Rabu, 18 Maret 2020

PENYAKIT MENULAR DAN KAITANNYA DENGAN ILMU MUKHTALIFUL HADITS

PENYAKIT MENULAR DAN KAITANNYA DENGAN ILMU MUKHTALIFUL HADITS

Al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab ilmu haditsnya yang berjudul "Nuzhah an-Nadhor" membahas salah satu cabang dalam ilmu hadits terkait pembagian hadits dari sisi diamalkan dan tidak diamalkan, beliau berkata dalam matan yang disyarah dalam kitabnya diatas, yang juga beliau tulis sendiri yaitu "Nukhbah al-Fikar" :
ثم المقبول: إِنْ سَلِمَ مِنَ المعارضة فهو المُحْكَمَ، وإنْ عُورض بِمثْلِهِ: فإنْ أمْكَنَ الْجَمْعُ فمُخْتَلِفُ الْحَدِيث.
"Lalu al-Maqbul : yaitu jika selamat dari pertentangan maka ini disebut al-Muhkam, namun jika ditentang oleh hadits yang semisalnya, maka jika memungkinkan dikompromikan, maka ini adalah Mukhatlif al-Hadits."

Kemudian beliau rahimahullah mencontohkan hadits yang zhahirnya seolah-olah bertentangan yang ini juga adalah studi kasus yang diangkat oleh al-Imam Ibnu Sholah dalam membahas cabang ilmu diatas juga. Yaitu hadits :

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ....
"Tidak ada penyakit menular, tidak ada thiyarah...". (Muttafaqun alaih).

Dan lanjutan redaksi hadits dalam Shahih Bukhari :

وَفِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الْأَسَدِ
"Larilah dari wabah kusta, sebagaimana engkau lari dari Singa."

Pertama Al Hafizh menyebutkan sisi kompromi yang dikatakan oleh al-Imam Ibnu Sholah rahimahullah yang kemudian ramai diikuti oleh ulama setelahnya yaitu : bahwa penyakit-penyakit ini tidaklah menular dengan dirinya sendiri, namun Allah Ta'aalaa-lah yang menjadikan bercampurnya orang yang sakit dengan yang sehat sebagai sebab penularan penyakitnya."

Al Hafizh Ibnu Hajar menambahkan dalam kitabnya diatas bahwa penafian penularan adalah tetap pada keumumannya, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

لَا يُعْدِي شَيْءٌ شَيْئًا
"Tidak ada yang sakit yang bisa menularkan kepada yang lainnya." (HR. Ahmad, dishahihkan Syu'aib Arnauth).

Lalu orang Badui pun menyanggah beliau, lantas bagaimana bisa Unta yang tadinya sehat, setelah bercampur dengan Unta yang berkudis, maka Unta tersebut pun tertular penyakit kudisnya. Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadanya :

فَمَنْ أَجْرَبَ الْأَوَّلَ ؟
"Maka siapakah yang menurunkan kudis pada Unta yang pertama?".

Maksudnya adalah Allah Ta'aalaa-lah yang memberikan sakit kudis kepada Unta yang pertama, demikian juga kepada Unta yang kedua, sebagaimana Allah Ta'aalaa memberikannya pada yang pertama, demikian syarah Al Hafizh untuk hadits ini.

Adapun terkait perintah Beliau agar lari dari orang yang kena kusta, maka ini adalah dalam rangka Sadd adz-Dzarai' (tindakan pencegahan), agar tidak ada keyakinan bahwa jika ada orang yang sehat bercampur dengan yang sakit, lantas ia ketularan, maka keyakinannya berubah bahwa penyakit itulah sendiri yang menularinya, seharusnya ia tetap pada keyakinan semula bahwa penularan itu adalah atas takdir Allah Ta'aalaa. Demikian keterangan Al Hafizh yang menurut beliau pendapat ini lah yang lebih rajih.

Sekilas apa yang disampaikan oleh Imam Ibnu Sholah dengan Al Hafizh Ibnu Hajar adalah sama, namun kalau kita amati lebih jauh terdapat perbedaan yang significant yakni Imam Ibnu Sholah menganggap percampuran ini adalah sebab penularannya, sebagaimana menanggapi realita yang terjadi ketika terjadi pencampuran antara yang berpenyakit menular dengan yang sehat. Sedangkan Al Hafizh secara mutlak mengembalikan sebab yang sehat tertular adalah kepada Allah, atau bisa dikatakan ini sebagai sabab ibtida`i, karena sharihnya hadits terkait Unta yang tertular dimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun mengembalikan yang menurunkan penyakit kudis kepada Unta yang pertama itu jugalah yang menurunkan kepada Unta yang kedua, karena diawal sabdanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda : "Tidak ada yang sakit yang bisa menularkan kepada yang lainnya", beliau sampai mengulangi sebanyak tiga kali yang berarti menafikan penularan sama sekali secara umum.

Sekaligus hadits ini juga mengajarkan kepada kita untuk senantiasa bertawakal kepada Allah bahwa Dia lah yang Maha Berkuasa, apa yang diberikan kepada kita itulah yang terbaik, sebagai sikap Khusnuzhon kita kepada Rabbunaa Azza wa Jalla.
Wallahu Ta'aalaa A'lam.

Abu Sa'id Neno Triyono