✒️سعة الخلاف الاجتهادي
✒️Keluwesan khilaf ijtihadiy
Imam Asy-Syafi'iy dalam Jima'ul-Ilmi berdebat dengan lawannya tentang masalah Ijma, khabar Ahad dan lainnya hingga sampa pada bahasan ikhtilaf Ulama ada yang bisa saling toleransi dan luas dalam memilih ijtihad disana, lalu sang pendebat bertanya balik: "Apa wajh dalilnya yang menjadi petunjuk bagimu bahwa permasalahan yang tidak ada nash hukum di dalamnya maka ikhtilaf dalam masalah tsb adalah luas dan diperbolehkan? Maka dijawab oleh Imam Asy-Syafi'iy :
"Allah mewajibkan manusia untuk menghadap kiblat ke Masjidil-Haram, Dia berfirman:"... Dimana saja engkau keluar maka hadapkanlah wajahmu ke Masjidil-Haram maka dimana saja engkau berada palingkanlah wajah kalian ke arahnya... "(QS Al-Baqarah: 150).
Bagaimana pendapatmu jika kita safar lalu kita berbeda pendapat tentang kiblat maka yang menjadi dugaan kuatku adalah ke arah sini sedangkan yang menjadi dugaan kuat orang lain adalah ke arah yang lain, maka apakah yang wajib bagi kami?
Jika engkau katakan : "Ka'bah" maka memang benar Ka'bah jelas (arahnya) bagi orang yang berada disana namun ia (Ka'bah) gaib dinisbatkan kepada orang-orang yang jauh darinya, maka yang wajib atas mereka adalah mencari arahnya dengan sekuat kemampuan mereka yang mungkin mereka lakukan dan terpatrilah dugaan kuat di masing-masing hati mereka dan jika mereka melakukan hal tersebut maka ikhtilaf tentang arah kiblat tsb luas bagi mereka dan masing-masing dianggap telah melakukan kewajiban atasnya dengan cara ijtihad untuk mencari kebenaran yang gaib (arah Ka'bah) dari mereka."
Demikianlah sepatutnya dalam masalah khilafiyyah ijtihadiyyah yang tidak ada nash tegas di dalamnya baik dari Qur'an, Sunah yang shahih atau Ijma', ga usah ngegas, ngotot-ngototan, apalagi
saling tahdzir-tahdziran.
Ust farian Ghani harima