Haitami. Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj wa Hawasyi wa al-Syarwani wa al-’Abdi. Maktabah al-Tijariyah al-Kubra. Mesir. 1357 H /1983 M. Hal. 1/178.

[7] Op. Cit., Al-Bidayah wa an-Nihayah. 3/79

[8] Ibid. Al-Mausu’ah al-Aqidah, 3/404.

[9] Ibnu Taimiyah. Al-Jawab al-Sahih. 1419 H/1999 M. Dar al-’Asimah. KSA. Hal, 2/419.

[10] Haggai Mazuz. The Religious and Spiritual Life of the Jews of Medina. Leiden: Brill Academic Pub, 2014, hlm. 20-21.

[11]  Gordon Darnell Newby. A History of the Jews of Arabia: From Ancient Times to Their Eclipse under Islam. University of South Carolina Press, 1988, hlm. 59.

SUMBER PENGETAHUAN (MASÂDIR AL-MA‘RIFAH) IBNU TAIMIYAHSUMBER PENGETAHUAN (MASÂDIR AL-MA‘RIFAH) IBNU TAIMIYAH

Oleh: Lalu Heri Aprizal, Lc., M.Ud.

Bagian Ke-2.

Ada tiga hal yang seringkali dicampuradukkan oleh sebagian pengkaji epistemologi yaitu: sumber pengetahuan, media pengetahuan dan metodologi pengetahuan. Adapun “sumber” sebagaimana ditunjukkan oleh makna leksikalnya berarti tempat yang menjadi wadah pengetahuan itu diambil. Adapun “media” adalah sarana dan alat yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan. Sementara “metodologi” adalah cara atau langkah-langkah sistematis dalam memperoleh pengetahuan melalui sumbernya dengan menggunakan sarananya. Maka kurang tepat mengatakan bahwa sumber pengetahuan itu adalah akal dan indra, karena keduanya adalah media atau sarana mendapatkan pengetahuan dari sumbernya.[1]

Sependek pembacaan penulis, Ibnu Taimiyah sendiri tidak pernah menyebut secara khsusus istilah “sumber ilmu” (masâdir al-ma‘rifah). Yang sering beliau sebut adalah turuq al-‘ilm, seperti perkataan beliau: “Turuq al-‘ilm itu adalah: indra (hiss), nalar (nazar) dan berita (khabar).” [2] Tetapi ungkapan “turuq al-‘ilm”ini secara bahasa berarti jalur-jalur pengetahuan, dimana makna ini identik dengan sarana memperoleh pengetahuan, bukan sumber diperolehnya pengetahuan. Ibnu Taimiyah sendiri menolak pendapat bahwa akal merupakan sumber pengetahuan. Beliau menegaskan bahwa ketika seseorang berkata: pengetahuan itu diperoleh dari akal maka maksudnya ialah pengetahuan tersebut diperoleh melalui mekanisme berpikir, dengan kata lain pengetahuan tersebut diketahui kebenarannya melalui proses penalaran akal. Bukan maksudnya bahwa akal yang merupakan insting itu dapat melahirkan pengetahuan.[3] Dengan demikiannya akal, demikian juga indra, dalam pandangan beliau bukanlah sumber pengetahuan tetapi sarana pengetahuan. Hal ini diulas lebih lanjut dalam pembahasan tentang “media pengetahuan”.

(lebih…)

MEDIA ILMU  (WASÂ’IL AL-MA’RIFAH)MEDIA ILMU  (WASÂ’IL AL-MA’RIFAH)

Oleh: Lalu Heri Aprizal, Lc., M.Ud.

Editor: Idrus Abidin

Bagian Ke-3 dari 4 Tulisan

PERSFEKTIF EPISTEMOLOGI IBNU TAIMIYAH

Media ilmu yang dimaksud di sini ialah sarana yang menjadi wasilah dalamrangka memperoleh ilmu dari sumbernya. Maksud kata “media” di sini ialah sarana yang digunakan seseorang memperoleh pengetahuan. Sarana tentu saja berbeda dengan sumber. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa sumber pengetahuan itu ada dua yaitu: fenomena empiris dan wahyu Tuhan. Adapun media yang menjadi sarana memperoleh ilmu juga dua yaitu: indra dan akal. Dengan indra, manusia mencerap fenomena empiris dan wahyu Tuhan, lalu cerapan tersebut menjadi informasi yang dicerna dan dipahami oleh akalnya. Berikut ini penjelasannya:

  1. INDRA

Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, pengetahuan manusia berawal dari fenomena alam yang ditangkap dan diserap oleh indra lalu ditransfer menuju akal. Kemudian akal melakukan penalaran dan generalisasi terhadap informasi yang diperoleh melalui indra tersebut, kemudian menganalogikannya kepada realitas eksternal yang lain. Beliau mengatakan: “Pengetahuan itu mempunyai jalur-jalur, persepsi dan instrumen-instrumen luar (indra luar/lahir) dan dalam (indra dalam/batin) pada diri manusia. Bermula dari ia merasakan dan menyaksikan sesuatu, lalu akal berimajinasi, berhipotesis dan memberinya nilai, kemudian menganalogikan ralitas-realitas yang tidak disaksikan dengan hal-hal yang disaksikan.”[1]

Menurut beliau indra manusia itu ada dua macam: indra zahir (luar) dan indra batin (dalam). Indra zahir adalah: pendengaran, penglihatan, peraba, pengecap (dzauq) dan penciuman (syamm). Tetapi indra luar yang paling utama menurut beliau ada tiga: yaitu pendengaran, penglihatan dan peraba, berdasarkan dari firman Allah: “Dan kalian tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulit kalian terhadap diri kalian…” [QS. Fus}s}ilat: 22].[2] Adapun indra pengecap dan penciuman tergolong indra peraba, tetapi perabaan khusus; pengecap adalah indra peraba melalui lidah, dan penciuman adalah indra peraba melalui hidung, karena yang disebut ‘bebauan’ adalah materi yang dibawa masuk oleh udara dan disentuh oleh rongga hidung.[3] Ketiga indra tersebut merupakan sarana pokok mendapatkan ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang menjadikan manusia berbeda dengan hewan, tidak dengan dua indra lainnya yaitu perasa dan penciuman.[4]    

Adapun indra batin (dalam) adalah indra yang digunakan manusia merasakan berbagai sensasi di dalam dirinya seperti: lapar-kenyang, dahaga-lega, lezat-pedih, senang-sedih, suka-tidak suka, rela-marah dan sebagainya. Dengan indra ini pula seseorang merasakan rasa-rasa batin seperti keikhlasan dan cinta kepada Allah, pengagungan dan kehinaan diri di hadapan-Nya, rasa butuh dan penuh harap kepada karunia dan ampunan-Nya, rasa tawakkal, syukur, sabar, ridha dan sebagainya. Dengan indra ini pula ia merasakan nilai-nilai agung di dalam kalbunya[5] seperti akhlak mulia: keikhlasan, kasih sayang, kejujuran, keberanian, kedermawanan, amanah, rendah hati dan sebagainya. Demikian pula akhlak-akhlak tercela seperti: kebengisan, kedustaan, sifat  pengecut, bakhil, khianat, sombong dan sebagainya.

(lebih…)