Sabtu, 07 Maret 2020

KESUNGGUHAN AHLUS SUNNAH DALAM MEMBAHAS ASMA DAN SIFAT ALLAH

💦KESUNGGUHAN AHLUS SUNNAH DALAM MEMBAHAS ASMA DAN SIFAT ALLAH💦

Para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah memiliki kesungguhan yang luar biasa ketika membahas nama-nama dan sifat-sifat Allah maupun perkara agama pada umumnya. 

Dan jalan yang mereka tempuh adalah jalan yang lurus. Hal ini karena pembahasan tersebut dilandasi oleh semangat mengagungkan nash syariat serta konsisten dalam berpegang kepada dalil dari al-Qur-an dan as-Sunnah tanpa ada penambahan dan pengurangan sedikit pun. 

Mereka amat mempercayai ayat dan hadits terkait asma Allah dan sifat-Nya, serta memaknainya sesuai dengan apa yang dijelaskan di situ. Mereka juga menetapkannya sesuai teks yang tertulis dalam ayat serta hadits. Tidak sepatah kata pun yang mereka distorsikan. Apalagi jika sampai menentang kebenaran ihwal asma-asma dan ayat-Nya. Mereka tidak mengadaptasikan sifat Allah dan mereka tidak menyerupakan sifat-Nya dengan sifat makhluk ciptaan Allah.

Sesungguhnya Allah tiada yang serupa dengan asma-Nya, tiada yang setara dengan-Nya, dan tidak ada tandingan bagi-Nya. Allah tidaklah pantas diperbandingkan dengan makhluk-Nya. 

Ahlus Sunnah wal Jamaah juga meyakini bahwa para rasul yang mengabarkan kepada mereka tentang sifat-sifat Allah ini adalah manusia-manusia yang benar dan dibenarkan. Ucapan mereka adalah wahyu dari Allah. Tugas utama mereka menyampaikan risalah ilahi. 
Tentu saja mereka tidak sama dengan sekelompok orang yang terbiasa membicarakan Allah tanpa ada ilmu, dan hanya berdasarkan logika akal mereka yang terbatas dan pemahamannya yang dangkal. Bahkan, bisa jadi berdasarkan isi hati mereka yang buruk. 
Oleh karena itu, Allah berfirman:

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ (180) وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ (181) وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (182) [الصّفّات]

“Maha Suci Rabbmu, Rabb Yang Maha Perkasa dari sifat yang mereka katakan. Dan selamat sejahtera bagi para rasul. Dan segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam.” (QS. Ash-Shaffat [37]: 180-182) 

Allah menyucikan diri-Nya dari sifat yang disebutkan oleh para pengingkar rasul. Lalu Dia memberikan salam kehormatan bagi para rasul agar mereka bisa selamat dari ucapan kaumnya yang menghina dan menjelek-jelekkan Allah. 

Di penghujung ayat, Allah memuji Dzat-Nya sebagai satu-satunya yang memiliki sifat-sifat yang pantas mendapat pujian terbaik. 
Keyakinan ini juga dimiliki para pengikut Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang meneladani perilaku mereka. 

Para pengikut Ahlus Sunnah mengimani sifat-sifat Allah yang sempurna dan agung yang telah ditetapkan para rasul Allah. Di antaranya keyakinan bahwa Allah berbicara kepada hamba-Nya, Dia mencintai mereka, merahmati mereka, Dia Maha Tinggi atas mereka, Dia bersemayam di atas Arsy-Nya, murka dan marah kepada musuh-Nya, serta sifat Allah lainnya yang agung. 

Mereka beriman kepada asma dan sifat tersebut sepenuhnya. Dan mereka memahaminya sebagaimana yang dimaksudkan oleh dalil yang ada, tanpa menyinggung tentang bagaimana pengadaptasiannya, atau keyakinan tentang penyerupaan dan kemiripan sifat makhluk, atau melakukan penafsiran yang membuat sifat Allah tidak berfungsi. 

Mereka justru menggali lebih dalam melalui Sunnah Nabi serta cara yang benar dan diridhai Allah. Mereka menghindari kesesatan dalam bid’ah dan mengikuti hawa nafsu dalam memahami sifat Allah itu. 

Keyakinan itu menjadikan mereka berada di tempat dan derajat mulia, baik di dunia maupun akhirat. Cara dan metode mereka jelas dan tepat, sehingga hidayah yang mereka dapatkan adalah hidayah terbaik. Itulah kebenaran hakiki dan hidayah yang tak menyesatkan. 

Metodologi mereka dalam pembahasan ini berdiri di atas dua landasan penting dan kokoh, yaitu penetapan sifat Allah tanpa penyerupaan, serta penyucian sifat-Nya, tanpa ta'thil (peniadaan sifat Allah). 

Mereka tidak menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk apalagi menyerupakan Dzat-Nya dengan Dzat makhluk. Mereka juga tidak meniadakan kesempurnaan sifat Allah yang telah dipastikan kesempurnaan-Nya itu dalam al-Qur-an dan sunnah Nabi.
Mereka benar-benar meyakini bahwa tiada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. 

Keimanan terhadap tauhid ini merupakan pokok utama dan fondasi penting dari semua cabang iman. Sebab tidak beriman seseorang jika dia tidak beriman kepada sifat Allah. Siapa yang menolak, menafikan, dan mengingkari satu saja darinya, maka dia dianggap belum beriman. 
Demikian halnya dengan orang yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya, dia dianggap belum beriman. Maha Suci Allah dari sifat tercela yang dikatakan oleh orang-orang zalim. 

Imam Nu’aim bin Hammad mengemukakan: “Orang yang menyerupakan Allah dengan satu sifat saja dari makhluk-Nya, maka dia telah kafir. Orang yang mengingkari sifat yang ada dalam diri Allah, maka dia juga dianggap kafir. Semua sifat yang disifati Allah terhadap diri-Nya dan disifati oleh Nabi, tidak satu pun yang memiliki kesamaan dengan sifat makhluk.”

Imam Ahmad mengungkapkan: “Allah tidak disifati kecuali dengan sifat yang telah disifatkan-Nya pada diri-Nya atau disifatkan oleh Rasulullah yang tidak melampaui penjelasan al-Qur-an dan Hadits (as-Sunnah).”

Ibnu Abdil Bar berkata: “Sama sekali tidak ditemukan ajaran dalam aqidah kita yang menjelaskan sifat dan asma Allah kecuali ajaran itu berdasarkan nash yang terdapat di dalam al-Qur-an atau hadits shahih dari Rasulullah, atau kesepakatan dari seluruh kaum muslimin. Semua dalil tentang asma dan sifat Allah yang berasal dari banyak hadits ahad atau yang sederajat dengannya dapat diterima serta tidak perlu dipertentangkan.”
Salah satu nikmat Allah yang terbaik bagi hamba-Nya yaitu ketika dia mendapat hidayah untuk mengikuti manhaj yang lurus ini, yang berlandaskan al-Qur-an dan sunnah Nabi serta jauh dari penyelewengan dan penyimpangan golongan yang sesat dan bathil. 

Bahkan, segala puji bagi Allah, mereka yang mendapat nikmat ini tetap meyakini keimanan ini dengan terus berada di atas satu jalan yang benar, tanpa adanya perselisihan dalam satu masalah pun mengenai sifat, asma, dan perbuatan Allah. Bahkan Ahlus Sunnah wal Jamaah semua sepakat menetapkan asma dan sifat Allah dari orang-orang pertama mereka hingga generasi terakhir sesuai dengan apa-apa yang disebutkan di dalam al-Qur-an dan as-Sunnah. 
Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak menetapkan asma dan sifat Allah berdasarkan takwil dan tidak menyimpangkan maknanya sebagai pengganti. 

Tidak satu pun dari asma dan sifat Allah ini yang mereka tolak. Mereka tidak memberikan asma dan sifat yang serupa atau mirip dengan yang ada. Mereka hanya menerima asma dan sifat Allah apa adanya. Mereka menerimanya dengan sepenuh keimanan dan sepenuh penghargaan. 

Perkara ini dijadikan sebagai satu kesatuan dan jalan yang sama. Lidah mereka saat itu seakan berucap: “Risalah ini datang dari Allah. Tugas seorang Rasul adalah untuk menyampaikannya. Maka, wajib bagi kami menerimanya.”
Kesepakatan yang diamini para pengikut Ahlus Sunnah wal Jamaah sepanjang sejarah ini adalah bukti terkuat bahwa manhaj dan metodologi yang mereka gunakan sudah benar dan konsisten. 

Oleh sebab itu, Abul Muzhaffar as-Sam’ani mengutarakan: “Bukti yang menunjukkan bahwasanya para ahli hadits berada pada metode yang benar adalah dengan melihat seluruh kitab buah karya mereka, semenjak awal hingga akhir, dahulu dan sekarang. Sekalipun negeri dan periode mereka berbeda, jarak tempat tinggal berjauhan, kediaman mereka yang terpencil, tetapi Anda menemukan penjelasan mereka terkait aqidah tetap padu. Mereka menerapkan metode yang tidak menyimpang dan menyeleweng dari kesepakatan. Hati mereka dalam perkara ini bersatu. 

Pendapat dan pandangan mereka itu tidak menampakkan perbedaan dan perselisihan yang berarti walaupun sedikit saja. Bahkan, bila Anda mengumpulkan semua pendapat mereka dan pandangan kaum salaf yang mereka kutip, maka Anda akan terkejut karena semuanya seperti berasal dari satu hati serta terucap dari satu lisan. Adakah bukti lain yang lebih kuat dari bukti ini? Allah berfirman: 

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا (82)

“Maka tidakkah mereka menghayati (mendalami) al-Qur-an? Sekiranya (al-Qur-an) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.” (QS. An-Nisa' [4]: 82) 

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا...

“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara...” (QS. Ali-‘Imran [3]: 103) 

Sebaliknya, ketika memperhatikan Ahlul Bid’ah, maka Anda mendapati mereka terpecah belah dengan kelompok masing-masing. Bahkan Anda hampir tidak menemukan pendapat satu sama lainnya menyatu di dalam perkara aqidah. Mereka saling menyesatkan hingga saling mengkafirkan. Seorang anak mengkafirkan bapaknya, saudara mengkafirkan saudaranya, tetangga mengkafirkan tetangganya. Anda melihat mereka terus berbeda, bertikai, dan saling bersilang pendapat. Mereka menghabiskan usia mereka tanpa menemukan kata sepakat.” 

Demikian penjelasan Abul Muzhaffar as-Sam’ani 
Beliau menambahkan: “Faktor utama yang menjadikan ahli hadits sepakat dalam perkara ini adalah karena mereka mengambil dalil bagi urusan agama dari al-Qur-an dan Sunnah serta pendapat ulama. Semua dalil itu menyatukan mereka dalam kesamaan pemikiran dan kesatuan pendapat. Berbeda dengan apa yang dilakukan Ahlul Bid’ah. 

Mereka mengambil argumen untuk urusan agama berdasarkan logika akal sehingga mereka terpecah dan tercerai berai dalam perbedaan pendapat. Adapun pendapat maupun riwayat dari para ulama yang terpercaya dan mumpuni sedikit sekali didapati perbedaan pendapat Jika pun ada, perbedaan tersebut hanya terletak pada pilihan kata atau susunan redaksi kalimatnya, perbedaan tersebut tentu saja tidak akan berdampak dan tidak membuat kerancuan dalam perkara agama. 

Sebaliknya logika akal, bisikan hati, dan pendapat manusia banyak didapati perbedaan pendapat. Bukankah setiap akal pikiran manusia, pendapat, dan bisikan hatinya tidak sama antara satu sama lainnya.” 

Dengan demikian, kesalahan pada asma dan sifat-Nya bukanlah perkara sepele seperti perkara lain dalam agama Islam. Sudah menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk mengikuti metode dan menapaki jalan yang telah ditempuh Ahlus Sunnah wal Jamaah. Karena mereka berada pada jalan yang benar. Abdullah bin Mas’ud mengatakan: “Siapa di antara kalian ingin mencari suri teladan, ambillah suri teladan dari orang yang telah wafat.

Sesungguhnya, orang yang masih hidup tidak akan pernah terhindar dari fitnah (ujian pada agamanya). 
Mereka, para Sahabat Nabi Muhammad, itu-demi Allah adalah generasi terbaik umat ini. Merekalah orang yang paling baik hatinya, paling mendalam ilmu agamanya, serta paling sedikit beban hidupnya. Mereka itu adalah kaum yang dipilih Allah untuk menemani Nabi dan menegakkan agama-Nya. Kenali keutamaan mereka, ikuti jejak langkah mereka, jadikan akhlak dan cara beragama mereka sebagai panutan. Sesungguhnya mereka selalu berada di bawah naungan hidayah yang lurus.”

Para Sahabat inilah generasi terbaik, lalu setelah itu generasi tabi’in setelah mereka. 
Semoga Allah menganugerahkan kita sebaik-baik panutan dan amal ibadah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Menjawab semua do’a.
Ustadz faharudin 
Pengajar PP Yaumi Yogyakarta