KESYIRIKAN DI MATA ULAMA MAZHAB SYAFI'I (15)
Bagian Akhir
Pasal 09 - Penjelasan bahwa Sebab Kekafiran Bani Adam dan Mereka Meninggalkan Agamanya adalah karena Ghuluw terhadap orang-orang yang Sholih
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata :
"Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhumaa dan ulama tafsir lainny mengatakan bahwa awal mula disembahnya berhala yaitu tatkala orang-orang sholih wafat, lalu mereka membangun diatasnya masjid kemudian mereka membuat patung seperti rupanya untuk mengingatkan tentang perilaku dan ibadahnya orang-orang sholih tersebut, lalu syubhat datang kepada mereka. Kemudian setelah berlalunya waktu, mereka mulai membuat patung tubuh mereka (secara utuh), terus berjalannya waktu mereka mengibadahi patung-patung tersebut dan menamakannya dengan nama orang-orang sholih yaitu Wad, Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr." (Tafsir Surat Al A'raf ayat 9, II/232).
Al Hafizh Ibnu Hajar al-'Asqalaaniy berkata :
"Kisah orang-orang sholih awal mulanya diibadah oleh kaum Nuh, kemudian diikuti oleh orang-orang setelah mereka. Disebutkan bahwa mereka mencari berkah dengan doanya Suwa' dan selainnya dari orang-orang sholih, dengan mengusap-usap patungnya." (Fathul Bariy, VIII/668-669).
Al-Imam Baghowi rahimahullah tatkala menafsirkan Firman Allah Ta'aalaa :
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آَلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
"Dan mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasr." (QS. Nuh : 23).
Ini adalah nama-nama tuhan mereka. Muhammad bin Ka'ab berkata :
هذه أسماء قوم صالحين كانوا بين آدم ونوح فلما ماتوا كان لهم أتباع يقتدون بهم ويأخذون بعدهم بأخذهم في العبادة فجاءهم إبليس وقال لهم: لو صورتم صورهم كان أنشط لكم وأشوق إلى العبادة، ففعلوا ثم نشأ قوم بعدهم فقال لهم إبليس: إن الذين من قبلكم كانوا يعبدونهم فعبدوهم، فابتداء عبادة الأوثان كان من ذلك
"Ini adalah nama-nama orang sholih yang hidup antara masa sesudah Nabi Adam sampai Nabi Nuh alaihimaa Salaam. Tatkala mereka wafat, pengikut-pengikutnya ini meneladani mereka terkait ibadahnya mereka. Lalu datang Iblis berkata kepada mereka, "kalau kalian buat patung mereka, maka ini lebih menyemangati dan lebih mengena (didalam kalian mengenang) ibadah mereka". Lalu kaumnya Nuh melakukan hal tersebut, kemudian muncullah orang-orang setelahnya (yang tidak tahu riwayat tujuan awal pembuatan patung), kemudian Iblis berkata kepada mereka, "sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menyembah mereka". Lalu akhirnya kaum tersebut menyembahnya dan ini awal mula penyembahan berhala." -selesai-.
Penyembahan kepada berhala lahir dari ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap orang sholih, mereka membangun masjid diatas kuburannya (awalnya) untuk mengenang orang-orang sholih dari kalangan Nabi dan para wali.
Al-Imam Ibnu Katsir menafsirkan FirmanNya :
اَفَرَءَيْتُمُ اللّٰتَ وَالْعُزّٰى
"Maka apakah patut kamu (orang-orang musyrik) menganggap (berhala) Al-Lata dan Al-‘Uzza," (QS. An Najm : 19).
"....dinukil dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu, Mujahid dan ar-Rabii' bin Anas rahimahumaallah bahwa mereka membaca "اللّٰتَ" dengan mentasydidkan huruf taa-nya, lalu mereka menafsirkan bahwa al-Lata dulunya adalah laki-laki yang membuat makanan sawiq untuk para jemaah haji dalam masa Jahiliah. Setelah laki-laki itu meninggal dunia, maka mereka melakukan i'tikaf pada kuburannya, lalu lama-kelamaan mereka menyembahnya". (IV/271).
Al-Imam Baghowi menafsirkan ayat yang sama :
"Ibnu Abbas radhiyallahu anhu, Mujahid dan Abu Sholih rahimahumaallah membaca "اللّٰتَ" dengan mentasydidkan huruf taa-nya, mereka berkata :
كان رجلا يلت السويق للحاج، فلما مات عكفوا على قبره يعبدونه
"dulunya ia adalah laki-laki yang membuat makanan sawiq untuk para jemaah haji. Setelah laki-laki itu meninggal dunia, maka mereka melakukan i'tikaf pada kuburannya, lalu mereka menyembahnya".
(Al-Imam Suyuthi) dalam kitab tafsirnya "ad-Dur al-Mantsuur" tatkala menafsirkan ayat ini berkata :
"Diriwayatkan oleh Abdu bin Humaid, Bukhari, Ibnu Jariir, Ibnul Mundzir dan Ibnu Mardawaih dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu bahwa beliau berkata :
كان اللات رجلا يلت سويق الحاج ولفظ عبد بن حميد : يلت السويق يسقيه الحاج اتخاذ القبور مساجد وإيقاد السرج عليها و اتخاذها أوثاناً والطواف بها واستلامها والصلاة إليها
"Al-Latta dulunya adalah laki-laki yang membuat makanan as-Sawiiq yang disajikan kepada jamaah haji. -dalam riwayat Abdu bin Humaid : membuat as-Sawiiq dan memberi minuman para jamaah haji -, kemudian (setelah ia mati) dijadikanlah kuburannya masjid dan diberi penerangan, lalu mereka membuatkan patung untuknya, kemudian mereka berthawaf, meminta keselamatan dan sholat kepadanya." -selesai-.
Ibnu Hajar al-Makkiy al-Haitsami berkata :
"Dosa besar ke-93, 94, 95, 96, 97 dan 98 yaitu menjadikan kuburan sebagai masjid, memberi penerangan di kuburan, menjadikannya berhala, thawaf kepadanya, meminta keselamatan dan sholat kepadanya...."
Kemudian beliau rahimahullah memberi peringatan :
"6 hal ini dihitung sebagai dosa besar menurut sebagian ulama Syafi'iyyah, seolah-olah mereka mengambil dari apa-apa yang telah aku sebutkan hadits-hadits terkait ini. Terkait menjadikan kuburan sebagai masjid sebagai dosa besar, maka ini adalah sangat jelas, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam melaknat orang yang melakukan dan yang membuat orang melakukannya di pekuburan orang-orang sholih, mereka itulah sejelek-jelek makhluk disisi Allah pada hari kiamat, maka didalamnya ada peringatan kepada kita sebagaimana dalam riwayat yang memperingatkan apa yang mereka buat yaitu memperingatkan umatnya dengan laknat Beliau kepada mereka yang membuat apa yang telah kaum sebelumnya membuatnya, maka mereka terlaknat sebagaimana dilaknatnya mereka-mereka yang menjadikan kuburan sebagai masjid, maknanya adalah sholat diatasnya atau sholat menghadapnya, maka ketika itu sabda Beliau "sholat kepadanya" adalah berulang, kecuali jika yang dimaksud menjadikan kuburan sebagai masjid adalah sholat diatasnya saja. Benar hanyalah sisi ini jika yang dijadikan masjid adalah kuburan yang diagungkan dari kalangan Nabi atau wali sebagaimana diisyaratkan dalam riwayat :
وإن كان فيهما الرجل الصالح
"Didalamnya ada laki-laki yang sholih."
Oleh sebab itu ulama mazhab kami mengatakan, diharamkannya sholat di kuburan para Nabi dan wali....dan yang semisal sholat diatasnya adalah bertabaruk (ngalap berkah) dan mengkultuskannya, maka perbuatan ini adalah dosa besar yang nyata berdasarkan zhahir hadits yang telah disebutkan.
Kemudian seolah-olah mereka mengqiyaskan hal ini atas semua pengagungan kepada selain Allah, seperti membuat penerangan di kuburannya dalam rangka mengagungkan dan ngalap berkah dengannya serta thawaf demikian juga, apa yang ulama Syafi'i lakukan tidaklah jauh dari kebenaran, terlebih lagi telah sharih dalam hadits yang disebutkan barusan laknat bagi orang yang membuat penerangan diatas kuburan.
Adapun orang yang menjadikan berhala, maka telah datang larangannya dalam sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam :
لا تتخذوا قبري وثنا ًيعبد بعدي
"Janganlah kalian jadikan kuburanku berhala yang diibadahi setelahku."
Yaitu janganlah kalian agungkan dengan pengagungan orang-orang selain kalian terhadap berhala-berhala mereka dengan sujud kepadanya dan yang semisalnya, sampai-sampai dikatakan bahwa keharaman yang paling besar dan penyebab kesyirikan adalah sholat disisinya dan menjadikan masjid atau membangunnya diatas kuburan.
Pendapat yang mengatakan makruhnya dibawa kepada pengertian selain ini, yangmana tidaklah ada ulama yang membolehkan apa yang dilakukan secara mutawatir dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam laknat bagi yang melakukannya dan wajibnya segera menghancurkannya dan menghancurkan kubah-kubaj yang dibangun diatas kuburan, ia adalah lebih mudhorot dibandingkan masjid dhiror, karena dibangun diatas pondasi bermaksiat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, karena larangan terkait hal ini dan perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk menghancurkan kubah yang dimuliakan dan wajib membuang lampu atau lentera diatas kuburan serta tidak sahnya waqaf dan nadzarnya." (Az-Zawaajir 'an Iqtiraaf al-Kabaa`ir, I/195).
Penulis : Abu Mu'adz al-Atsariy
Sumber : https://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=249191
Penerjemah : Abu Sa'id Neno Triyono