Kamis, 19 Maret 2020

Kaidah-Kaidah Ringkas dalam Menggapai Jiwa yang Suci (Bagian 1)

*Kaidah-Kaidah Ringkas dalam Menggapai Jiwa yang Suci (Bagian 1)*

Artikel PanduanMuslim.com

Bismillahirrahmanirrahiim Washshalatu Wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam

Allah ﷻ berfirman dalam al-Qur’an:

قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا، وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا

“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotori jiwanya.” [QS. Asy-Syams: 9-10]

Kemudian Allah ﷻ berfirman,

قَد أَفلَحَ مَن تَزَكّىٰ * وَذَكَرَ اسمَ رَبِّهِ فَصَلّىٰ

“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan mengingat nama Rabb-nya, kemudian ia shalat.” [QS. Al-A’la: 14-15]

Allah mengabarkan dalam ayat-ayat tersebut tentang pentingnya Pensucian Jiwa atau Tazkiyatun Nufus, Makna asal dari “az-zakaat” yaitu bertambahnya kebaikan dan yang dimaksud pada ayat-ayat tersebut adalah siapa saja yang berusaha untuk menyucikan, memperbaiki, dan mengisi jiwa dengan memperbanyak amalan-amalan ketaatan dan kebaikan, serta menjauhi segala keburukan, maka pastilah dia akan beruntung. dan Allah akan berikan keberuntungan baik di dunia maupun di akhirat bagi orang-orang yang jiwanya lurus atau suci. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ‏، يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ‏، إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

“…Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” [QS. Asy-Syu’ara: 87-89]

Dan Allah juga akan bertanya kepada hati pada hari Kiamat. Hati akan ditanya tentang apa yang terlintas, apa yang difikirkan, dan apa yang diyakininya sebagaimana dalam firman Allah:

وَلا تَقفُ ما لَيسَ لَكَ بِهِ عِلمٌ ۚ إِنَّ السَّمعَ وَالبَصَرَ وَالفُؤادَ كُلُّ أُولـٰئِكَ كانَ عَنهُ مَسـٔولًا

“Dan jangan lah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan Hati Nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” [QS. Al-Israa: 36]

Hati yang suci yang hanya mengharapkan wajah Allah adalah perkara yang agung dan menentukan amal-amal lainnya sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda,

“… Ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Apabila ia baik, maka baik pula seluruh tubuhnya. Dan apabila ia buruk, maka buruk pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah segumpal daging itu adalah hati.” [HR. Al-Bukhari (no.52) dan Muslim (no.1599) dari Shahabat An-Nu’man bin Basyir]

Amalan hati adalah pokoknya amal. Tidak mungkin ayat yang sangat banyak menjelaskan tentang pentingnya hati yang bersih, serta hadist-hadist nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang banyak menjelaskan tentang perkara hati, membuat permasalahan ini tidak penting. Oleh karena itu menaruh perhatian besar dalam pembahasan perkara hati ini menjadi hal yang sangat penting, dan senantiasa perlu diulang terus-menerus, dikaji dan disampaikan sebagai pengingat diri sendiri maupun kaum muslimin. Sebab terkadang seseorang tidak mengetahui bahwa dirinya terjangkiti penyakit hati. Dan penyakit hati ini menjangkiti hampir semua orang, baik itu awam maupun penuntut ilmu, atau bahkan ustad, da’i, maupun kiyai dan lainnya. Seseorang tidak menyadari bahwa di dalam hatinya terjangkiti penyakit hati, baik itu riya’ (ingin dilihat), iri, dengki, ujub (berbangga diri), sum’ah (ingin didengar), dan lain sebagainya.

Imam ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Menyucikan jiwa lebih berat dan lebih sulit daripada mengobati luka badan. Barangsiapa menyucikan dirinya dengan latihan spiritual, berjuang, dan menyepi yang tidak dicontohkan oleh para Rasul, maka kondisinya seperti orang sakit yang mengobati dirinya dengan akalnya (yang tidak memiliki ilmu atasnya). Bagaimana akan sembuh kalua dia tidak bertanya pada dokter-dokter hati. Oleh karena itu, tidak ada jalan untuk membersihkan hati, menyucikan jiwa, dan memperbaikinya kecuali dengan jalan dan cara yang ditempuh dan diajarkan pula oleh para Rasul, dengan taat, tunduk, taslim (berserah diri), kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.” [Madaarijus Saalikin (II/328)]

Setelah memahami pentingnya pensucian jiwa, akan dipaparkan 10 kaidah untuk dapat mensucikan jiwa.

Kaidah 1: Tauhid sebagai Dasar dari Pensucian Jiwa

Sesungguhnya tauhid adalah perkara yang agung, dan tidaklah diciptakan manusia kecuali untuk beribadah kepada Allah. Tauhid juga adalah apa yang didakwahkan oleh para nabi dan rasul. Dan tauhid adalah awal dari apa yang diwajibkan atas manusia untuk masuk ke dalam agama Islam dan yang awal diperintahkan dalam peribadatan kepada Allah. Dan Allah menjanjikan kepada orang-orang yang tidak mensucikan dirinya dengan tauhid dan iman dengan azab yang pedih. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَوَيْلٌ لِّلْمُشْرِكِينَ…

“… Dan kecelakaan bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya.” [QS. Fushshilat: 6]

Berkata Ibnu Taimiyah dalam menafsirkan ayat di atas:

“Tauhid dan imanlah yang membersihkan hati, karena sesungguhnya tauhid dan iman melazimkan peniadaan peribadatan kepada selain Allah dari hati, dan menetapkan peribadatan yang benar di dalam hati dan dia merupakan asal dari pensucian jiwa.”

Maka tidak ada pensucian jiwa kecuali dengan tauhid yang benar dan menetapkan Allah sebagai satu-satunya sesembahan dan ikhlas beramal karenanya. Dan tidak ada pensucian jiwa kecuali dengan pembersihan ibadah dari kesyirikan dengan segala jenisnya.

Kaidah 2: Al-Qur’an sebagai Sumber Pensucian Jiwa

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَقَد مَنَّ اللَّـهُ عَلَى المُؤمِنينَ إِذ بَعَثَ فيهِم رَسولًا مِن أَنفُسِهِم يَتلوا عَلَيهِم ءايـٰتِهِ وَيُزَكّيهِم وَيُعَلِّمُهُمُ الكِتـٰبَ وَالحِكمَةَ وَإِن كانوا مِن قَبلُ لَفى ضَلـٰلٍ مُبينٍ

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” [QS. Ali Imran: 164]

Maka sesuatu yang paling agung dalam mensucikan diri adalah dengan al-Qur’an, yaitu dengan membacanya secara benar, dan menghafalnya, dan juga memahaminya, mentadabburinya serta mengamalkannya.

Dan jika Allah memuliakan hambanya dengan tilawah Qur’an, tadabbur maknanya serta kemampuan untuk mengamalkannya maka Allah jadikan kesucian bagi jiwanya.

Kaidah 3: Mencari Teladan

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَقَد كانَ لَكُم فى رَسولِ اللَّـهِ أُسوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَن كانَ يَرجُوا اللَّـهَ وَاليَومَ الـٔاخِرَ وَذَكَرَ اللَّـهَ كَثيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah ﷺ tauladan yang baik, bagi siapa saja yang mengharapkan Allah dan Hari akhir, serta mengingat Allah.” [QS. Al-Ahzaab: 21]

Maka mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bukti benarnya kecintaan seseorang kepada Allah ﷻ. Karena mengikuti dan meneladani Nabi baik dalam lisan, perbuatan dan keadaan beliau serta menempuh jalan beragama yang urus adalah penyucin jiwa itu sendiri. Dan tidak mungkin seseorang dapat mencapai kesucian jiwa tanpa mengikuti ajaran Nabi ﷺ.

Bentuk yang tidak diajarkan setiap masa berubah bentuk dan berinovasi, dan melahirkan kemungkaran-kemungkaran baru yang diklaim mampu menyucikan jiwa, menjernihkan hati, memperkuat hubungan dengan Allah ﷻ. Sebagian dari mereka pun memberi wejangan untuk mengasingkan diri dari masyarakat dan menyendiri di tempat-tempat gelap, mengulang-ulang model dzikir dan kalimat tertentu (yang tidak diajarkan Nabi ﷺ). Dan kemudian mereka menyangka hal itu dapat menyucikan, menjernihkan serta memelihara hati. Padahal Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

“Mensucikan jiwa lebih berat daripada mengobati badan. Barangsiapa yang menyucikan jiwanya dengan riyadhah (latihan kerohanian), mujahadah, khulwah (menyendiri) yang tidak diajarkan Nabi ﷺ adalah seperti orang yang mengobati diri sendiri dengan mengandalkan pendapat sendiri. Apakah pendapatnya itu akan sesuai dengan ilmu yang dimiliki para dokter? Para rasul adalah dokter hati. Tidak ada jalan untuk menyucikan dan memperbaiki hati kecuali mengikuti jalan dan arahan mereka, dan dengan semata-mata menaati dan menerima ajaran mereka.”

Kaidah 4: Membersihkan Diri dari Maksiat dan Menghiasi Diri dengan Amal Shaleh

Sesungguhnya sebenar-benar penyucian adalah dengan membersihkan diri yaitu dengan menjauhi maksiat, kefasikan, dan dosa kemudian menghiasi diri dengan cara melakukan amal-amal sholeh. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

خُذْ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا

“Ambillah dari harta mereka shadaqah untuk membersihkan dan mensucikan mereka dengannya…” [QS. At-Taubah: 103]

Maka tuthahhirihum adalah isyarat untuk membersihkan diri dari keburukan berupa dosa dan perkataan, tuzakkihim adalah isyarat untuk menghiasi diri dengan kebaikan berupa amal ketaatan. Maka bagi siapa saja yang menginginkan jiwa yang suci hendaknya ia berusaha untuk meninggalkan dosa dan berusaha untuk menghiasi dirinya dengan amal sholeh.

Kaidah 5: Menutup Jalan-Jalan yang Menghantarkan kepada Maksiat

Seorang hamba memiliki kebutuhan untuk menutup pintu yang dapat merusak dan mengotori jiwanya. Nabi ﷺ telah membuat suatu permisalan untuk kita dalam rangka menerangkan bahaya masuknya seseorang ke dalam perkara yang dapat merusak agamanya dalam sebuah hadist. Rasulullah ﷺ bersabda,

“Allah memberikan perumpamaan berupa jalan yang lurus. Kemudian di atas kedua sisi jalan itu terdapat dua tembok. Dan pada kedua tembok terdapat pintu-pintu yang terbuka. Kemudian di atas setiap pintu terdapat penutup yang halus. Dan di atas pintu jalan terdapat penyeru yang berkata, ‘Wahai sekalian manusia, masuklah kalian semua ke dalam shirath dan janganlah kalian menoleh kesana kemari.’ Sementara di bagian dalam dari shirath juga terdapat penyeru yang selalu mengajak untuk menapaki shirath, dan jika seseorang hendak membuka pintu-pintu yang berada di sampingnya, maka ia berkata, ‘Celakalah kamu, jangan sekali-kali kamu membukanya. Karena jika kamu membukanya maka kamu akan masuk ke dalamnya.’ Shirath itu adalah Islam. Kedua dinding itu merupakan Batasan-batasan Allah Ta’ala. Sementara pintu-pintu yang terbuka adalah hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Dan penyeru di depan shirath itu adalah Kitabullah ‘Azza wa Jalla. Sedangkan penyeru dari atas shirath adalah penasihat Allah yang terdpaat pada setiap hati seorang mukmin.” [HR. Ahmad dalam musnad nomor 17909]

Dan Allah ﷻ berfirman dalam sebuah ayat,

قُل لِلمُؤمِنينَ يَغُضّوا مِن أَبصـٰرِهِم وَيَحفَظوا فُروجَهُم ۚ ذٰلِكَ أَزكىٰ لَهُم ۗ إِنَّ اللَّـهَ خَبيرٌ بِما يَصنَعونَ

“Katakanlah kepada laki-laki beriman untuk menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka. Itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” [QS. An-Nur: 30]

Oleh karena itu menutup jalan-jalan yang dapat menghantarkan seorang hamba kepada maksiat, baik dengan menjaga kemaluannya, menundukkan pandangan, dan meninggalkan hal-hal keji lagi munkar maka akan suci amalnya dengan sebab meninggalkan hal-hal yang Allah haramkan. Dan selayaknya seorang muslim senantiasa berusaha meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi dirinya apalagi yang dapat mengundang dosa baginya.

InsyaAllah akan dilanjutkan pada bagian berikutnya biidznillah.

Wa shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam.

[Bersambung]

Disadur dari kitab ‘Asyru Qawa’id Fii Tazkiyatin Nafs karya Syaikh Dr. Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al Badr dan kitab Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam Tazkiyatun Nufus karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas.

Penulis: Nuha Adinata
Mahasiswa STEI ITB

Muraja’ah: Ustadz Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

https://panduanmuslim.com/kaidah-kaidah-ringkas-dalam-menggapai-jiwa-yang-suci-bagian-1-454/