SIKAP KERAS TERHADAP FATWA KELIRU YANG MENGANCAM NYAWA MANUSIA
Oleh : Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
***
Semua ijtihad dan fatwa yang sifatnya zhonni hukum asalnya harus dihormati selama mu’tabar. Perbedaan pendapat yang ada dihargai dan tidak perlu dijadikan pangkal permusuhan apalagi penentu mana yang ahlussunnah dan ahlul bid’ah. Hanya saja, jika fatwa tersebut sudah mulai mengancam dan mengorbankan nyawa manusia, urusannya bisa berbeda. Sunnah Nabi ﷺ menunjukkan bahwa beliau bersikap keras terhadap fatwa yang mengancam dan mengorbankan nyawa manusia. Abu Dawud meriwayatkan,
عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ، أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ قَالَ: أَصَابَ رَجُلًا جُرْحٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ احْتَلَمَ فَأُمِرَ بِالِاغْتِسَالِ فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ، فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ اللَّهُ أَلَمْ يَكُنْ شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالَ» سنن أبي داود (1/ 93)
Artinya,
“Dari ‘Atha` bin Abi Rabah bahwasanya dia mendengar Ibnu Abbas berkata:
Ada seseorang terluka pada masa Rasulullah ﷺ, kemudian dia bermimpi basah, lalu dia diperintahkan untuk mandi, maka dia mandi dan meninggal. Kejadian ini kemudian sampai kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau bersabda: “Mereka telah membunuhnya semoga Allah membunuh mereka! Bukankah obat dari kebodohan adalah bertanya!” (H.R.Abu Dawud)
Al-Albani menghasankan riwayat ini. Ibnu Hibban mensahihkannya. Demikian pula Ibnu Khuzaimah, Ibnu As-Sakan, dan Al-Hakim yang disetujui Adz-Dzahabi.
Dalam hadis di atas, sejumlah shahabat memberi fatwa untuk mandi kepada seorang shahabat yang sedang junub padahal di kepalanya ada luka parah. Akibatnya Shahabat ini wafat. Karena itulah Rasulullah ﷺ sangat marah. Perhatikan bagaimana marahnya Rasulullah ﷺ mengetahui fatwa seperti itu. Beliau bersabda dengan nada keras,
قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ اللَّهُ
Artinya,
“Mereka telah membunuhnya semoga Allah membunuh mereka!”
Lihatlah bagaimana Rasulullah ﷺ mensifati para pemberi fatwa dengan menisbahkan mereka pada pembunuhan! Lihat juga bagaimana doa buruk beliau kepada mereka, yakni didoakan kebinasaan! Jika doa kebinasaan ini tidak difahami secara harfiah, maka minimal itu menunjukkan pengingkaran luar biasa dan bentuk zajr (bentakan melarang) yang sangat keras. Ibnu Al-Atsir menjelaskan makna ucapan Rasulullah ﷺ yang keras itu sebagai berikut,
يقال: قتله الله، وقاتله الله: إذا دعا عليه بالقتل والهلاك. (جامع الأصول (7/ 263)
Artinya,
“Ungkapan ‘Qotalahullah’ dan ‘Qootalahumullah’ adalah mendoakan buruk terhadapnya dengan pembunuhan dan kebinasaan” (Jami’ Al-Ushul, juz 7 hlm 263)
Padahal, jika direnungi, para sahahabt yang berfatwa itu tentu saja berniat baik. Mereka mengharap Shahabat yang terluka itu tetap dalam ketakwaan, tidak melanggar perintah Allah untuk bersuci dengan air, mempertahankan sikap warak, dan selalu meniti jalan kesalihan dalam kondisi apapun. Tidak ada sedikitpun niat buruk para shahabat untuk membunuh sahabat terluka tersebut. Akan tetapi ternyata kondisi seperti ini tidak menyelamatkan mereka untuk mendapatkan teguran keras dari Rasulullah ﷺ. Jadi, niat baik saja ternyata tidak cukup. Disamping niat baik, orang benar-benar butuh ilmu untuk berfatwa. Apalagi fatwa yang sifatnya mengancam dan mengorbankan nyawa manusia. Fatwa yang salah karena mengancam dan mengorbankan nyawa manusia bisa membinasakan pemberi fatwa sekaligus membinasakan yang diberi fatwa.
Usamah bin Zaid juga pernah ditegur keras oleh Rasulullah ﷺ karena keliru menghukumi sesuatu yang mengantarkan pada jatuhnya korban jiwa. Padahal kita tahu Usamah adalah salah seorang Shahabat yang sangat dicintai oleh Rasulullah ﷺ. Waktu itu Usamah berjihad bersama sejumlah Shahabat. Mereka menang dan musuhpun kocar-kacir. Di antara mereka ada satu musuh yang lari untuk menyelamatkan dirinya. Usamah dan seorang Shahabat Anshor mengejarnya. Pengejaran itu berhasil. Lelaki itu tertangkap. Ketika Shahabat Anshor itu hendak membunuhnya, lelaki itu mengucapkan “lailahaillalah”. Mendengar kalimat itu, Shahabat Anshor menahan diri untuk membunuhnya, tetapi Usamah tetap membunuhnya dengan tombak karena menilai ucapan kalimat tauhid itu dilontarkan hanya untuk menyelamatkan diri. Ketika peristiwa ini dilaporkan kepada Rasulullah ﷺ maka beliau memanggil Usamah dan menegur dengan keras, sampai-sampai Usamah beranda-andai beliau belum masuk Islam saja waktu itu sehingga tidak sampai dicela Rasulullah ﷺ dengan taraf seperti itu.
Dalam kasus yang lain, Rasulullah ﷺ bahkan pernah sampai berdoa -dengan suara yang didengar Shahabat- dengan doa untuk berlepas diri dari perbuatan Kholid yang keliru menghukumi fakta sampai membuat terbunuhnya orang-orang yang baru masuk Islam. Rasulullah ﷺ berdoa dengan mengangkat tangan,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ خَالِدٌ (صحيح البخاري (5/ 161)
Artinya,
“Ya Allah aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang diperbuat Kholid”
Jadi, dalil-dalil ini menunjukkan bahwa kita tidak boleh main-main dengan nyawa manusia. Fatwa yang muncul dan terkait nyawa harus dikeluarkan oleh orang yang benar-benar berilmu. Siapapun yang merasa tidak mumpuni dalam berfatwa sudah semestinya menahan diri untuk berbicara.
Abu Ishaq Al-Isfaroyini, salah satu ulama bermazhab Asy-Syafi’i bahkan memfatwakan, ahli fatwa manapun yang berani membuat fatwa sampai membinasakan orang/sesuatu, sementara itu jelas bertentangan dengan sesuatu yang pasti, maka dia wajib mengganti rugi! Artinya, kalau orang berani berfatwa sampai menimbulkan kematian satu orang, maka dia wajib mengganti dendanya senilai 100 ekor unta! Bayangkan jika dia menjadi sebab terbunuhnya puluhan, ratusan apalagi ribuan orang?! Ibnu Ash-Sholah menukil fatwa Abu Ishaq Al-Isfaroyini itu sebagai berikut,
إِذا عمل المستفتي بفتوى الْمُفْتِي فِي إِتْلَاف ثمَّ بَان خطأه وَإنَّهُ خَالف فِيهَا الْقَاطِع فَعَن الْأُسْتَاذ أبي إِسْحَاق الإسفرائيني أَنه يضمن إِن كَانَ أَهلا للْفَتْوَى وَلَا يضمن إِن لم يكن أَهلا لِأَن المستفتي قصر (فتاوى ابن الصلاح (1/ 46)
Artinya,
“Jika orang yang meminta fatwa mengamalkan fatwa seorang mufti untuk membinasakan (sesuatu/orang) kemudian menjadi jelas kesalahan fatwa tersebut dan bahwasanya fatwa itu bertentangan dengan hal yang pasti, maka pendapat Al Ustaz Abu Ishaq Al Isfaroyini mufti tersebut harus menjamin (membayar ganti rugi) jika mufti itu memang layak berfatwa. Tetapi mufti itu tidak perlu menjamin jika dia tidak layak berfatwa karena yang meminta fatwa sendiri yang salah- yakni keliru meminta fatwa pada orang yang tidak kompeten-” (Fatawa Ibn Ash-Sholah, juz 1 hlm 46)
Oleh karena itu, berdasarkan ulasan ini, sudah sepantasnya para tokoh agama yang punya massa bersikap hati-hati sekali dalam mengeluarkan pernyataan terkait wabah virus corona ini. Fatwa yang paling berbahaya hari ini adalah fatwa yang endingnya mengajak kumpul-kumpul. Apapun bentuk perkumpulan itu dan dengan niat apapun ia diselenggarakan. Tidak peduli apakah untuk melaksanakan sesuatu yang wajib, sunah, mubah, apalagi makruh dan haram. Semuanya berpotensi mengancam dan mengorbankan nyawa manusia.
Hari-hari ini, pernyataan-pernyataan yang muncul yang sifatnya melawan seruan untuk tidak kumpul-kumpul pada intinya disebabkan dua macam sumber penyakit,
Pertama: Salah paham terhadap konsepsi iman, tawakal, dan tauhid
Kedua: Tidak memahami fakta dan bahaya virus Corona
Untuk mengobati masalah pertama, tentu orang harus mendapatkan ilmu yang benar terkait makna iman, tawakal, tauhid, syirik dan hakikat takut kepada Allah. Sebagai permulaan Anda bisa membaca artikel saya yang berjudul “Salahkah Takut dengan Virus Corona?”.
Untuk mengobati penyakit kedua, maka diperlukan sikap rendah hati untuk belajar seperti apa bahaya dan dampak virus corona. Belajar topik ini harus dari pakarnya. Ingat, ambil ilmu dari pakarnya, yakni para dokter terutama pakar virologi, bukan tokoh agama komunitas Anda. Apalagi menganalisis sendiri dan menghayal-hayal sesuka hati tanpa ilmu dan tanpa data.
Dua penyakit itu bisa menjangkiti tokoh agama maupun awamnya. Semoga Allah merahmati mereka yang mau rendah hati dan mengetahui kadar dirinya.
اللهم إنا نعوذ بك من سيئ الأسقام
Versi Situs: https://irtaqi.net/2020/03/21/sikap-keras-terhadap-fatwa-keliru-yang-mengancam-nyawa-manusia/
***
26 Rajab 1441 H