NASEHAT DALAM MENUNTUT ILMU (11)
Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah-
(Masjid Nurul Iman)
KIAT-KIAT MERAIH ILMU SYAR’I
Yang terakhir kita bahas adalah:
KIAT KEEMPAT: MENJAUHKAN DIRI DARI DOSA DAN MAKSIAT DENGAN BERTAQWA KEPADA ALLAH -‘AZZA WA JALLA-
Kiat keempat ini harus selalu diingat, karena sebagai orang awam saja: harus bertaqwa kepada Allah; terlebih lagi sebagai thalibul ‘ilmi (penuntut ilmu). Kita wajib senantiasa bertaubat kepada Allah; karena sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- dalam “Madaarijus Saalikiin”:
وَمَنْزِلُ التَّوْبَةِ: أَوَّلُ الْمَنَازِلِ، وَأَوْسَطُهَا، وَآخِرُهَا، فَلَا يُفَارِقُهُ الْعَبْدُ
“Dan kedudukan Taubat adalah: awal kedudukan, tengahnya, dan akhirnya; dan tidak terpisah dari hamba.”
Kita sebagai manusia banyak dosa, sebagaimana sabda Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-:
كُلُّ بَنِيْ آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ
“Setiap keturunan Adam adalah banyak salahnya, dan sebaik-baik orang yang banyak salahnya adalah orang yang banyak bertaubat.” [Hadits Hasan: HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dan Al-Hakim, dari Anas bin Malik -radhiyallaahu ‘anhu-]
Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- memerintahkan kita untuk bertaubat:
{يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا تُوْبُوْا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَصُوْحًا...}
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaubatlah kepada Allah dengan taubat “Nashuha” (yang semurni-murninya)…” (QS. At-Tahrim: 8)
Juga Allah perintahkan kita untuk bertaubat dalam firman-Nya:
{...وَتُوْبُوْا إِلَى اللهِ جَمِيْعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ}
“…Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (QS. An-Nuur: 31)
Dan Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوْبُوْا إِلَى اللهِ، فَإِنِّيْ أَتُوْبُ فِي الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Wahai manusia! Bertaubatlah kepada Allah, karena sungguh, aku bertaubat kepada-Nya dalam sehari sampai seratus kali.” [HR. Muslim]
Kita bertaubat kepada Allah dengan memenuhi syarat-syarat Taubat; yaitu:
1. Meninggalkan dosa tersebut.
2. Menyesali perbuatan dosa.
3. Bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut.
Jika dosanya berkaitan dengan hak orang lain; maka syaratnya ditambah satu: harus diselesaikan dengan orang tersebut; dengan mengembalikan haknya, atau meminta maaf, dan semisalnya.
Dosa memberikan pengaruh yang jelek dalam menuntut ilmu. Seorang penuntut ilmu bisa terhalang dari menghafal dan memahami apa yang dia pelajari karena dosa dan maksiatnya.
Maka, jangan sampai dosa kita menghalangi kita dari rahmat Allah.
KIAT KELIMA: TIDAK BOLEH SOMBONG DAN TIDAK BOLEH MALU DALAM MENUNTUT ILMU
Sombong dan malu menyebabkan pelakunya tidak akan mendapatkan ilmu selama kedua sifat itu masih ada dalam dirinya. Ummul Mukminin ‘Aisyah (wafat th. 58 H) -radhiyallaahu ‘anhaa- pernah berkata tentang sifat para wanita Anshar:
نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ الْأَنْصَارِ لَمْ يَمْنَعْهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّيْنِ
“Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam ilmu agama.” [Atsar shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari secara mu’allaq dalam “Shahiih”-nya Kitab al-‘Ilmu, Bab: al-Hayaa' fil ’llmi]
Para wanita Anshar -radhiyallaahu ‘anhunna- selalu bertanya kepada Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- jika ada permasalahan agama yang masih rumit bagi mereka. Rasa malu tidak menghalangi mereka demi menimba ilmu yang bermanfaat.
Ummu Sulaim -radhiyallaahu ‘anhaa- pernah bertanya kepada Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-: ”Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran, apakah seorang wanita wajib mandi apabila ia mimpi (berjima’)?” Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menjawab, ”Apabila ia melihat air.” [HR. Al-Bukhari (no. 130) dan Muslim (no. 313)
Maksudnya: seorang wanita wajib mandi apabila ia mimpi berjima’ dan keluar air mani. Ia dapati air mani setelah terbangun dari tidurnya. Kalau ia bermimpi dan tidak mendapati air mani; maka ia tidak wajib mandi. Masalah ini biasanya membuat para wanita malu untuk bertanya, tapi para wanita Anshar tidak malu untuk menanyakannya.
Maka, seorang penuntut ilmu tidak boleh malu untuk belajar.
Imam Mujahid bin Jabr (wafat th. 104 H) -rahimahullaah- berkata:
لَا يَتَعَلَّمُ العِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلَا مُسْتَكْبِرٌ
”Tidak akan mendapatkan ilmu: orang yang malu dan orang yang sombong.” [Atsar shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari secara mu’allaq dalam Shahih-nya Kitab al-‘llmu, Bab: al-Hayaa' fil ‘llmi dan Ibnu ’Abdil Barr dalam al-Jaami’ (I/535-536, no. 879)]
Orang yang sombong tidak bisa mendapatkan ilmu; seperti: orang yang merasa dirinya kaya, pejabat, atau sudah merasa pintar dan sudah menguasai ilmu; maka orang-orang semacam ini tidak akan mendapatkan ilmu. Penuntut ilmu harus menumbuhkan sifat tawadhu’, dia harus terus belajar, belajar, dan belajar.
Nabi Musa -‘alaihis salaam- meninggalkan dakwahnya untuk sementara waktu, kemudian menuntut ilmu kepada Nabi Khidir -‘alaihis salaam-.
‘Umar bin al-Khaththab bertanya kepada Abu Hurairah -radhiyallaahu ‘anhumaa-; padahal ‘Umar termasuk As-Sabiqunal Awwalun dan Abu Hurairah masuk Islamnya belakangan.
Abu Musa al-Asy’ari bertanya kepada Ibnu Mas'ud -radhiyallaahu ‘anhumaa-.
Dan masih banyak contoh lainnya yang menunjukkan bahwasanya para ulama Salaf tidak sombong dan tidak malu dalam menuntut ilmu.
KIAT KEENAM: MENDENGARKAN BAlK-BAlK PELAJARAN YANG DISAMPAIKAN USTADZ, SYAIKH, ATAU GURU
Kita diperintahkan mendengarkan dengan baik, ketika disampaikan kajian; maka dengarkan.
Ada orang-orang yang tidak mendengarkan kajian ketika kajian sudah disampaikan; dan biasanya mereka termasuk golongan:
1. Sudah merasa jadi ustadz.
2. Pengurus masjid.
3. Pengurus yayasan.
4. Panitia kajian.
Kita harus mendengarkan kajian dengan baik dan jangan mengobrol. Kita datang untuk menuntut ilmu; bukan untuk main-man atau mengobrol. Kalau datang ke kajian kemudian ngobrol; maka lebih baik pulang.
Imam adz-Dzahabi (wafat th. 748 H) -rahimahullaah- menyebutkan dalam kitab “Siyar A’laamin Nubalaa’” dan “Tadzkiratul Huffaazh”: bahwa Ahmad bin Sinan (wafat th. 256 H) -rahimahullaah- berkata: “Dalam majelis ‘Abdurrahman bin Mahdi (wafat th. 198 H) tidak ada seorang pun yang berbicara, tidak ada pensil yang diraut, dan tidak ada seorang pun yang berdiri. Seolah-olah di atas kepala mereka ada burung atau seolah-olah mereka sedang shalat.”
Ini menunjukkan pentingnya majlis ilmu, karena ilmu merupakan prinsip paling agung; sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Jauzi -rahimahullaah-:
فَإِنَّ الْعِلْمَ هُوَ الْأَصْلُ الْأَعْظَمُ وَالنُّوْرُ الْأَكْبَرُ
“Ilmu adalah prinsip paling agung dan cahaya terbesar.” [“Shaidul Khaathir” (hlm. 98 -cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah)]
Di majelis para ulama Salaf: yang hadir adalah ribuan orang; akan tetapi mereka diam, karena mereka benar-benar mengagungkan ilmu. Bukan seperti sekarang: ilmu tidak dihargai, dan ustadznya pun tidak dihargai. Terkadang ada ustadz yang menyampaikan kajian dan di sampingnya ada orang yang ngobrol; karena dia merasa sebagai panitia. Seharusnya orang semacam ini dikeluarkan dari majlis.
Kalau mau mengobrol; maka nanti setelah kajian. Majelis ilmu ini adalah majelis yang mulia; dimuliakan oleh para malaikat. Kalau antum tidak mau memuliakannya; maka lebih baik antum pulang.
Saya belajar di Syaikh ‘Utsaimin: jika ada yang bicara; maka disuruh keluar. Inilah majelis ulama.
Kemudian, dalam riwayat lain Ahmad bin Sinan mengatakan: “Tidak ada yang berbicara dalam majelis ‘Abdurrahman bin Mahdi, tidak ada pula pensil yang diraut, tidak ada seorang pun yang tersenyum, dan tidak ada seorang pun yang berdiri. Seolah-olah di atas kepala mereka ada burung atau seolah-olah mereka sedang shalat. Jika ia melihat salah seorang di antara mereka tersenyum atau bercakap-cakap; maka ia memakai sandalnya lalu keluar.”
Tidak seperti sekarang: ada muridnya yang ngobrol tapi ustadznya terus melanjutkan kajian.
Masyayikh zaman sekarang juga ada yang mempraktekkaan hal ini: jika ada yang ngobrol atau berman-main; maka beliau keluar.
Seorang penuntut ilmu harus berusaha menjadi pendengar yang baik, mendengarkan yang baik-baik, yaitu Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; agar ia mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan juga dapat mengamalkan keduanya.
Allah -Subhaanhu Wa Ta’aaalaa- berfirman:
{فَبَشِّرْ عِبَادِ * الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِيْنَ هَدَاهُمُ اللهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ}
“...Sebab itu sampaikanlah berita gembira itu kepada hamba-hamba-Ku, (yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan merekalah orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS. Az-Zumar: 17-18)
Maka, orang yang mendengarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah; mereka adalah: (1)orang yang diberikan hidayah oleh Allah, dan (2)orang yang memiliki akal sehat.
KIAT KETUJUH: DIAM KETIKA PELAJARAN DISAMPAIKAN
Ketika belajar dan mengkaji ilmu syar’i kita tidak boleh berbicara yang tidak bermanfaat, tanpa ada keperluan, dan tidak ada hubungannya dengan ilmu syar’i yang disampaikan, tidak boleh ngobrol. Haruslah dibedakan antara majelis ilmu dan majelis yang lainnya; antara tempat kita menuntut ilmu syar'i dengan tempat yang lain, apalagi yang disampaikan adalah ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.
Secara umum Allah menyebutkan tentang hal ini dalam firman-Nya:
{وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ وَأَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ}
”Dan apabila dibacakan Al-Qur-an, maka dengarkanlah dan diamlah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raaf: 204)
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” [HR. Al-Bukhari (no. 6018, 6138), Muslim (no. 47), dan at-Tirmidzi (no. 2500), dari Shahabat Abu Hurairah -radhiyallaahu ‘anhu-]
Beliau -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- juga bersabda,
مَنْ صَمَتَ نَجَا
“Barangsiapa yang diam; maka ia akan selamat.” [Shahih: HR. Ahmad (II/159, 177), at-Tirmidzi (no. 2501), dan ad-Darimi (11/299), dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Amr -radhiyallaahu ‘anhumaa-. Lihat: “Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah” (no. 536) dan “Shahiih al-Jaami’ ash-Shaghiir” (no. 6367)]
Imam adh-Dhahhak bin Muzahim (wafat th. 102 H) -rahimahullaah- mengatakan: “Pintu pertama dari ilmu adalah diam, keduanya adalah mendengarkannya, ketiganya adalah mengamalkannya, dan keempatnya adalah menyebarkan dan mengajarkannya.”
Muhammad bin ‘Abdul Wahhab al-Kufi (wafat th. 212 H) -rahimahullaah- mengatakan: ”Diam itu mengumpulkan dua perkara bagi seseorang: selamat dalam agama dan pemahaman (yang benar) bagi pelakunya.”
Imam an-Nawawi (wafat th. 676 H) -rahimahullaah- menjelaskan tentang adab penuntut ilmu syar’i ketika menghadiri majelis ilmu: “(Seorang murid) tidak boleh mengangkat suara tanpa keperluan, tidak boleh tertawa, tidak boleh banyak berbicara tanpa kebutuhan, tanpa adanya keperluan yang sangat, bahkan ia harus menghadapkan wajahnya ke arah gurunya…” [“Al-Majmuu’ Syarhul Muhadzdzah” (hlm. 37 -cet. Daarul fikr(]
Terkadang ada kajian yang isinya hanya tertawa dikarenakan ustadznya ngocak. Majlis seperti ini tidak baik dan Majlis ini Majlis hiburan bukan Majlis ilmu, krn dengan banyak tertawa orang tidak mendapatkan ilmu yg bermanfaat, krn dari awal sampai akhir hanya ngajak orang tertawa, dan banyak tertawa akan membuat hati ini menjadi mati. Allahul Musta’aan...
Majlis ilmu adalah Majlis yang serius dan sungguh2, tenang, khusyu’ dan diam mendengarkan baik-baik. Bukan berarti tidak boleh tertawa, boleh kalau memang ada bahasan atau sesuatu yg lucu, tapi itu Hanya sekedarnya saja, tidak boleh berlebihan.
KIAT KEDELAPAN: BERUSAHA MEMAHAMI ILMU SYAR’I YANG DISAMPAIKAN
Dalam memahami pelajaran, manusia berbeda-beda keadaannya, ada yang langsung tanggap dan memahami pelajaran yang disampaikan, ada pula yang lambat. Namun, kita harus senantiasa berusaha memahami dan memohon kepada Allah agar diberikan pemahaman. Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah; maka Dia akan memberikan pemahaman agama kepadanya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Pemahaman itu penting, tonggak agama. Oleh karena itu kita harus ikhlas, diam, dan mendengarkan dengan baik dalam menuntut ilmu syar’i sehingga -dengan izin Allah- kita akan diberikan pemahaman tentang agama. Karena banyak di antara kaum Muslimin yang disampaikan tentang agama Islam ini; namun mereka tidak mengerti, maka bagaimana mereka dapat mengamalkan syari’at ini.
Di samping itu, kita juga harus berdo’a kepada Allah agar kita diberikan pemahaman tentang agama ini dengan pemahaman yang benar.
Di antara do’a Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- adalah:
اللَّهُمَّ انْفَعْنِيْ بِمَا عَلَّمْتَنِيْ، وَعَلِّمْنِيْ مَا يَنْفَعُنِيْ، وَزِدْنِيْ عِلْمًا
“Ya Allah, berikanlah manfaat kepadaku atas apa yang Engkau ajarkan kepadaku, dan ajarkanlah kepadaku apa yang bermanfaat bagiku, serta tambahkanlah ilmu kepadaku.” [Shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 3599) dan Ibnu Majah (no. 251, 3833), dari Shahabat Abu Hurairah -radhiyallaahu ‘anhu-]
Juga do’a beliau -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-:
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا.
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang halal, dan amalan yang diterima.” [Shahih: HR. Al-Humaidi (1/143 no. 299), Ahmad (VI/322), Ibnu Majah (no. 925), Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaumi wal Lailah (no. 110) dan an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaumi wal Lailah (no. 102), dari Ummu Salamah -radhiyallaahu ‘anhaa-]
Dan do’a yang lain:
اللَّهُمَّ فَقِّهْنِيْ فِي الدِّيْنِ
“Ya Allah, berikanlah pemahaman kepadaku dalam agama (Islam).”
[Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 143, “Fat-hul Baari” I/244) dan Muslim (no. 2477). Pada asalnya do’a ini adalah do’a Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-bagi Ibnu ‘Abbas -radhiyallaahu ‘anhumaa- dengan lafazh:
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Ya Allah, berikanlah pemahaman kepadanya dalam agama (Islam).” Ini lafazh al-Bukhari]
Ibnu Mas’ud -radhiyallaahu ‘anhu- berdo’a:
اللَّهُمَّ زِدْنَا إِيْمَانًا وَيَقِيْنًا وَفِقْهًا
”Ya Allah, tambahkanlah kepada kami keimanan, keyakinan, dan pemahaman (yang benar).”
Orang yang diberikan pemahaman yang dalam tentang agama, benar dalam berkata, dan berbuat menurut petunjuk Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; maka ia telah diberikan kebaikan yang banyak. Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:
{يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ}
“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah; sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS. Al-Baqarah: 269)
Tentang masalah pemahaman ini dijelaskan oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah-:
صِحَّةُ الْفَهْمِ وَحُسْنُ الْقَصْدِ مِنْ أَعْظَمِ نِعَمِ اللهِ الَّتِيْ أَنْعَمَ بِهَا عَلَى عَبْدِهِ، بَلْ مَا أُعْطِيَ عَبْدٌ عَطَاءً بَعْدَ الْإِسْلَامِ أَفْضَلُ وَلَا أَجَلُّ مِنْهُمَا، بَلْ هُمَا سَاقَا الْإِسْلَامِ، وَقِيَامُهُ عَلَيْهِمَا، وَبِهِمَا بَايَنَ الْعَبْدُ طَرِيْقَ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ -الَّذِيْنَ فَسَدَ قَصْدُهُمْ- وَطَرِيْقَ الضَّالِّيْنَ -الَّذِيْنَ فَسَدَتْ فُهُوْمُهُمْ-، وَيَصِيْرُ مِنْ الْمُنْعَمِ عَلَيْهِمْ -الَّذِيْنَ حَسُنَتْ أَفْهَامُهُمْ وَقُصُوْدُهُمْ-
“Benarnya pemahaman dan baiknya tujuan (ikhlas) merupakan sebesar-besar nikmat Allah paling agung yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Bahkan, tidaklah seorang hamba diberikan karunia -setelah Islam- yang lebih utama dan lebih mulia dibandingkan keduanya. Bahkan keduanya merupakan tonggak Islam dan Islam berdiri tegak di atas keduanya. Dengan keduanya hamba berbeda dari jalannya orang-orang yang dimurkai -yang rusak niat-niat mereka- dan dari jalannya orang-orang yang sesat -yang rusak pemahaman-pemahaman mereka-. Dan (dengan keduanya) hamba akan menjadi golongan orang-orang yang diberi nikmat -yang bagus pemahaman dan niat mereka-.”
الَّذِيْنَ أُمِرْنَا أَنْ نَسْأَلَ اللهَ أَنْ يَهْدِيَنَا صِرَاطَهُمْ فِيْ كُلِّ صَلَاةٍ، وَصِحَّةُ الْفَهْمِ نُوْرٌ يَقْذِفُهُ اللهُ فِيْ قَلْبِ الْعَبْدِ، يُمَيِّزُ بِهِ بَيْنَ الصَّحِيْحِ وَالْفَاسِدِ، وَالْحَقِّ وَالْبَاطِلِ، وَالْهُدَى وَالضَّلَالِ، وَالْغَيِّ وَالرَّشَادِ، وَيَمُدُّهُ حُسْنَ الْقَصْدِ، وَتَحَرِّي الْحَقَّ، وَتَقْوَى الرَّبِّ فِي السِّرِّ وَالْعَلَانِيَةِ، وَيَقْطَعُ مَادَّتَهُ اتِّبَاعُ الْهَوَى، وَإِيثَارُ الدُّنْيَا، وَطَلَبُ مَحْمَدَةِ الْخَلْقِ، وَتَرْكُ التَّقْوَى
Mereka adalah orang-orang yang kita diperintahkan oleh Allah agar kita meminta kepada Allah -pada setiap shalat- agar Allah menunjukki kita kepada jalan mereka. Benarnya pemahaman merupakan cahaya yang Allah berikan kepada hati hamba, dengannya hamba bisa membedakan antara yang benar dan yang rusak, antara yang haq dengan yang bathil, antara petunjuk dan kesesatan, dan antara jalan yang bengkok dengan jalan yang lurus. Dan (pemahaman yang baik) tersebut akan dibantu dengan tujuan yang baik, mencari kebenaran, bertakwa kepada Rabb di saat sendiri dan terang-terangan. Dan akan dirusak oleh: mengikuti hawa nafsu, mengutamakan dunia, mencari pujian manusia, dan meninggalkan ketakwaan.”
[“I’laamul Muwaqqi’iin” (II/164-165 -cet. I)]
KIAT KESEMBILAN: MENGHAFALKAN ILMU SYAR’I YANG DISAMPAIKAN
Dulu, ilmu itu dijaga di dalam hati; bukan pada tulisan. Dan Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menganjurkan untuk menghafal, beliau bersabda:
نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِيْ فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا، فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ
”Semoga Allah memberikan cahaya kepada wajah orang yang mendengar perkataanku, kemudian ia memahaminya, menghafalkannya, dan menyampaikannya. Banyak orang yang membawa fiqih kepada orang yang lebih faham daripadanya... .” [Shahih: HR At-Tirmidzi (no. 2658), dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiyallaahu ‘anhu-]
Terkadang ada orang yang hafal, kemudian dia sampaikan kepada yang lebih faham.
Dalam hadits tersebut Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- berdo’a kepada Allah agar Dia memberikan cahaya pada wajah orang-orang yang mendengar, memahami, menghafal, dan mengamalkan sabda beliau -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Maka, kita pun diperintahkan untuk menghafalkan pelajaran-pelajaran yang bersumber dari Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- yang shahih.
Abu Hurairah -radhiyallaahu ‘anhu- berkata: ”Tidak ada seorang pun dari Shahabat Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- yang lebih banyak menghafal hadits Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- daripada aku, selain ‘Abdullah bin ‘Amr. Sebab, dia menulis (hadits) sedangkan aku tidak menulisnya.” [Atsar shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 113). Lihat juga: “Siyar A’laamin Nubalaa’” (II/599)]
Para ulama Salaf sangat bersemangat dalam menghafalkan ilmu. Cukuplah para Shahabat menjadi contoh dalam hal ini. Mereka menghafalkan sekian banyak hadits yang mereka dengar langsung dari Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.
Begitupun para ulama setelah mereka yang menghafalkan beribu-ribu hadits dengan sanad-sanadnya sehingga nama mereka tetap harum sampai hari Kiamat.
‘Abdullah bin Imam Ahmad (wafat th. 290 H) -rahimahullaah- berkata: ”Abu Zur’ah ar-Razi mengatakan: “Ayahmu hafal satu juta hadits.” Dikatakan kepadanya: Bagaimana engkau mengetahuinya? Ia menjawab: “Aku bermudzakarah dengannya dan aku mengambil sekian banyak bab darinya.”
Abu Zur’ah ar-Razi (wafat th. 264 H) -rahimahullaah- berkata: ”Aku hafal 200 ribu hadits seperti orang menghafal surat al-Ikhlas, dan jika dengan mengingat keras aku bisa hafal 300 ribu hadits.”
KIAT KESEPULUH: MENGIKAT ILMU ATAU PELAJARAN DENGAN TULISAN
Ketika belajar, seorang penuntut ilmu harus mencatat pelajaran, poin-poin penting, fawaa-id (faedah dan manfaat) dari ayat, hadits dan perkataan para Shahabat dan ulama, atau berbagai dalil bagi suatu permasalahan yang dibawakan oleh syaikh atau gurunya. Tujuannya agar ilmu yang disampaikannya tidak hilang dan terus tertancap diingatannya setiap kali ia mengulangi pelajarannya. Karena daya tangkap atau kemampuan menghafal dan memahami pelajaran berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Selain itu, dengan mencatat pelajaran ia dapat memahami dan menghafalkannya.
Adanya catatan atau alat tulis serta buku tulis merupakan bekal seorang penuntut ilmu untuk memperoleh ilmu sebagaimana hal itu telah diisyaratkan oleh imam asy-Syafi’i -rahimahullaah-.
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-bersabda:
قَيِّدُوا الْعِلْمَ بِالْكِتَابِ
”Ikatlah ilmu dengan tulisan.” [Hasan: HR. Ibnu’Abdil Barr dalam Jaami’ Bayaanil ’Ilmi wa Fadhlih (1/306, no. 395), dari Shahabat Anas bin Malik -radhiyallaahu ‘anhu-. Lihat takhrij lengkapnya dalam kitab: “Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah” (no. 2026)]
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- yang memerintahkan kita untuk mencatat.
Dan dikatakan oleh Syaikh ‘Ali Al-Halabi -hafizhahullaah-: bahwa mencatat adalah di buku, bukan di HP. Beliau memiliki catatan yang beliau bawa kemana-mana, sampai terkumpul lima kardus.
Dulu, 35 tahun yang lalu saya dan Ustadz ‘Abdul Hakim Abdat selalu membawa catatan di Maktabah LIPIA. Dan sampai sekarang masih terus belajar.
Dan buku Ustadz ‘Abdul Hakim belum semua terbit, masih ribuan hadits yang belum diterbitkan.
Anas bin Malik -radhyallaahu ‘anhu- (wafat th. 92 H) -perawi hadits di atas- pernah berkata kepada anaknya:
يَا بَنِيَّ، قَيِّدُوا الْعِلْمَ بِالْكِتَابَةِ
”Wahai anak-anakku, ikatlah ilmu dengan tulisan.” [Atsar hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu ’Abdil Barr dalam Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/316, no. 410)]
Khalid bin Khidasy al-Baghdadi (wafat th. 223 H) -rahimahullaah- berkata: “Aku hendak berpisah dengan Malik bin Anas -rahimahullaah-, lalu kukatakan: Wahai Abu ‘Abdillah, berikanlah wasiat kepadaku. Beliau menjawab: “Hendaklah engkau bertaqwa kepada Allah dalam keadaan sembunyi maupun terang-terangan, menasihati setiap muslim, dan mencatat ilmu dari ahlinya.” [Atsar hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu ’Abdil Barr dalam Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/244-245, no. 275 dan I/322, no. 418)]
Seorang penuntut ilmu tidak boleh bakhil atau pelit untuk membeli buku tulis, ballpoint, kitab, dan berbagai sarana yang dapat membantunya untuk mendapatkan ilmu. Dalam memenuhi kebutuhannya itu dia tidak boleh bergantung kepada orang lain, tidak boleh minta-minta, dan tidak boleh merepotkan orang lain, bahkan ia harus bersikap zuhud dan qana’ah.
-ditulis dengan ringkas oleh: Ahmad Hendrix