Kamis, 28 Maret 2024

Apa itu “Salafi” ?

Apa itu “Salafi” ?

Oleh : Muhammad Atim

Salafi adalah sebutan bagi ulama atau orang-orang yang berpegang kepada aqidah para Salafush Shaleh. Salafush Shaleh yang dimaksud adalah tiga generasi awal Islam yang dipuji oleh Nabi ﷺ sebagai sebaik-baik generasi, yaitu sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. 

Istilah “Salafi” digunakan untuk membedakan dengan orang-orang yang melenceng dari aqidah para Salafush Shaleh tadi, dimana banyak muncul aliran-aliran atau kelompok-kelompok yang menisbatkan diri pada Islam namun memiliki aqidah dan pemahaman yang melenceng dari aqidah dan pemahaman yang benar sebagaimana dipegang oleh para Salafush Shaleh. Aqidah para Salafush Shaleh ini tentu saja adalah hasil pemahaman yang benar terhadap Al-Qur’an dan Sunnah. Munculnya penyimpangan tersebut sangat besar dipengaruhi oleh pemikiran filsafat yang datang dari luar Islam khususnya Yunani. Maka datang para ulama Salafi atau yang berpegang kepada aqidah Salaf atau manhaj Salaf menampilkan aqidah dan pemahaman yang benar sebagaimana dipegang oleh Salafush Shaleh dan membantah pemikiran-pemikiran menyimpang tersebut.

Istilah Salafi ini atau yang berpegang kepada aqidah Salaf atau manhaj Salaf adalah sebutan lain dari istilah Ahlus Sunnah atau Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah tiada lain adalah aqidah para Salafush Shaleh.
 
Jadi, setiap muslim sebenarnya wajib untuk berpegang kepada aqidah Salaf atau menjadi Salafi, atau berpegang kepada aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Karena kalau tidak, dia akan terjerumus pada aqidah dan pemahaman yang menyimpang dari kebenaran, sehingga hakikatnya ia melenceng dari Islam.
 
Hanya saja penisbatan terhadap sebutan ini mesti dibuktikan dengan mengkaji langsung bagaimana aqidah Salafush Shaleh dan Ahlus Sunnah ini dari kitab-kitab yang telah ditulis oleh para ulama, dipahami secara benar dan ditimbang kesesuaiannya, bukan sebatas penisbatan.

Istilah “Salafi”, “aqidah Salaf”, “madzhab Salaf” atau “manhaj Salaf” ini bukanlah pertama kali disebut-sebut oleh imam Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) atau Syekh Muhammad bin Abdul Wahab (w. 1203 H) rahimahumallah, yang kemudian diidentikkan dengan istilah Wahabi, sebagaimana disangka oleh sebagian orang. Justru kalau kita membaca kitab-kitab para ulama yang berpegang kepada aqidah Salaf, bahkan sejak era awal, kita akan dapati mereka menyebutkan istilah ini. 

Misalnya Abu Ubaid Qasim bin Sallam (w. 224 H) rahimahullah dalam kitabnya Al-Iman mengatakan :

وَقَالَ : ﴿وَلِيُمَحِّصَ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَيَمْحَقَ الْكافِرِينَ﴾ (آل عمران : ١٤١) أَفَلَسْتَ تَرَاهُ، قَدِ امْتَحَنَهُمْ بِتَصْدِيقِ الْقَوْلِ بِالْفِعْلِ، وَلَمْ يَرْضَ مِنْهُمْ بِالْإِقْرَارِ دُونَ الْعَمَلِ، حَتَّى جَعَلَ أَحَدَهُمَا مِنَ الْآخَرِ؟ فَأَيُّ شَيْءٍ يُتَّبَعُ بَعْدَ كِتَابِ اللَّهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ ﷺ وَمِنْهَاجِ السَّلَفِ بَعْدَهُ الَّذِينَ هُمْ مَوْضِعُ الْقُدْوَةِ وَالْإِمَامَةِ؟! فَالْأَمْرُ الَّذِي عَلَيْهِ السُّنَّةُ عِنْدَنَا مَا نَصَّ عَلَيْهِ عُلَمَاؤُنَا مِمَّا اقْتَصَصْنَا فِي كِتَابِنَا هَذَا : أَنَّ الْإِيمَانَ بِالنِّيَّةِ وَالْقَوْلِ وَالْعَمَلِ جَمِيعًا، وَأَنَّهُ دَرَجَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ، إِلَّا أَنَّ أَوَّلَهَا وأعلاها الشَّهَادَةُ بِاللِّسَانِ، كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فِي الْحَدِيثِ الَّذِي جَعَلَهُ فِيهِ بِضْعَةً وَسَبْعِينَ جُزْءًا، فَإِذَا نَطَقَ بِهَا الْقَائِلُ، وَأَقَرَّ بِمَا جَاءَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لَزِمَهُ اسْمُ الْإِيمَانِ بِالدُّخُولِ فِيهِ بِالِاسْتِكْمَالِ عِنْدَ اللَّهِ، وَلَا عَلَى تَزْكِيَةِ النُّفُوسِ، وَكُلَّمَا ازْدَادَ لِلَّهِ طَاعَةً وَتَقْوَى، ازْدَادَ بِهِ إِيمَانًا.

“Dan Allah berfirman, “Dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang yang kafir.” (QS. Ali Imran : 141), tidakkah kamu memperhatikannya? Sungguh Allah menguji mereka dengan membuktikan perkataan dengan perbuatan dan Dia tidak ridha dari mereka dengan pernyataan tanpa amal, hingga menjadikan salah satunya sebagai bagian dari yang lain. Maka apalagi yang diikuti setelah kitab Allah, sunnah rasul-Nya ﷺ dan MANHAJ SALAF setelahnya yang mereka itu adalah tempatnya keteladanan dan keimaman? Perkara yang merupakan sunnah menurut kami adalah apa yang dinyatakan oleh para ulama kami yang kami sebutkan dalam kitab kami ini, yaitu bahwa iman itu dengan niat, perkataan dan perbuatan secara sekaligus, dan bahwa ia bertingkat-tingkat, sebagiannya di atas sebagian yang lain. Hanya saja yang paling pertama dan paling tinggi adalah bersyahadat dengan lisan, sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadits yang ia menjadikan padanya tujuh puluh lebih bagian. Maka apabila seseorang mengatakan dan mengakui apa yang datang dari sisi Allah, maka otomatis ia menyandang istilah iman dengan masuknya ia ke dalamnya, dengan menyempurnakannya di sisi Allah, dan tidak atas dasar merasa diri suci, dan setiap kali bertambah ketaatan dan ketakwaannya kepada Allah, maka bertambahlah imannya.” (Al-Iman, Abu Ubaid Qasim bin Sallam, hal. 34-35).

Dalam kitabnya As-Sunnah, Abu Bakar bin Al-Khallal (w. 311 H) mengutip perkataan Abu Nu’aim :

أَخْبَرَنِي عَلِيُّ بْنُ عِيسَى، أَنَّ حَنْبَلًا حَدَّثَهُمْ، سَمِعَ أَبَا نُعَيْمٍ الْفَضْلَ بْنَ دُكَيْنٍ، قَالَ لَهُ رَجُلٌ: يَا أَبَا نُعَيْمٍ، هَذَا بِشْرٌ الْمِرِّيسِيُّ. فَقَالَ : لَعَنَ اللَّهُ أَهْلَ الزَّيْغِ وَالضَّلَالَةِ، وَمَنْ بِشْرٌ الْمِرِّيسِيُّ؟ إِنَّمَا يَتَكَلَّمُ فِي هَذَا التَّافِهُ مِنَ النَّاسِ لَا يَعْرِفُ، نَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمُ الْيُسْرَ وَالْعَافِيَةَ، عَلَيْكُمْ بِالْآثَارِ وَالْعِلْمِ، مَا كَانَ عَلَيْهِ مَنْ مَضَى مِنَ السَّلَفِ.

“Telah menceritakan kepadaku Ali bin Isa, bahwa Hanbal menceritakan kepada mereka, ia mendengar Abu Nu’aim Al-Fadh bin Dukain, ada seorang laki-laki yang berkata kepadanya, “Wahai Abu Nu’aim, ini Bisyr bin Al-Marisi (tokoh aliran Jahmiyyah)”. Maka ia berkata, “Semoga Allah melaknat para pelaku penyimpangan dan kesesatan, siapa ini Bisyr Al-Marisi ? Tiada lain yang berbicara seperti ini adalah orang bodoh dari manusia yang tidak mengetahui. Kita memohon kepada Allah bagi kami dan kalian kemudahan dan keselamatan. Hendaklah kalian berpegang kepada atsa-atsar dan ilmu, yang dipegang oleh orang-orang terdahulu dari SALAF.” (As-Sunnah, Abu Bakr bin Al-Khallal, 5/104).

Ibnu Battah Al-Ukbari (w. 387 H) dalam kitabnya Al-Ibanah Al-Kubra mengatakan :

فَإِنِّي أَجْعَلُ أَمَامَ الْقَوْلِ إِيعَازَ النَّصِيحَةِ إِلَى إِخْوَانِي الْمُسْلِمِينَ بِأَنْ يَتَمَسَّكُوا بِكِتَابِ اللَّهِ، وَسُنَّةِ رَسُولِهِ ﷺ وَاتِّبَاعِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ، وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِينَ

“Maka sungguh aku jadikan di permulaan perkataan ini pemberian nasihat kepada saudara-saudaraku kaum muslimin agar mereka berpegang teguh kepada kitab Allah, sunnah rasul-Nya dan mengikuti SALAFUSH SHALEH dari para sahabat, tabi’in, dan yang setelah mereka dari para ulama muslimin.” (Al-Ibanah Al-Kubra, 4/325).

Abu Sulaiman Al-Khattabi (w. 388 H) berkata :

فَأَمَّا مَا سَأَلْتَ عَنْهُ مِنَ الصِّفَاتِ وَمَا جَاءَ مِنْهَا فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، فَإِنَّ مَذْهَبَ السَّلَفِ إِثْبَاتُهَا وَإِجْرَاؤُهَا عَلَى ظَوَاهِرِهَا وَنَفْيُ الْكَيْفِيَّةِ وَالتَّشْبِيْهِ عَنْهَا، وَقَدْ نَفَاهَا قَوْمٌ فَأَبْطَلُوا مَا أَثْبَتَهُ اللهُ، وَحَقَّقَهَا قَوْمٌ مِنَ الْمُثْبِتِيْنَ، فَخَرَجُوا فِي ذَلِكَ إِلَى ضَرْبٍ مِنَ التَّشْبِيْهِ وَالتَّكْيِيْفِ، وَإِنَّمَا الْقَصْدُ فِي سُلُوْكِ الطَّرِيْقَةِ الْمُسْتَقِيْمَةِ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ، وَدِيْنُ اللهِ تَعَالَى بَيْنَ الْغَالِي فِيْهِ وَالْجَافِي وَالْمُقْصِرِ عَنْهُ.

"Maka adapun apa yang kamu tanyakan tentangnya dari sifat-sifat dan apa yang datang tentangnya di dalam Al-Qur'an dan Sunnah, maka MADZHAB SALAF adalah menetapkannya dan membiarkannya sebagaimana zahirnya, menafikan kaifiyyah dan tasybih darinya. Sungguh, suatu kaum telah menafikannya, maka mereka menggugurkan apa yang telah Allah tetapkan. Dan suatu kaum dari kalangan yang menetapkan, mereka mentahqiq/lebih menetapkan lagi, maka mereka keluar dalam hal itu kepada suatu bentuk penyerupaan (tasybih) dan penggambaran (takyif). Yang menjadi tujuan adalah menempuh jalan yang lurus di antara dua perkara tersebut. Agama Allah ini ada di antara yang berlebih-lebihan (ghuluw) dan yang jauh dan mengurang-ngurangi (taqshir).”

Perkataan tersebut dikatakan pula secara persis oleh Al-Khatib Al-Baghdadi (w. 463). (Lihat Ad-Dzahabu, Al-‘Uluw, hal. 253-254, Abu Bakar Al-Isma’ili, I’tiqad Ahlis Sunnah, hal. 72-75).

Kitab yang sangat lengkap memotret bagaimana aqidah Salaf dan ia adalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah kitab Syarh I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah karya Abul Qasim Al-Lalakai (w. 418 H), dalam salah satu babnya ia mengatakan :

سِيَاقُ مَا رُوِيَ عَنِ الْمَأْثُورِ عَنِ السَّلَفِ فِي جُمَلِ اعْتِقَادِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالتَّمَسُّكِ بِهَا وَالْوَصِيَّةِ بِحِفْظِهَا قَرْنًا بَعْدَ قَرْنٍ

“Paparan tentang atsar yang diriwayatkan dari SALAF dalam keumuman aqidah Ahlus Sunnah, berpegang kepadanya dan wasiat untuk menjaganya dari abad ke abad.” (Syarh I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, ha. 170).

Syaikhul Islam Abu Utsman Ash-Shabuni (w. 449 H) menamai kitabnya dengan nama Aqidah Salaf wa Ashabil Hadits, di dalamnya beliau memaparkan aqidah Salafush Shaleh.

Dan masih banyak lagi.

Wallahul Muwaffiq.

t.me/butirpencerahan