Bismillahi walhamdulillah, amma ba’du.
Baru-baru ini beredar video salah satu peserta dari negeri kita tercinta yg mengikuti program tilawah Alqur’an bersama sayyidi Asy-Syaikh Aiman Rusydi Suwaid Allahu yahfadz.
Namun, disana Syaikh memberikan catatan untuknya hingga viral dimana-mana, disebabkan gaya bacaannya yg dilagu-lagukan. Subhaanallah..
Izinkan kami berbagi faidah dari guru kami Al ustadz Saih hafidzahullah berkaitan hal ini..
Dalam istilah para ulama tajwid dan qiraat, permasalahan ini dinamakan dengan Qiraatul Qur’aan bil Alhaan. Permasalahan ini sangat masyhur dan jadi bahasan yang cukup panjang di antara mereka. Alhaan diambil dari kata Lahn, yang berarti Tathriib wal Ghinaa‘. Suara-suara tambahan yang dikeluarkan dalam bentuk irama lagu dan lekukan atau getaran saat membaca Alquran. Lahn di sini bukan berarti kesalahan, karena dalam bab lain, ia bisa diartikan demikian. Lahn di bab ini sering disebut juga dengan Nagham.
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dan Al-Qasthalani menamakan fann ini dengan Qaanun An-Naghm. Aturan mengiramakan suara atau nada ketika melantunkan bacaan Alquran. Sebagaimana sya’ir Arab punya Qanuun Asy-Syi’r yang dinamakan dengan Al-‘Aruudh.
Dalam Fathul Baari disebutkan sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas,
أن داود عليه السلام كان يقرأ الزبور بسبعين لحنا ويقرأ قراءة يطرب منها المحموم وكان إذا أراد أن يبكي نفسه لم تبق دابة في بر ولا بحر إلا أنصتت له واستمعت وبكت
Bahwa Nabi Dawud membaca kitab Zabur dengan tujuh puluh tangga lagu. Dan ia membaca dengan bacaan yang menggetarkan orang yang demam. Jika ia ingin membuat dirinya menangis ketika membaca Zabur, maka tidak akan ada satu pun binatang di daratan atau di lautan kecuali terdiam dan mendengarkan bacaannya lalu menangis.
Tujuh puluh Lahn atau lagu, bermakna tiap lagu punya tangga lagu atau nada dan aturannya masing-masing. Saling membedakan antara satu sama lain. Jika kita kaitkan dengan nada atau lagu yang kita temukan hari ini, maka kita dapatkan penamaan lagu-lagu tersebut seperti Rast, Nahawand, Sikkah, Shoba‘, Hijaaz, Bayyati, ‘Ajam, Kurdi, dan lain-lain.
Maka bagaimana hukum orang yang membaca Alquran dengan lagu-lagu dan irama semacam itu?
Dasar hadits dalam bab ini adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Hudzaifah bin Al-Yamani bahwa Rasulullah bersabda,
اقرؤوا القرآن بلحون العرب وأصواتها ,وإياكم ولحون أهل الفسق ولحون أهل الكتابين وسيجيء بعدي أقوام يرجعون بالقرآن ترجيع الغناء والنوح لا يجاوز حناجرهم مفتونة قلوبهم وقلوب الذين يعجبهم شأنهم
“Bacalah Alquran dengan nada lagu orang Arab dan suara-suara mereka. Dan hindarilah nada lagu orang-orang fasik dan ahli kitab. Akan datang setelahku kelompok-kelompok yang men-tarji’ (mendengdangkan) Alquran dengan tarji’ (ketukan nada) nyanyian dan lagu sedih, dimana bacaan mereka tidak melewati kerongkongan mereka. Hati mereka telah diliputi fitnah sebagaimana hati orang-orang yang takjub dengan bacaan mereka.“
Hadis ini meskipun statusnya secara riwayat diperselisihkan, (diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di Al-Awsath, lalu Al-Baihaqi di Syu’ab Al-Iman) namun secara matan menurut beberapa ulama dibenarkan karena ada banyak dalil-dalil lain yang mendukung. Maka hadis di atas membatasi Lahn atau nada lagu apa yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Yang diperbolehkan adalah nada lagu orang Arab. Dan yang tidak diperbolehkan nada lagu ahli kitab nasrani di gereja mereka atau rahib-rahib di sinagog mereka begitu juga orang-orang fasik seperti kalangan syi’ah rafidhah yang meraung-raung di hari ‘Asyura, atau nada lagu para penyanyi dan pemusik yang fasik.
Dari hadis di atas juga, kita memahami bahwa keharaman melagukan atau mendendangkan bacaan Alquran tidaklah mutlak haram. Tidak pula mutlak boleh. Ada perinciannya secara hukum fikih. Seperti ini kira-kira perinciannya:
Memperindah dan memperbagus bacaan Alquran dengan suara adalah boleh secara konsensus (ijma’) di kalangan ulama. Yang jadi perselisihan di antara mereka adalah jika suara yang indah tersebut mengandung kadar yang berlebihan, dengan meletakkannya pada pakem Lahn/Ghinaa’ yang punya aturannya tersendiri.
Beberapa ulama yang membolehkannya adalah Imam Abu Hanifah dan pengikutnya, Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya, Ibnul Mubarak, dan ‘Atha’ dari kalangan tabi’in. Muhammad bin Nashr berkata, Ibnu Juraij berkata: “Aku bertanya pada ‘Atha’ bolehkah membaca Alquran dengan Ghinaa’ (lagu) ia menjawab: “Ada apa dengan cara membaca demikan?” Beberapa ulama menghukuminya tidak boleh. Namun ketidakbolehannya terbatas pada makruh. Di antara yang berkata demikian adalah Imam Malik, Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya, Sa’id bin Al-Musayyib, Sa’id bin Jubair, Al-Qasim bin Muhammad, Al-Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirin, An-Nakha’i dari Anas bin Malik. Begitu juga Ibnu Baththal dan Al-Qadhi ‘Iyadh dari kalangan Malikiyyah, Al-Mawardi, Al-Ghazali dari kalangan Syafi’iyyah, dan Abu Ya’la dan Ibnu ‘Aqil dari kalangan Hanabilah.
Sebagian lagi bahkan menghukumi haram mutlak. Seperti pendapat ‘Abdul Wahhab dari kalangan Malikiyyah dan Ibnu Hamdan dari kalangan Hanabilah.
Lantas bagaimana menengahi persoalan ini?
Menurut penulis kitab Sunan Al-Qurra’ wa Manahij Al-Mujawwidin, Dr. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Al-Qari’, bahwa permasalahan ini bisa ditengahi dengan menyimpulkan bahwa memperindah suara saat membaca Alquran dengan Naghm/Lahn dan aturan-aturannya adalah boleh dengan 4 syarat.
Syarat pertama, jangan sampai keindahan lagu atau ayunan nadanya menutupi benarnya dan selamatnya bacaan Alquran dengan tajwid. Jika aturan-aturan lagu atau ayunan nada tersebut menyebabkan hukum tajwid berantakan, atau aturan ‘Adaa’ (bacaan) menjadi hilang, maka hukumnya haram.
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Fathul Bari mengutip pendapat Imam An-Nawawi setelah menjelaskan perselisihan ulama dalam bab ini,
ومحل هذا الاختلاف إذا لم يختل شيء من الحروف عن مخرجه فلو تغير قال النووي في التبيان أجمعوا على تحريمه
“Titik permasalahan di bab ini adalah apabila ada huruf yang keluar dari makhrajnya maka jika ia berubah, Imam An-Nawawi mengatakan bahwa ulama sepakat yang demikian adalah haram.”
Ibarah Imam An-Nawawi dalam At-Tibyan,
قال العلماء رحمهم الله فيستحب تحسين الصوت بالقراءة ما لم يخرج عن حد القراءة بالتمطيط فإن أفرط حتى زاد حرفا أو أخفاه فهو حرام وأما القراءة بالألحان فقد قال الشافعي في موضع أكرهها وقال في موضع لا أكرهها وقال أصحابنا ليس قولين بل فيه تفصيل إن أفرط في التمطيط فجاوز الحد فهو الذي كرهه وإن لم يجاوز فهو الذي لم يكرهه
Para ulama rahimahumullah berkata: “Dianjurkan untuk memperindah suara saat membaca Alquran sepanjang tidak keluar dari batasan bacaan yang benar disebabkan oleh Tamthith (mengaret-ngaretkan/memanjang-manjangkan bacaan). Maka jika ia berlebihan sampai menambah satu huruf atau menyembunyikannya maka hukumnya haram. Adapun membaca Alquran dengan Alhaan (tangga-tangga lagu) maka Imam Syafi’i berkata makruh di satu kesempatan, dan berkata tidak makruh di kesempatan lain. Para pengikut mazhabnya berkata: “Imam Syafi’i tidak berpendapat dengan keduanya secara bersamaan, melainkan ada perincian. Apabila berlebihan dalam memanjangkan bacaan hingga keluar batas maka itu yang dihukumi makruh, jika tidak keluar batas maka itu yang tidak dihukumi makruh.”
وقال أقضى القضاة الماوردي في كتاب الحاوي القراءة بالأاحان الموضوعة إن أخرجت لفظ القرآن عن صيغته بإدخال حركات فيه أو إخراج حركات منه أو قصر ممدود أو مد مقصور أو تمطيط يخفي به بعض اللفظ ويلتبس المعنى فهو حرام يفسق به القارئ ويأثم به المستمعون لأنه عدل به عن نهج القويم إلى الاعوجاج والله تعالى يقول : ((قرآنا عربيا غير ذي عوج)) وقال وإن لم يخرجه اللحن عن لفظه وقرائته على ترتيله كان مباحا لأنه زاد على ألحانه في تحسينه
Al-Imam Al-Qadhi Al-Mawardi Asy-Syafi’i berkata di kitabnya Al-Haawi: “Membaca Alquran dengan tangga-tangga lagu atau nada jika mengeluarkan lafaz Alquran dari bentuk asalnya dengan memasukkan harakat tambahan ke dalamnya atau mengeluarkan harakat-harakat darinya atau memendekkan yang panjang atau memanjangkan yang pendek atau mengaret-ngaretkan bacaan hingga menghilangkan sebagian lafaz dan mencampuradukkan makna maka ini adalah haram, pembacanya dihukumi fasik dan pendengarnya juga berdosa. Sebab dia telah belok dari metode yang lurus menuju kebengkokan, dan Allah ta’ala berfirman; “Inilah Alquran dalam bahasa Arab tidak mempunyai sedikitpun kebengkokan”. Akan tetapi jika lagu atau nada tersebut tidak mengeluarkan bacaannya dari lafaz asalnya dan tidak menghilangkan pondasi tartilnya maka ia boleh, sebab dia memperindah bacaan Alqurannya dengan lagu-lagu itu.“
Syarat kedua, adanya lagu, irama dan nada saat membaca Alquran tidak boleh menghilangkan keagungan dan kemuliaan Alquran, juga menghilangkan khusyu’ dan adab saat membacanya. Karena sebagian lagu atau aturan nada itu ada yang tidak layak untuk digunakan membaca Alquran. Lagu-lagu itu bersandar pada cengkok atau getaran yang tidak membangkitkan rasa khusyu’, rasa takut, dan rasa ingat kepada Allah. Ia hanya mainan dan kesia-siaan yang menimbulkan rasa senang dan dendang lagu pada hati pendengar yang tidak layak dengan posisi Alquran. Padahal ada tangga-tangga lagu atau aturan nada yang dengannya bisa menumbuhkan rasa sedih dan khusyu’ yang cocok dengan maqam dan derajat Alquran.
Allah berfirman,
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ ۖ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid: 16)
Allah berfirman,
لَوْ أَنْزَلْنَا هَٰذَا الْقُرْآنَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ ۚ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُون
“Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” (QS. Al-Hasyr: 21)
Allah berfirman,
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang , gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.” (QS. Az-Zumar: 23)
عن أم المؤمنين عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إن أحسن الناس قراءة الذي إذا قرأ رأيت أنه يخشى الله (رواه أبو نعيم والطبراني)
Dari Ummil Mukminin Aisyah bahwa Nabi Muhammad bersabda: “Sesungguhnya orang yang paling bagus bacaannya adalah yang jika ia membaca kamu lihat ia takut Allah” (HR. Abu Nu’aim dan Ath-Thabrani).
كان يقال أحسن الناس صوتا بالقرآن أخشاهم لله (رواه ابن ماجه عن أبي الزبير عن جابر مرفوعا)
Dikatakan bahwa orang yang paling indah suaranya saat membaca Alquran adalah yang paling takut pada Allah. (HR. Ibnu Majar dari Abu Zubair dari Jabir secara marfu’)
Bersandarkan ayat-ayat dan hadits di atas, hendaknya seorang pembaca Alquran memperindah tartilnya dengan tangga irama atau nada yang jauh dari cara orang-orang ‘ajam yang fasik, karena Alquran turun dengan bahasa Arab. Maka tidak mengapa pula jika seseorang memperindah bacaannya dengan aturan-aturan nada orang-orang Mesir, atau orang-orang Hijaz atau orang-orang Afrika yang berbahasa Arab fusha seperti Sudan, Al-Jazair, dan Maroko. Dan menghindari lagu atau nada yang melenakan dengan tambahan-tambahan madd atau melumat huruf-huruf hijaiyyah sehingga bacaannya menjadi buram dan tidak jelas.
Syarat ketiga, hendaknya nada atau irama yang digunakan untuk memperindah bacaan Alquran adalah yang condong pada nada atau irama Tahziin, yang membuat pembaca dan pendengar bersedih. Karena itu nada dan irama yang sesuai dengan maqam Alquran, yang akan mengajak pendengar dan pembacanya kepada khusyu’, khasyyah, dan tangisan. Itu pula mengapa sebagian ulama menafsirkan hadis anjuran melagukan bacaan Alquran dengan cara membuat pembaca dan pendengarnya sedih, seperti penafsiran Imam Asy-Syafi’i dan Imam Al-Laits.
Sa’ad bin Abi Waqqash berkata, bahwa Rasulullah bersabda,
إن هذا القرآن نزل بحزن فإذا قرأتموه فابكوا فإن لم تبكوا فتباكوا وتغنوا به فمن لم يتغن به فليس منا
“Sesungguhnya Alquran turun membawa kesedihan, maka jika kalian membacanya menangislah jika belum bisa menangis maka berpura-puralah menangis. Perindahlah Alquran dengan nada dan irama, siapa yang tidak berupaya demikian maka dia bukan bagian dari kami.” (HR. Abu Dawud, Ad-Darimi, Ahmad, Al-Hakim, dan Ibnu Majah)
Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya berkata, bahwa Rasulullah berkata,
اقرؤوا القرآن بحزن فإنه نزل بحزن
“Bacalah Alquran dengan cara bersedih, karena sungguh ia turun demikian.” (HR. Ath-Thabrani dan Abu Nu’aim)
Dari Abdullah bin ‘Abbas bahwa Rasulullah berkata,
إن أحسن الناس قراءة من قرأ يتحزن به
“Sungguh orang yang paling bagus bacaannya adalah yang saat membacanya bersedih.” (HR. Ath-Thabrani)
Dari Abu Hurairah bahwa,
أنه قرأ سورة فحزنها شبه الرثى
“Ia membaca sebuah surat Alquran lalu menyedih-nyedihkannya mirip dengan cara ritsaa’ (sedih ditinggal wafat). (HR. Ibnu Abid Daud dengan sanad yang hasan.)
Namun yang mesti jadi catatan, hendaknya perasaan sedih saat membaca Alquran tidak melewati batas, seperti Ahli Niyaahah (orang yang meraung-raung dalam tangisan sebab ditinggal wafat), karena hal ini terlarang. Dan untuk membatasinya dibutuhkan pengamatan orang-orang yang mutqin dan dhaabith, para pakar. Ada pun para pemula sangat susah.
Syarat keempat, hendaknya para pembaca Alquran menggunakan irama dan nada sesuai kebutuhannya untuk memperindah dan menghiasi Alquran dengan suaranya. Tidak boleh berlebihan (Takalluf) dan berpayah-payahan (Ta’assuf) untuk mencari mata pencahariannya dengannya, seperti yang dilakukan oleh qari’-qari’ pesta, radio dan siaran-siaran langsung. Di mana mereka membacanya dengan membebani dirinya sendiri dengan cara dibuat-buat, sampai nafasnya tersengal-sengal, nampak urat lehernya, terpejam-pejam matanya, mereka membacanya untuk memenuhi hawa nafsunya, atau untuk mencari kemasyhuran, atau karena tamak pada harta.
Orang-orang yang takjub pada mereka yang membaca dengan cara ini biasanya hanya takjub pada indahnya suara dan irama yang membuat mereka berteriak-teriak senang. Namun ayat-ayat Alqurannya sendiri, mereka amat tidak tahu tentang hukum dan kandungan isinya. Imam Al-Qurthubi meriwayatkan dalam muqaddimah tafsirnya,
روي عن القاسم بن محمد عن مالك أنه سئل عن الألحان في الصلاة فقال لا يعجبني وقال إنما هو غناء يتغننون به ليأخذوا عليه الدراهم
Diriwayatkan dari Al-Qasim bin Muhammad dari Imam Malik bahwa ia ditanya tentang bacaan berirama dan berlagu dalam salat, maka ia menjawab, “Hal itu tidak aku sukai. Hal itu hanyalah lagu dan irama yang didendangkan agar orang-orang membayar mereka dengan beberapa dirham.”
Inilah kemudian syarat-syarat yang membatasi bacaan Alquran dengan irama, lagu, atau nada, atau nagham, maqamat, apapun sebutannya yang digunakan untuk memperindah bacaan. Dan ini merupakan pendapat yang tengah-tengah, tidak terlalu ketat juga tidak terlalu longgar. Bahwa memperindah bacaan Alquran merupakan hal yang dianjurkan oleh syari’at, bahkan buat mereka yang awalnya tidak punya kemampuan untuk memperindah bacaannya pun dianjurkan untuk melatih suaranya agar bisa memperindah bacaanya.
Adapun adanya sebagian ulama besar dari kalangan sahabat, tabi’in dan yang datang setelah mereka dari mulai Anas bin Malik, Sa’id bin Al-Musayyib, Imam Malik, Imam Ahmad, yang memakruhkan membaca Alquran dengan Alhaan, adalah jika irama dan nada tersebut menyebabkan bacaan mereka salah secara tajwid dan makhrajnya. Tidak makruh secara mutlak. Di antara atsar yang menguatkan hal tersebut adalah bahwa suatu ketika seorang lelaki bertanya pada Imam Ahmad, “Apa pendapatmu tentang orang yang membaca Alquran dengan Alhaan (nada dan irama)?” Imam Ahmad balik bertanya, “Siapa namamu wahai lelaki?” Ia menjawab, “Namaku Muhammad”. Lantas Imam Ahmad berkata, “Apakah kamu senang jika kamu dipanggil dengan ‘Muuuuhammad??'”
Atsar di atas menegaskan bahwa yang dimakruhkan adalah jika sampai menambah satu huruf baru atau memanjangkan yang pendek. Begitu juga mereka yang mengiramakan bacaan Alquran dengan tangga lagu-lagu satani (musik), di mana hal ini adalah batil, dan Lahwu (bermain-main).
Saat suatu ketika Al-Qasim bin Muhammad melewati orang yang sedang membaca Alquran di masjid Nabawi dengan melagukan dan memanjangkannya dengan cara bermusik. Al-Qasim bin Muhammad mengomentari dengan membaca surah Fusshilat ayat 42, “Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ ۖ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
Terakhir, semua permasalahan ini disimpulkan oleh Asy-Syaikh Al-Muqri’ Al-‘Allamah Ibrahim As-Samannudi dalam beberapa bait nazhamnya:
وجازت الأنغام بالميزان # واضعه موسى أو الخاقاني
Dan boleh membaca Alquran dengan Nagham dengan ukuran dan timbangan (tajwid), yang diletakkan dasar-dasarnya oleh Musa atau Al-Khaqani
أركانه معرفة المخارج # كذا الصفات ثم أحكام تجي
Rukun-rukunnya adalah mengetahui makhraj huruf, kemudian sifat-sifatnya, lalu hukum-hukum tajwidnya membersamai.
وهكذا رياضة والأخذ عن # أفواه عارفه خمسة تعن
Begitu pula dengan latihan dan mengambil langsung dari mulut para ahli dan pakarnya. Itulah lima rukun yang membantu.
Wallahu a’lam bishshawab. 🌹
Ustadz andika putra