Kamis, 19 Maret 2020

Kaidah-Kaidah Ringkas dalam Menggapai Jiwa yang Suci (Bagian 2)

*Kaidah-Kaidah Ringkas dalam Menggapai Jiwa yang Suci (Bagian 2)*

Artikel PanduanMuslim.com

Bismillahirrahmanirrahiim Washshalatu Wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.

Setelah pada bagian sebelumnya telah dibahas lima kaidah ringkas dalam meggapai jiwa yang suci, maka kita akan masuk ke kaidah berikutnya.

Kaidah 6: Mengingat Kematian

Kaidah berikutnya untuk menyucikan jiwa adalah mengingat kematian dan mengingat pertemuan dengan Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman:

يـٰأَيُّهَا الَّذينَ ءامَنُوا اتَّقُوا اللَّـهَ وَلتَنظُر نَفسٌ ما قَدَّمَت لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّـهَ ۚ إِنَّ اللَّـهَ خَبيرٌ بِما تَعمَلونَ

“Wahai orang-orang yang bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)..” [QS. Al-Hasyr: 18]

Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda:

“Perbanyaklah mengingat sesuatu yang dapat menghilangkan kelezatan, yaitu kematian” [HR. Ibnu Majah nomor 4258 dan di hasankan oleh Syaikh Al-Albani]

Kematian merupakan pemisah antara negeri dunia dan negeri akhirat, juga pemisah antara waktu beramal dan waktu pembalasan amal. Juga merupakan pembeda yang membedakan antara menyiapkan perbekalan dengan menjumpai balasannya. Setelah kematian, tidak ada lagi kesempatan untuk bertaubat dan memohon ampun dari kesalahan. Hal ini sebagaimana firman Allah ﷻ,

وَلَيسَتِ التَّوبَةُ لِلَّذينَ يَعمَلونَ السَّيِّـٔاتِ حَتّىٰ إِذا حَضَرَ أَحَدَهُمُ المَوتُ قالَ إِنّى تُبتُ الـٔـٰنَ

“Dan taubat itu tidaklah (diterima Allah) dari mereka yang melakukan kejahatan hingga apabila dating ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) dia mengatakan, ‘Saya benar-benar bertaubat sekarang.’” [QS. An-Nisa: 18]

Maka betapa banyak orang yang keluar dari rumahnya mengendarai kendaraannya, kemudian dia kembali terbungkus kain kafan. Betapa banyak orang yang berkata kepada keluarganya, ‘Siapkan makanan untukku,’ lalu dia meninggal dan belum sempat memakannya. Dan betapa banyak manusia yang memakai pakaian, mengancing bajunya, kemudian yang membuka kancing bajunya adalah orang yang memandikannya.

Maka dalam mengingat kematian terdapat manfaat yang besar. Dengan mengingat kematian hati yang lalai jadi tersadar, hati yang mati jadi hidup, dan membuat hamba kembali mau memperbaiki peribadatannya kepada Allah, serta hilanglah sikap lalai dan berpaling dari ketaatan kepada Allah ﷻ.

Kaidah 7: Memilih Teman Bergaul

Kaidah berikutnya dalam rangka membersihkan jiwa ialah memperhatikan dengan siapa berkawan. Allah ﷻ berfirman:

وَاصبِر نَفسَكَ مَعَ الَّذينَ يَدعونَ رَبَّهُم بِالغَدوٰةِ وَالعَشِىِّ يُريدونَ وَجهَهُ ۖ وَلا تَعدُ عَيناكَ عَنهُم تُريدُ زينَةَ الحَيوٰةِ الدُّنيا ۖ وَلا تُطِع مَن أَغفَلنا قَلبَهُ عَن ذِكرِنا وَاتَّبَعَ هَوىٰهُ وَكانَ أَمرُهُ فُرُطًا

“Dan bersabarlah engkau Bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan sore hari dengan mengharapkan keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kedihupan dunia; dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti keinginannya dan keadaannya sudah melewati batas.” [QS. Al-Kahfi: 28]

Berkata Syaikh As-Sa’di ketika menjelaskan ayat ini,

“Dalam ayat ini terkandung perintah untuk bergaul dengan orang-orang terbaik (pilihan), bersungguh-sungguh untuk berteman dan bersama dengan mereka, meskipun mereka miskin. Karena sesungguhnya, terdapat faidah yang tidak terhitung dalam pergaulan dengan mereka.” [Taisiir Karimir-Rahman, hlm. 547]

Kemudian Rasulullah ﷺ juga bersabda mengenai pentingnya teman,

“Seseorang itu sesuai dengan agama sahabatnya. Oleh karena itu, perhatikanlah siapa yang menjadi sahabat kalian.” [HR. Abu Daud, no. 4833, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 2/634]

Abu Sulaiman Al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dari, ‘Seseorang itu sesuai dengan agama sahabatnya,’ adalah janganlah engkau bergaul kecuali dengan orang yang bagus agamanya dan memiliki sifat amanah. Karena jika engkau bergau dengannya, engkau akan meneladaninya dalam agama dan pemikirannya (pendapatnya). Janganlah engkau tertipu dengan agamamu dan janganlah engkau mempertaruhkan dirimu, sehingga engkau bergaul dengan orang yang tidak memperhatikan dengan agama dan rusaknya pemikirannya.” [Al-Uzlah, hal.56]

Oleh karena itu memilih teman dekat menjadi sangat penting dalam rangka menyucikan jiwa dan manusia dinilai dari siapa sahabat dekatnya, dan tidaklah sesorang berteman kecuali dengan orang yang sejenis dengan dirinya.

Kaidah 8: Menjauhi Ujub

Kaidah berikutnya dalam menyucikan jiwa ialah menjauhi ujub yaitu sifat membanggakan diri. Allah ﷻ berfirman:

الَّذينَ يَجتَنِبونَ كَبـٰئِرَ الإِثمِ وَالفَوٰحِشَ إِلَّا اللَّمَمَ ۚ إِنَّ رَبَّكَ وٰسِعُ المَغفِرَةِ ۚ هُوَ أَعلَمُ بِكُم إِذ أَنشَأَكُم مِنَ الأَرضِ وَإِذ أَنتُم أَجِنَّةٌ فى بُطونِ أُمَّهـٰتِكُم ۖ فَلا تُزَكّوا أَنفُسَكُم ۖ هُوَ أَعلَمُ بِمَنِ اتَّقىٰ

“…Maka janganlah kalian mensucikan diri-diri kalian, Dia (Allah) lebih mengetahui siapa yang lebih bertakwa.” [QS. An-Najm: 32]

Allah ﷻ melarang dari mensucikan diri, melarang dari membanggakan diri, karena ketakwaan terletak di dalam hati, dan Allah ﷻ adalah Dzat yang paling mengetahui keadaan takwa dari hamba. Dan membanggakan diri ini dapat menjerumuskan seseorang kedalam riya’ yang dapat membatalkan amal.

Maka seorang mukmin hendaknya menjauhi sifat tersebut dan berdoa sebagaimana doa Abu Bakar radiyallahu ’anhu,

“Ya Allah, sesungguhnya aku banyak berbuat zhalim kepada diri sendiri, dan tidak ada pengampunan dosa kecuali dari dirimu, maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu, dan sayangilah aku sesungguhnya Engkau adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Kaidah 9: Mengenal Nafs

Kaidah berikutnya dari kaidah-kaidah menyucikan jiwa ialah mengenal nafs (jiwa). Bahwa di antara keharusan dalam menyucikan jiwa adalah mengetahui hakikat jiwa, mengetahui sifat-sifatnya, sehingga mudah untuk melindungi, menjaga, dan mengobatinya dari penyakit yang masuk ke dalamnya. Allah ﷻ telah menjelaskan jiwa manusia dalam Al-Qur’an dengan tiga sifat yang telah umum diketahui. Sifat-sifat ini kembali kepada keadaan jiwa. Ketiga sifat itu adalah:

An-Nafs Al-Muthmainnah, yaitu jiwa yang senantiasa dalam keimanan, mengingat Allah dan beribadah. Allah ﷻ berfirman,

الَّذينَ ءامَنوا وَتَطمَئِنُّ قُلوبُهُم بِذِكرِ اللَّـهِ ۗ أَلا بِذِكرِ اللَّـهِ تَطمَئِنُّ القُلوبُ

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” [QS Ar-Ra’d: 28]

Kemudian yang kedua adalah An-Nafs Al-Lawwaamah, yaitu jiwa yang mencela pemiliknya karena melakukan dosa dan meremehkan kewajiban atau ketaatan Allah ﷻ berfirman,

وَلا أُقسِمُ بِالنَّفسِ اللَّوّامَةِ

“Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” [QS. Al-Qiyamah: 2]

Dan yang terakhir adalah An-Nafs Al-Ammaraah bis-Suu’, yaitu jiwa yang mendorong pemiliknya untuk mengerjakan keharaman dan melaksanakan dosa dan mendorongnya untuk melakukan hal-hal buruk dan hina. Sebagaimana Allh ﷻ berfirman,

وَما أُبَرِّئُ نَفسى ۚ إِنَّ النَّفسَ لَأَمّارَةٌ بِالسّوءِ إِلّا ما رَحِمَ رَبّى ۚ إِنَّ رَبّى غَفورٌ رَحيمٌ

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. Yusuf: 53]

Ketiga jenis jiwa ini ada pada kondisi-kondisi yang berkaitan dengan jiwa. Dan oleh sebab itu, kondisi-kondisi ini bisa berubah-ubah sesuai dengan apa yang dialami oleh jiwa manusia. Bisa jadi terkadang pada kondisi tiga, atau bahkan ketiganya dalam manusia pada saat yang sama sesuai dengan kondisinya. Permisalan dari jiwa manusia ini seperti anak kuda yang membutuhkan latihan dan kesabaran dalam melatihnya. Dan latihan yang diberikan pun perlu didasari ilmu terhadap perkara-perkara yang dapat memperbaiki dan menyucikan jiwa manusia. Dan jiwa senantiasa butuh bekal dan pengobatan yang diusahakan pemiliknya. Jika sang pemilik tidak bersungguh-sungguh memperbaiki jiwanya dengan metode yang sejalan dengan agama dan bersabar dalam menempuhnya, niscaya jiwa itu akan lepas kendali dan menyebabkan pemiliknya merugi.

Kaidah 10: Senantiasa Berdoa Meminta Jiwa yang Suci

Kaidah terakhir dalam kaidah-kaidah menyucikan jiwa ialah senantiasa berdoa meminta jiwa yang suci. Berdoa adalah di antara ibadah yang paling mulia sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ,

“Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah dari Doa.” [HR. Tirmidzi di al-Jaami’, no. 3370]

Jiwa yang suci bukan hanya perlu usaha kita dalam memperolehnya namun juga membutuhkan rahmat Allah, karena jiwa adalah rizki dan pemberian dari Allah ﷻ. Allah-lah yang memberikannya kepada hamba-hamba yang Ia kehendaki. Allah ﷻ berfirman,

أَلَم تَرَ إِلَى الَّذينَ يُزَكّونَ أَنفُسَهُم ۚ بَلِ اللَّـهُ يُزَكّى مَن يَشاءُ وَلا يُظلَمونَ فَتيلًا

“Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya suci? Sebenarnya Allah menyucikan siapa yang Dia kehendaki dan mereka tidak dizhalimi sedikit pun.” [QS. An-Nisa’: 49]

Dan pada ayat lain,

وَلَولا فَضلُ اللَّـهِ عَلَيكُم وَرَحمَتُهُ ما زَكىٰ مِنكُم مِن أَحَدٍ أَبَدًا وَلـٰكِنَّ اللَّـهَ يُزَكّى مَن يَشاءُ ۗ وَاللَّـهُ سَميعٌ عَليمٌ

“…Kalaulah bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu yang suci (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS. An-Nur: 21]

Maka apabila seseorang ingin bersih hatinya dan diberikan ketakwaan oleh Allah ﷻ, maka berdoalah dan memohon kepada Allah agar Allah membersihkan hatinya. Dan sebaik-baik doa untuk hati adalah doa yang diajarkan dan dicontohkan serta dipanjatkan oleh Rasulullah ﷺ,

اللهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا

“Ya Allah, berikanlah diriku jiwa yang bertakwa, dan sucikanlah ia, karena Engkau adalah sebaik-baik Dzat yang menyucikannya, Engkaulah yang menguasai dan menjaganya.” [HR. Muslim, no. 2722]

Dan doa Nabi ﷺ lainnya,

يَا مُقَلِّبَ القُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu.”

Demikian kaidah-kaidah ringkas terkait penyucian jiwa semoga pembaca dan penulis Allah mudahkan untuk mengamalkannya dan Allah berikan hati-hati yang suci, yang senantiasa mendekatkan dan mengajak kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Wa shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Disadur dari kitab ‘Asyru Qawa’id Fii Tazkiyatin Nafs karya Syaikh Dr. Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al Badr dan kitab Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam Tazkiyatun Nufus karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas.

Penulis: Nuha Adinata
Mahasiswa STEI ITB

Muraja’ah: Ustadz Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

https://panduanmuslim.com/kaidah-kaidah-ringkas-dalam-menggapai-jiwa-yang-suci-bagian-2-456/