Rabu, 04 Maret 2020

Belajar Ilmu Alat Untuk Kejumawaan Belaka

[Belajar Ilmu Alat Untuk Kejumawaan Belaka]

Di antara kitab manhaji yang perlu direngkuh penuntut ilmu adalah 'Iqtidha' al-Ilm al-Amal' karya al-Khathib al-Baghdady. Di dalamnya terdapat banyak atsar yang mengingatkan kita, menahan lisan dan tulisan kita dan memperbaiki hati kita dengan izin Allah Ta'ala.

Saya mendapatkan sebagian thullab (yang mungkin di antaranya adalah diri saya) dan sebagian pihak yang derajatnya di atas mereka, mengesankan bahwa ilmu alat adalah segalanya untuk ilmu dan penuntutnya. Jika belum menguasainya, seolah Anda tiada ilmu sama sekali dan jangan berbicara kendatipun titik dalam agama. Sedangkan umat dan masyarakat berhajat untuk meraup amar ma'ruf nahi munkar sekalipun mereka menentangnya.

Maka, di kitab tersebut ada beberapa nasehat. Di antaranya perkataan al-Qasim bin Mukhaymirah:

تَعَلُّمُ النَّحْوِ أَوَّلُهُ شُغْلٌ وَآخِرُهُ بَغِيٌ

"Belajar Nahwu: permulaannya adalah kesibukan dan akhirannya adalah kesombongan." [Al-Iqtidha', no. 150]

Al-Baghy (البغي) memiliki beragam makna. Namun makna yang menurut kami paling cocok dan sesuai kenyataan pada sebagian pihak adalah kesombongan. Kita melihat sebagian pihak menampik kebenaran yang lebih terang daripada matahari di siang musim panas, dengan mengajukan tantangan Nahwu. Atau minimal menanyakan 'Apa antum sudah faham Alfiyah?!' atau 'Sudah khatam Ajrumiyyah belum?!'.

Kendatipun misalnya yang disodorkan pada pihak yang berilmu ini adalah kebatilan, maka pertanyaan semacam itu bukanlah standarisasi bantahan terhadap kebatilan. 

Kemudian, adakalanya suatu pakar Nahwu atau ahli bahasa Arab, menemukan adanya kesalahan (lahn) pada i'rab, harakat, pemilihan kosakata dan apapun itu penyimpangan di bahasa Arab. Ia mudah menemukannya dan lekas mengoreksi orang yang bersalah padanya. Namun ketika ia menemukan kesalahan dan penyimpangan perbuatan, seolah itu bukanlah urusannya. Hilang syariat amar ma'ruf nahi munkar di hatinya. Hatinya hanya berkiblat pada Nahwu atau bahasa Arab. 

Bahkan, boleh jadi pakar bahasa dan Nahwu ini lebih khawatir lisannya menyimpang dari segi nahwu atau kosakata dibandingkan menyimpang dari segi tauhid, sunnah dan hukum Allah Ta'ala. 

Malik bin Dinar mengatakan:

تَلْقَى الرَّجُلَ وَمَا يَلْحَنُ حَرْفًا، وَعَمَلُهُ لَحْنٌ كُلُّهُ

"Engkau bertemu dengan seseorang dan ia tidak menyimpang (kalimatnya) satu huruf pun. Sedangkan seluruh amalan dia adalah penyimpangan!" [Al-Iqtidha', no. 151]

Ini disebabkan betapa rendahnya cita-cita sebagian pelajar Nahwu atau bahasa Arab. Mereka krisis pemetaan akan ilmu. Mereka tidak bisa membetakan antara ilmu ghayah dengan ilmu wasilah. Bahasa Arab (fusha) bukanlah ilmu ghayah (tujuan akhir) melainkan ia wasilah. Ia jembatan. Ia perantara. Ia alat. Ia kunci.

Dan hanya orang konyol yang berbangga ketika baru menemukan kunci.

Terlebih jika ia meledek orang yang sudah menetap di dalam rumah. 

Sampai kita temukan beberapa meme atau poster yang kira-kira mengatakan: "Bicara bid'ah bisa, bicara tahdzir bisa dst.... namun bicara Nahwu, diam."

Mungkin sasaran dari nasehat poster tersebut adalah rekan-rekan kita yang jubahnya terlalu gombrong dibandingkan tubuhnya; yang cakapnya lebih tinggi dari isi kepalanya. Tetapi nasehat tersebut bersayap. Bisa menyasar ke pihak juhala', namun bisa pula dicorongkan ke pihak ulama'. Karena ulama lebih memperbanyak mengingatkan ulama akan bid'ah, para dai penyeru kepada kesesatan dan penyimpangan, dibandingkan membicarakan Nahwu.

Dan bukan syarat amar ma'ruf nahi munkar: harus bisa bicara atau kuasai Nahwu terlebih dahulu. Karena bab amar ma'ruf nahi munkar lebih luas dari Nahwu itu sendiri.

Sekiranya kita sangat memperhatikan manhaj dan keselamatan aqidah, maka kalimat poster tersebut takkan kita amini. Bahkan, kita saksikan pula yang memiliki kemahiran Nahwu pun menawarkan aqidah sesat ke umat, penyimpangan amaliyyah dan kemerosotan akhlak. Tidakkah sebagian ahli Nahwu menasehati yang seperti ini?!

Ibnu Aby Uwais bercerita:

"Ada seorang pria dari kalangan Asyraf (para pemilik nasab/keluarga mulia) mengenakan pakaian sutera. Kemudian Imam Malik berbicara dengan suatu kalimat yang ada kesalahan (lahn) di dalamnya. Berkatalah sang syarif tersebut:

مَا كَانَ لِأَبَوَيْ هَذَا دِرْهَمَانِ يُنْفِقَانِ عَلَيْهِ، وَيُعَلِّمَانِهِ النَّحْوَ؟

"Apa orang ini (Imam Malik) tidak mempunyai kedua orang tua yang memiliki dua dirham untuk menafkahinya dan mengajarinya ilmu Nahwu?!"

Imam Malik pun mendengar omongan sang syarif dan berkata:

أَنْ تَعْرِفَ مَا يَحِلُّ لَكَ لِبْسُهُ مِمَّا يَحْرُمُ عَلَيْكَ خَيْرٌ لَكَ مِنْ (ضَرَبَ عَبْدُ اللَّهِ زَيْدًا) ، (وَضَرَبَ زَيْدٌ عَبْدَ اللَّهِ)

"Dengan engkau mengetahui apa yang halal bagimu untuk kamu pakai dibandingkan yang haram bagimu, itu lebih baik untukmu dibandingkan 'dharaba abdullahi zaydan' dan 'dharaba zaydun abdallahi'." [Al-Iqtidha', no. 158]

Ilmu Nahwu itu memiliki kepentingan. Namun Anda mengetahui halal haram, sunnah bid'ah, haq dan bathil dari aqidah dan amaliyyah agama, maka itu lebih utama. 

Maka, jangan berbangga dengan mafdhul, ketika Anda tahu bahwa yang mendapatkan fadhil dan afdhal pun tidak pantas berbangga. Waffaqakumullah.

Ustadz Hasan Al jaizy