Sabtu, 30 Maret 2024

Ada seseorang yang sudah bercerai dengan istrinya, beberapa tahun yang lalu, meninggal dunia. Ia meninggalkan 1 anak perempuan dan 2 anak laki-laki yang masih di bawah umur secara Undang-Undang

Ada seseorang yang sudah bercerai dengan istrinya, beberapa tahun yang lalu, meninggal dunia. Ia meninggalkan 1 anak perempuan dan 2 anak laki-laki yang masih di bawah umur secara Undang-Undang. Adapun mantan istrinya sudah berkeluarga lagi dan mempunyai anak dari suami barunya. Selama ini ketiga anaknya ikut ayahnya. 

Sang mayyit hanya mempunyai 1 orang adik laki-laki, yang secara Syari'ah otomatis menjadi wali dari anak-anaknya, karena merupakan pamannya. Apalagi sebelum meninggal, mayit itu sudah mewasiatkan kepada adiknya untuk mengurus anak-anaknya sepeninggalnya. 

Sebagaimana biasa, para pelayat memberikan sumbangan bela sungkawa ketika melayat jenazah. Uang sumbangan itu terbagi di dua tempat yang berbeda. Tempat yang satu telah diinventarisasi oleh sang paman. Adapun tempat yang satu lagi, dipegang oleh anak perempuan mayit. 

Setelah itu, sang paman tidak sempat bertanya kepada keponakannya tersebut, karena ia sibuk mengurus surat kematian, pesangon, pensiun, jamsostek dll yang menjadi hak kakaknya tersebut. Sekaligus mengajukan ke pengadilan sebagai wali yang akan mengurus keponakannya tersebut. 

Setelah agak santai, ia bertanya kepada keponakannya tentang uang sumbangan yang ada di tempat yang satunya. Ia terkejut, karena uang sumbangan itu diminta dan diambil semuanya oleh nenek dari ibunya (ibu dari mantan suami mayit), dengan alasan disimpan untuk uang jajan mereka. 

Maka ini merupakan Perbuatan Haram. 
Kenapa? 
1. Uang itu termasuk Warisan Mayit dan milik ahli warisnya. Karena mayit memiliki anak laki-laki, maka warisan itu habis dibagi kepada anak-anaknya dengan rasio 2:1.
2. Nenek itu bukan walinya, sebab dia garis dari ibu, sehingga ia tidak ada hak perwalian apapun untuk mengurus harta anak-anak tersebut. 
3. Masih ada wali yang sah bagi anak-anak tersebut, yaitu pamannya, yang merupakan adik kandung almarhum ayah mereka. Ia yang berhak untuk menyimpan dan mengelola harta keponakannya sampai mereka dewasa dan cukup mengerti tentang pengelolaan uang. 

Oleh karena itu, sang nenek Wajib untuk mengembalikan uang tersebut secara utuh, tanpa kurang apa pun. Apalagi sang anak sudah menghitung jumlah uang sumbangan tersebut secara tepat. 

Jika tidak dikembalikan secara utuh, maka itu termasuk memakan harta anak yatim secara zalim dan merupakan salah satu dosa besar. 

Itulah pentingnya memahami ilmu waris dalam Islam, agar tidak terjerumus ke delapan perbuatan haram. 

Wallāhu A`lam
Ustadz danny 

Syeikh Shalih Al-Munajjid menganggap uang yg ada di e-wallet sebagai HUTANG .. sehingga menurut beliau tidak boleh mengambil diskon darinya.

Syeikh Shalih Al-Munajjid menganggap uang yg ada di e-wallet sebagai HUTANG .. sehingga menurut beliau tidak boleh mengambil diskon darinya.

=====

Beliau mengatakan tentang diskon yg datang dari pihak e-wallet:

وإن كانت التطبيقات تعطي المستخدمين نقودا، أو هدايا، تشجيعا لهم على التعامل بالمحافظ، والإيداع فيها، أو تعلن أن من شحن الرصيد ب200 روبية مثلا، استرد 50 روبية: فهذه هدايا محرمة.

وذلك أن إيداع المال في المحافظ يعتبر إقراضا للجهة القائمة عليها، ولا يجوز أخذ الهدايا على القروض

Jika aplikasi (e-wallet) memberikan kepada para penggunanya: uang, atau hadiah untuk mendorong mereka agar mengunakan dompet² elektronik tersebut dan menitipkan uang di dalamnya, atau mereka mengumumkan bahwa yang mengisi saldo 200 rupiah akan mendapatkan 50 rupiah, maka ini adalah hadiah yg diharamkan.

Karena menitipkan uang di dompet² elektronik tersebut dianggap tindakan MENGHUTANGI pihak yg mengadakan dompet² elektronik tersebut, dan tidak boleh mengambil hadiah² dari HUTANG² yg diberikan.

-----

Silahkan direnungkan perkataan beliau hafizhahullah yg lebih lengkap di sini:
Ustadz Dr Musyaffa ad dariny Ma 
https://islamqa.info/ar/answers/305491/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D8%A7%D9%84%D8%AE%D8%B5%D9%88%D9%85%D8%A7%D8%AA-%D9%88%D8%A7%D8%B3%D8%AA%D8%B1%D8%AF%D8%A7%D8%AF-%D8%A7%D9%84%D9%86%D9%82%D9%88%D8%AF-%D8%A7%D9%84%D9%85%D9%82%D8%AF%D9%85-%D9%85%D9%86-%D8%AA%D8%B7%D8%A8%D9%8A%D9%82%D8%A7%D8%AA-%D8%AA%D8%B9%D8%AA%D9%85%D8%AF-%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%AD%D8%A7%D9%81%D8%B8-%D8%A7%D9%84%D8%B1%D9%82%D9%85%D9%8A%D8%A9?fbclid=IwAR02ZrqRIwRxiUvqeia1KDFTWp43i9PbnquAbckztjFhpH52DFj4Nwhr2_U

Syaikh yaslam mulai belajar pada awal² tahun 2000-an di darul hadits dammaj.

Syaikh yaslam mulai belajar pada awal² tahun 2000-an di darul hadits dammaj.

Bersama syaikh yahya al hajuri, karna pada saat itu (awal tahun 2000-an) syaikh muqbil mempercayakan syaikh yahya untuk memimpin dammaj.

Kemudian guru beliau adalah syaikh abdul aziz al buro'i (ulama senior Yaman)

Kemudian as syaikh hasan as shobwahi (hafal kutub tis'ah)

Syaikh yaslam dikenal sangat cerdas sehingga walaupun masih muda kala itu dipercaya syaikh al Imam untuk menjadi salah satu pengajar di ma'bar.

Kemudian juga dipercaya menjadi pengajar di darul hadist fiyus (ketika syaikh abdurrahman masi hidup)

Ketika syaikh abdurrahman meninggal, yang menggantikan posisinya sebagai pengajar dars amm (dars umum wajib bagi ribuan pelajar) diantaranya syaikh yaslam, syaikh anis, dan syaikh basyaar.

Ketika kosong kepemimpinan fuyus, maka para masyaikh fuyus mendaulat syaikh yaslam sebagai pengganti atau pemimpin darul hadist fiyus namun beliau menolak karna bbrpa alasan.

Sehingga berdirilah darul hadist subaihah.
Ustadz ilman 

SHARF itu tukar menukar uang dengan uang lain .. jadi ada dua uang yang bisa dijumlahkan.

SHARF itu tukar menukar uang dengan uang lain .. jadi ada dua uang yang bisa dijumlahkan. 

=====

Misalnya, menukar uang 1 Dolar dg uang Rupiah 15k .. sebelum tukar menukar ini terjadi, sudah ada uang 1 Dolar dan 15k Rupiah, atau senilai 30k Rupiah, atau senilai 2 Dolar.

Ini sangat berbeda dg 15k Rupiah fisik yg dimasukkan ke saldo Gopay menjadi uang elektronik .. Sebelum dimasukkan ke saldo Gopay, yang ada hanya 15k rupiah fisik saja, bukan 15k Rupiah fisik dan 15k Rupiah elektronik.

Begitu pula setelah dimasukkan ke saldo Gopay, yang ada hanya 15k rupiah elektronik saja .. bukan 15k Rupiah elektronik dan 15k Rupiah fisik .. Dengan kata lain, setelah saldo masuk ke Gopay, maka 15k Rupiah elektronik itu dianggap mewakili 15k Rupiah fisik.

Maka ini bukan sharf, tapi akad titip. Dan karena uang yg dititipkan ke Gopay digunakan oleh Gopay sesuai batasan aturan yg ditentukan, maka akadnya menjadi hutang piutang.

Sederhananya, sebenarnya yg terjadi adalah kita titip uang ke dompet elektronik yg mereka sediakan .. lalu mereka memberikan kemudahan kepada kita untuk menggunakannya secara elektronik.

Sama dengan kita menitipkan uang ke rekening yg disediakan bank .. lalu bank memberikan kita kemudahan untuk menggunakannya secara elektronik melalui QRIS atau yg lainnya.

Wallahu a'lam.
Ustadz Dr musyaffa ad dariny Ma

Surah Al-Ahzab ayat 32-33 berisi pelajaran adab yang mesti dijalankan wanita: suara tidak sampai menggoda pria, keluar rumah tidak mutajjamilaat (tampil cantik menggoda) dan tidak mutathoyyibaat (memakai minyak wangi).

Surah Al-Ahzab ayat 32-33 berisi pelajaran adab yang mesti dijalankan wanita: suara tidak sampai menggoda pria, keluar rumah tidak mutajjamilaat (tampil cantik menggoda) dan tidak mutathoyyibaat (memakai minyak wangi).
Ustadz Muhammad abduh tuasikal 

Tidak boleh ada pengingkaran pada permasalahan ijtihad

KAIDAH:

لا إنكار في مسائل الإجتهاد

"Tidak boleh ada pengingkaran pada permasalahan ijtihad"

قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله :

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah - rahimahullah - berkata:

"... إن مثل هذه المسائل الاجتهادية لا تنكر باليد، وليس لأحد أن يلزم الناس باتباعه فيها، ولكن يتكلم فيها بالحجج العلمية، فمن تبين له صحة أحد القولين: تبعه، ومن قلد أهل القول الآخر فلا إنكار عليه " انتهى من "مجموع الفتاوى" (30/80) .

"Sesungguhnya semisal permasalahan ijtihad ini tidak boleh di ingkari dengan tangan, dan juga tidak boleh bagi seorang memaksa manusia utk mengikuti ijtihadnya. Akan tetapi hendaknya ia berbicara tentang ijtihad tersebut dengan menyebutkan hujjah² ilmiyah. Barangsiapa yg telah jelas baginya salah satu dari dua pendapat tarsebut, maka hendaknya ia mengikutinya. Dan barangsiapa yg taqlid terhadap pendapat yg satunya lagi, maka tidak di ingkari atasnya." (Majmu' Fatawa, 30/80)

Ana katakan: Dari pemaparan yg di sebutkan oleh Syaikhul Islam di atas, bahwa tidak adanya pengingkaran dalam masalah ijtihad itu bukan berarti tidak adanya pembahasan. Bahkan bagi siapa yg sanggup utk membahasnya secara ilmiyah, maka boleh dia membahasnya. Namun jika ia tidak sanggup dan hanya bisa taqlid semata karena keterbatasan keilmuannya, maka tidak di cela dan tidak di ingkari.

Dari sini jelas, bahwa yg boleh membahas masalah ijtihadiyah dari beberapa pendapat ulama adalah yg memiliki ilmu. Adapun muqollid, maka ia tidak berhak utk berbicara pada sesuatu yg Allah tidak bebankan kepadanya. Cukup baginya condong kepada salah satu pendapat utk dirinya sendiri dengan tidak memaksa orang lain utk mengikuti apa yg ia condongi. Dan juga tidak boleh bagi para muqollid membenturkan pendapat ulama A dgn pendapat ulama B. Karena yg demikian bukanlah merupakan adab kepada para ulama.
Ustadz abu yahya tomy 

Pakaian yang afdhal dipakai seorang wanita adalah yang berwarna hitam

✍قــال الشيــخ الـعلامـة الألـباني رحمه الله
"أفـضل ما تلبسه المرأة هو اللون الأسود، لما فيه من زيادة الوقار و الحشمة و الابتعاد عن الزينة، و كـان هذا هو الغالب على نساء الصحابة رضي الله عنهم".

📔/جلباب المرأة المسلمة صـ 121 - 124 ٠
As-Syaikh Al-'Allamah Al-Albaniy rahimahullah berkata:

"Pakaian yang afdhal dipakai seorang wanita adalah yang berwarna hitam, karena padanya terdapat tambahan wibawa, hisymah (sifat malu), dan jauh dari perhiasan, dan pakaian inilah dahulu yang dipakai oleh mayoritas wanitanya para sahabat radhiyallahu 'anhum."

[Jilbab Mar-atil Muslimah, hal 121-124]

FB Penerjemah: Dihyah Abdussalam
IG Penerjemah: @mencari_jalan_hidayah

Tingkatan Qiyamul Lail Pada Malam Lailatul Qadar

*Tingkatan Qiyamul Lail Pada Malam Lailatul Qadar*

As-Syaikh Dr Shalih Al-'Ushaimiy hafizhahullah berkata:

*Tingkatan Qiyam Lailatil Qadar yang dimustahabkan ada 4*:

1. Tingkatan pertama: Ketika Qiyamul lail semuanya, dimana ia shalat setiap malam.

2. Tingkatan kedua: Ketika Qiyamul lail di awal malam dan akhirnya, dimana ia qiyamul lail pada apa saja yang ia mampu dari awal malam, kemudian ia qiyamul lain pada apa yang ia mampu dari akhir malam.

3. Tingkatan ketiga: Ketika qiyamul lail di akhir malam saja.

4. Tingkatan keempat: Ketika qiyamul lail di awal malam saja, yaitu setelah shalat isya.

Dan di antara tingkatan ini yang paling tinggi derajatnya adalah:

* Tingkatan pertama
* Kemudian tingkatan kedua
* Kemudian tingkatan ketiga
* Kemudian tingkatan keempat.

Dan tingkatan yang paling sempurna adalah ketika seorang hamba memakmurkan semua sepuluh malam terakhir yang diharapkan di dalamnya ada lailatul qadar dengan shalat, membaca Al-Quran, berdo'a, dan i'tikaf di masjid.

Dan jika tidak memungkinkan melakukan itu, maka dengannya seorang hamba memperbagus qiyam di awal malam dan akhirnya,  sehingga ia shalat, membaca Al-Quran, dan berdoa semampunya pada awal malam, kemudian begitu pula ia memperbaiki dirinya di akhirnya.

Dan jika ia tidak mampu melakukan ini, dan ia mampu di salah satu ujung malam saja karena sesungguhnya keadaan di akhir malam lebih sempurna dari awal malam, maka ia mengakhirkan shalatnya hingga akhir malam, dan ini lebih sempurna dari orang yang membatasi diri pada awal malam saja.

Dan inilah empat tingkatan mustahab yang dimustahabkan bagi seorang hamba agar ia mendapatkan lailatul qadar, yang ia berada di sepuluh malam terakhir pada bulan Ramadhan, dan sesungguhnya nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan."

FB Penerjemah: Dihyah Abdussalam 
IG Penerjemah: @mencari_jalan_hidayah

Jumat, 29 Maret 2024

10 perbedaan shalat malam dan shalat taraweh dari penjelasan ulama Syafi'iyah

Madzhab Asy Syafi'iyah

• Salat nafilah (sunah) terbagi menjadi dua:
1. Salat nafilah muthlaqah.
2. Salat nafilah muqayyadah.

» Salat nafilah muthlaqah adalah salat sunah yang tidak terikat dengan waktu atau sebab, sehingga dapat didirikan kapan saja, kecuali pada waktu diharamkan salat, dengan jumlah yang tidak terbatas, dan dilakukan dua rakaat kemudian dua rakaat dan seterusnya, atau empat rakaat lalu empat rakaat dan seterusnya atau ragam tata cara lainnya.
Contoh dari salat nafilah muthlaqah adalah salat malam atau salat tahajud.

» Salat nafilah muqayyadah terbagi menjadi dua:
1. *Salat nafilah muqayyadah bil waqt: salat sunah yang terikat dengan waktu.
Contoh: salat duha, salat idulfitri, salat iduladha, salat tarawih, salat witir, salat rawatib (qabliyyah dan ba'diyyah).
2. Salat nafilah muqayyadah bis sabab: salat sunah yang dilakukan karena suatu sebab. 
Contoh: salat tahiyat masjid, salat gerhana matahari atau bulan, salat istiska, salat istikharah, salat taubat, salat hajat.

Catatan: salat nafilah muqayyadah selain terikat oleh waktu atau sebab, ia juga terbatas dalam jumlah rakaatnya dan dilaksanakan dengan tatacara tertentu, tidak semuanya bisa dikerjakan empat rakaat sekaligus dengan satu salam.

• Dari sudut yang lain, salat nafilah juga bisa dibagi menjadi dua:
1. Salat nafilah maqshūdah li dzātihā.
2. Salat nafilah maqshūdah li ghairihā.

» Salat nafilah maqshūdah li dzātihā adalah salat sunah tertentu yang ditujukan darinya zatnya, dan bukan ditujukan untuk mengisi waktu atau tempat dengan salat.
Contoh: salat duha adalah salat sunah tertentu yang ditujukan darinya zatnya, dan bukan ditujukan untuk mengisi waktu atau tempat dengan salat, oleh karenanya salat duha tidak bisa digantikan dengan salat lainnya.

» Salat nafilah maqshūdah li ghairihā adalah salat sunah yang bukan ditujukan pada zatnya, tapi ditujukan untuk mengisi waktu atau tempat dengan salat.
Contoh: salat tahiyat masjid adalah salat sunah yang tidak ditujukan pada zatnya, tapi ditujukan untuk mengisi tempat (masjid) dengan salat.
Contoh lain: salat wudu adalah salat sunah yang ditujukan pada zatnya, tapi ditujukan untuk mengisi waktu (setelah berwudu) dengan salat.

• Apa saja perbedaan antara salat tarawih dan salat malam menurut ulama syafi'iyah?

Banyak sekali perbedaan di antara keduanya, di antaranya:
1. Salat tarawih termasuk salat nafilah muqayyadah bil waqt, ia hanya bisa dikerjakan setelah melaksanakan salat isya sampai terbit fajar sadik, apabila dikerjakan sebelum melaksanakan salat isya maka tidak sah, sedangkan *salat malam* termasuk salat nafilah muthlaqah, ia bisa dikerjakan kapan pun di waktu malam, walaupun sebelum melaksanakan salat isya.
2. Salat tarawih hanya berkaitan dengan malam-malam ramadan, sehingga tidak sah melaksanakan salat di selain malam ramadan dengan niat salat tarawih, sedangkan salat malam tidak hanya berkaitan dengan ramadan, sehingga bisa dilaksanakan di malam ramadan atau di malam bulan lainnya, bahkan bisa dilakukan walaupun setelah atau sebelum salat tarawih.
3. Salat tarawih terbatas pada dua puluh rakaat, artinya apabila seorang menambah sejumlah rakaat melebihi dua puluh rakaat dengan niat melaksanakan salat tarawih maka tidak sah, sedangkan salat malam tidak terbatas jumlah rakaatnya, walaupun seseorang melaksanakan seratus rakaat dalam semalam maka sah.
4. Salat tarawih harus dilakukan dua rakaat lalu dua rakaat dan seterusnya, apabila dilaksanakan empat rakaat sekaligus maka tidak sah menurut syafi'iyyah, dan tidak diutamakan menurut ulama lainnya, sedangkan salat malam bisa dilaksanakan dengan dua rakaat lalu dua rakaat, atau empat rakaat sekaligus, atau bahkan lebih dari itu sekaligus.
5. Salat tarawih disyariatkan berjemaah dalam melaksanakannya, dan boleh dilaksanakan munfarid (sendirian), sedangkan salat malam disunahkan salat sendirian, dan mubah (boleh) dilaksanakan berjemaah. Itu lah mengapa dalam riwayat-riwayat tentang salat malam Nabi, beliau melaksanakannya sendirian, bahkan tidak bersama dengan istrinya kecuali sesekali saja, berbeda halnya dengan salat tarawih, yg dilaksanakan berjemaah selama tiga malam, lalu beliau tidak melanjutkannya di malam berikutnya, karena khawatir akan diwajibkannya salat tarawih atas umatnya.
6. Salat tarawih lebih utama dilaksanakannya di masjid daripada di rumah atau tempat lainnya untuk menghidupkan syiar islam, sedangkan salat malam lebih utama dilaksanakannya di rumah.
7. Salat tarawih dalam melaksanakannya harus diniatkan sebagai "salat tarawih" atau "qiyām ramadan", sedangkan salat malam cukup diniatkan sebagai "salat" saja, tidak harus diniatkan "salat malam" atau "salat tahajud".
8. Salat tarawih termasuk salat nafilah maqshūdah li dzātihā, sehingga dalam niatnya bisa digabungkan dengan niat salat nafilah maqshūdah li ghairihā seperti salat malam, salat wudu, salat tahiyat masjid dll, tapi niat salat tarawih tidak bisa digabungkan dengan niat salat fardu atau salat nafilah maqshūdah li dzātihā seperti salat rawatib, salat witir dll, maka tidak sah apabila niat salat tarawih digabungkan dengan niat salat ba'diyyah isya. Sedangkan salat malam termasuk salat nafilah maqshūdah li ghairihā, oleh karenanya niat salat malam bisa digabungkan dengan niat salat apapun, maka sah menggabungkan antara niat salat malam dan niat salat ba'diyyah isya.
9. Salat tarawih disunahkan untuk men-jahr-kan (memperdengarkannya kepada orang lain) dalam membaca surah Al-Qur'an, sedangkan salat malam disunahkan untuk men-sir-kan (memperdengarkannya kepada diri sendiri dan tidak ke orang lain) dalam membaca surah Al-Qur'an.
10. Salat tarawih disunahkan untuk mandi sebelum melaksanakannya, sedangkan mandi sebelum melaksanakan salat malam hukum asalnya mubah (boleh) saja.

Kamis, 28 Maret 2024

Apa itu “Salafi” ?

Apa itu “Salafi” ?

Oleh : Muhammad Atim

Salafi adalah sebutan bagi ulama atau orang-orang yang berpegang kepada aqidah para Salafush Shaleh. Salafush Shaleh yang dimaksud adalah tiga generasi awal Islam yang dipuji oleh Nabi ﷺ sebagai sebaik-baik generasi, yaitu sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. 

Istilah “Salafi” digunakan untuk membedakan dengan orang-orang yang melenceng dari aqidah para Salafush Shaleh tadi, dimana banyak muncul aliran-aliran atau kelompok-kelompok yang menisbatkan diri pada Islam namun memiliki aqidah dan pemahaman yang melenceng dari aqidah dan pemahaman yang benar sebagaimana dipegang oleh para Salafush Shaleh. Aqidah para Salafush Shaleh ini tentu saja adalah hasil pemahaman yang benar terhadap Al-Qur’an dan Sunnah. Munculnya penyimpangan tersebut sangat besar dipengaruhi oleh pemikiran filsafat yang datang dari luar Islam khususnya Yunani. Maka datang para ulama Salafi atau yang berpegang kepada aqidah Salaf atau manhaj Salaf menampilkan aqidah dan pemahaman yang benar sebagaimana dipegang oleh Salafush Shaleh dan membantah pemikiran-pemikiran menyimpang tersebut.

Istilah Salafi ini atau yang berpegang kepada aqidah Salaf atau manhaj Salaf adalah sebutan lain dari istilah Ahlus Sunnah atau Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah tiada lain adalah aqidah para Salafush Shaleh.
 
Jadi, setiap muslim sebenarnya wajib untuk berpegang kepada aqidah Salaf atau menjadi Salafi, atau berpegang kepada aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Karena kalau tidak, dia akan terjerumus pada aqidah dan pemahaman yang menyimpang dari kebenaran, sehingga hakikatnya ia melenceng dari Islam.
 
Hanya saja penisbatan terhadap sebutan ini mesti dibuktikan dengan mengkaji langsung bagaimana aqidah Salafush Shaleh dan Ahlus Sunnah ini dari kitab-kitab yang telah ditulis oleh para ulama, dipahami secara benar dan ditimbang kesesuaiannya, bukan sebatas penisbatan.

Istilah “Salafi”, “aqidah Salaf”, “madzhab Salaf” atau “manhaj Salaf” ini bukanlah pertama kali disebut-sebut oleh imam Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) atau Syekh Muhammad bin Abdul Wahab (w. 1203 H) rahimahumallah, yang kemudian diidentikkan dengan istilah Wahabi, sebagaimana disangka oleh sebagian orang. Justru kalau kita membaca kitab-kitab para ulama yang berpegang kepada aqidah Salaf, bahkan sejak era awal, kita akan dapati mereka menyebutkan istilah ini. 

Misalnya Abu Ubaid Qasim bin Sallam (w. 224 H) rahimahullah dalam kitabnya Al-Iman mengatakan :

وَقَالَ : ﴿وَلِيُمَحِّصَ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَيَمْحَقَ الْكافِرِينَ﴾ (آل عمران : ١٤١) أَفَلَسْتَ تَرَاهُ، قَدِ امْتَحَنَهُمْ بِتَصْدِيقِ الْقَوْلِ بِالْفِعْلِ، وَلَمْ يَرْضَ مِنْهُمْ بِالْإِقْرَارِ دُونَ الْعَمَلِ، حَتَّى جَعَلَ أَحَدَهُمَا مِنَ الْآخَرِ؟ فَأَيُّ شَيْءٍ يُتَّبَعُ بَعْدَ كِتَابِ اللَّهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ ﷺ وَمِنْهَاجِ السَّلَفِ بَعْدَهُ الَّذِينَ هُمْ مَوْضِعُ الْقُدْوَةِ وَالْإِمَامَةِ؟! فَالْأَمْرُ الَّذِي عَلَيْهِ السُّنَّةُ عِنْدَنَا مَا نَصَّ عَلَيْهِ عُلَمَاؤُنَا مِمَّا اقْتَصَصْنَا فِي كِتَابِنَا هَذَا : أَنَّ الْإِيمَانَ بِالنِّيَّةِ وَالْقَوْلِ وَالْعَمَلِ جَمِيعًا، وَأَنَّهُ دَرَجَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ، إِلَّا أَنَّ أَوَّلَهَا وأعلاها الشَّهَادَةُ بِاللِّسَانِ، كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فِي الْحَدِيثِ الَّذِي جَعَلَهُ فِيهِ بِضْعَةً وَسَبْعِينَ جُزْءًا، فَإِذَا نَطَقَ بِهَا الْقَائِلُ، وَأَقَرَّ بِمَا جَاءَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لَزِمَهُ اسْمُ الْإِيمَانِ بِالدُّخُولِ فِيهِ بِالِاسْتِكْمَالِ عِنْدَ اللَّهِ، وَلَا عَلَى تَزْكِيَةِ النُّفُوسِ، وَكُلَّمَا ازْدَادَ لِلَّهِ طَاعَةً وَتَقْوَى، ازْدَادَ بِهِ إِيمَانًا.

“Dan Allah berfirman, “Dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang yang kafir.” (QS. Ali Imran : 141), tidakkah kamu memperhatikannya? Sungguh Allah menguji mereka dengan membuktikan perkataan dengan perbuatan dan Dia tidak ridha dari mereka dengan pernyataan tanpa amal, hingga menjadikan salah satunya sebagai bagian dari yang lain. Maka apalagi yang diikuti setelah kitab Allah, sunnah rasul-Nya ﷺ dan MANHAJ SALAF setelahnya yang mereka itu adalah tempatnya keteladanan dan keimaman? Perkara yang merupakan sunnah menurut kami adalah apa yang dinyatakan oleh para ulama kami yang kami sebutkan dalam kitab kami ini, yaitu bahwa iman itu dengan niat, perkataan dan perbuatan secara sekaligus, dan bahwa ia bertingkat-tingkat, sebagiannya di atas sebagian yang lain. Hanya saja yang paling pertama dan paling tinggi adalah bersyahadat dengan lisan, sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadits yang ia menjadikan padanya tujuh puluh lebih bagian. Maka apabila seseorang mengatakan dan mengakui apa yang datang dari sisi Allah, maka otomatis ia menyandang istilah iman dengan masuknya ia ke dalamnya, dengan menyempurnakannya di sisi Allah, dan tidak atas dasar merasa diri suci, dan setiap kali bertambah ketaatan dan ketakwaannya kepada Allah, maka bertambahlah imannya.” (Al-Iman, Abu Ubaid Qasim bin Sallam, hal. 34-35).

Dalam kitabnya As-Sunnah, Abu Bakar bin Al-Khallal (w. 311 H) mengutip perkataan Abu Nu’aim :

أَخْبَرَنِي عَلِيُّ بْنُ عِيسَى، أَنَّ حَنْبَلًا حَدَّثَهُمْ، سَمِعَ أَبَا نُعَيْمٍ الْفَضْلَ بْنَ دُكَيْنٍ، قَالَ لَهُ رَجُلٌ: يَا أَبَا نُعَيْمٍ، هَذَا بِشْرٌ الْمِرِّيسِيُّ. فَقَالَ : لَعَنَ اللَّهُ أَهْلَ الزَّيْغِ وَالضَّلَالَةِ، وَمَنْ بِشْرٌ الْمِرِّيسِيُّ؟ إِنَّمَا يَتَكَلَّمُ فِي هَذَا التَّافِهُ مِنَ النَّاسِ لَا يَعْرِفُ، نَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمُ الْيُسْرَ وَالْعَافِيَةَ، عَلَيْكُمْ بِالْآثَارِ وَالْعِلْمِ، مَا كَانَ عَلَيْهِ مَنْ مَضَى مِنَ السَّلَفِ.

“Telah menceritakan kepadaku Ali bin Isa, bahwa Hanbal menceritakan kepada mereka, ia mendengar Abu Nu’aim Al-Fadh bin Dukain, ada seorang laki-laki yang berkata kepadanya, “Wahai Abu Nu’aim, ini Bisyr bin Al-Marisi (tokoh aliran Jahmiyyah)”. Maka ia berkata, “Semoga Allah melaknat para pelaku penyimpangan dan kesesatan, siapa ini Bisyr Al-Marisi ? Tiada lain yang berbicara seperti ini adalah orang bodoh dari manusia yang tidak mengetahui. Kita memohon kepada Allah bagi kami dan kalian kemudahan dan keselamatan. Hendaklah kalian berpegang kepada atsa-atsar dan ilmu, yang dipegang oleh orang-orang terdahulu dari SALAF.” (As-Sunnah, Abu Bakr bin Al-Khallal, 5/104).

Ibnu Battah Al-Ukbari (w. 387 H) dalam kitabnya Al-Ibanah Al-Kubra mengatakan :

فَإِنِّي أَجْعَلُ أَمَامَ الْقَوْلِ إِيعَازَ النَّصِيحَةِ إِلَى إِخْوَانِي الْمُسْلِمِينَ بِأَنْ يَتَمَسَّكُوا بِكِتَابِ اللَّهِ، وَسُنَّةِ رَسُولِهِ ﷺ وَاتِّبَاعِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ، وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِينَ

“Maka sungguh aku jadikan di permulaan perkataan ini pemberian nasihat kepada saudara-saudaraku kaum muslimin agar mereka berpegang teguh kepada kitab Allah, sunnah rasul-Nya dan mengikuti SALAFUSH SHALEH dari para sahabat, tabi’in, dan yang setelah mereka dari para ulama muslimin.” (Al-Ibanah Al-Kubra, 4/325).

Abu Sulaiman Al-Khattabi (w. 388 H) berkata :

فَأَمَّا مَا سَأَلْتَ عَنْهُ مِنَ الصِّفَاتِ وَمَا جَاءَ مِنْهَا فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، فَإِنَّ مَذْهَبَ السَّلَفِ إِثْبَاتُهَا وَإِجْرَاؤُهَا عَلَى ظَوَاهِرِهَا وَنَفْيُ الْكَيْفِيَّةِ وَالتَّشْبِيْهِ عَنْهَا، وَقَدْ نَفَاهَا قَوْمٌ فَأَبْطَلُوا مَا أَثْبَتَهُ اللهُ، وَحَقَّقَهَا قَوْمٌ مِنَ الْمُثْبِتِيْنَ، فَخَرَجُوا فِي ذَلِكَ إِلَى ضَرْبٍ مِنَ التَّشْبِيْهِ وَالتَّكْيِيْفِ، وَإِنَّمَا الْقَصْدُ فِي سُلُوْكِ الطَّرِيْقَةِ الْمُسْتَقِيْمَةِ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ، وَدِيْنُ اللهِ تَعَالَى بَيْنَ الْغَالِي فِيْهِ وَالْجَافِي وَالْمُقْصِرِ عَنْهُ.

"Maka adapun apa yang kamu tanyakan tentangnya dari sifat-sifat dan apa yang datang tentangnya di dalam Al-Qur'an dan Sunnah, maka MADZHAB SALAF adalah menetapkannya dan membiarkannya sebagaimana zahirnya, menafikan kaifiyyah dan tasybih darinya. Sungguh, suatu kaum telah menafikannya, maka mereka menggugurkan apa yang telah Allah tetapkan. Dan suatu kaum dari kalangan yang menetapkan, mereka mentahqiq/lebih menetapkan lagi, maka mereka keluar dalam hal itu kepada suatu bentuk penyerupaan (tasybih) dan penggambaran (takyif). Yang menjadi tujuan adalah menempuh jalan yang lurus di antara dua perkara tersebut. Agama Allah ini ada di antara yang berlebih-lebihan (ghuluw) dan yang jauh dan mengurang-ngurangi (taqshir).”

Perkataan tersebut dikatakan pula secara persis oleh Al-Khatib Al-Baghdadi (w. 463). (Lihat Ad-Dzahabu, Al-‘Uluw, hal. 253-254, Abu Bakar Al-Isma’ili, I’tiqad Ahlis Sunnah, hal. 72-75).

Kitab yang sangat lengkap memotret bagaimana aqidah Salaf dan ia adalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah kitab Syarh I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah karya Abul Qasim Al-Lalakai (w. 418 H), dalam salah satu babnya ia mengatakan :

سِيَاقُ مَا رُوِيَ عَنِ الْمَأْثُورِ عَنِ السَّلَفِ فِي جُمَلِ اعْتِقَادِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالتَّمَسُّكِ بِهَا وَالْوَصِيَّةِ بِحِفْظِهَا قَرْنًا بَعْدَ قَرْنٍ

“Paparan tentang atsar yang diriwayatkan dari SALAF dalam keumuman aqidah Ahlus Sunnah, berpegang kepadanya dan wasiat untuk menjaganya dari abad ke abad.” (Syarh I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, ha. 170).

Syaikhul Islam Abu Utsman Ash-Shabuni (w. 449 H) menamai kitabnya dengan nama Aqidah Salaf wa Ashabil Hadits, di dalamnya beliau memaparkan aqidah Salafush Shaleh.

Dan masih banyak lagi.

Wallahul Muwaffiq.

t.me/butirpencerahan

Dalam mazhab Syafi'i safar yang membolehkan untuk seorang berbuka atau membatalkan puasa

Dalam mazhab Syafi'i safar yang membolehkan untuk seorang berbuka atau membatalkan puasanya itu jika :
1. Safar jarak jauh, minimal jarak qashar shalat
2. Safar yang mubah, bukan dalam rangka maksiat atau tujuan yang haram
3. Berangkat safarnya harus sebelum shubuh
Selengkapnya dapat dilihat di Syarh Mukhtashar al Lathif
Ustadz yhouga 

Orang alim tidak akan pikun

"Orang alim tidak akan pikun"

Di antara bentuk penjagaan Allah Swt terhadap orang alim adalah Allah menjaga akalnya agar tidak pikun di masa tuanya.

Abdullah bin Thawus mengatakan,

"إن العالِم لا يَخْرَف"

"Orang alim tidak pikun"

"Makna tidak pikun", lanjut Imam Ibnu Hajar menjelaskan, "adalah ia tidak kembali seperti akal anak kecil lagi di masa tuanya, sebagaimana pikunnya orang-orang awam atau bahkan lebih buruk".

Ini dikuatkan dengan tafsiran Ikrimah terhadap ayat,

{وَمِنْكُمْ مَنْ يُرَدُّ إِلَىٰ أَرْذَلِ الْعُمُرِ}

"..dan di antara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah (pikun)"

Ikrimah mengatakan,

"من قرأ القرآن -أي بحقه- لا يصل لهذه الحالة"

"Barangsiapa yg membaca Al-Qur'an (baca:  mengilmuinya) tidak sampai masuk ke keadaan (pikun) ini dalam umurnya"

[المنهج السوي، ٦٠٢]
__

Prof. Syeikh Hasan Syafi'i saat ini berumur 94 tahun, tapi masih aktif ngajar dan menulis.

Syeikh Abdul Aziz as-Syahawi, Syeikh Ali Sholih Al-Azhari, dan banyak sekali masyaikh lain yg sudah di umur senja, tapi masih memiliki hafalan, ingatan, dan analisis yg kuat. Yg pernah hadir di kajian-kajian mereka pasti menyaksikan hal ini.

حفظ الله جميع شيوخنا وعلمائنا

Rabu, 27 Maret 2024

Menggunakan cincin yang terbuat dari besi, timah, dan tembaga hukumnya adalah makruh di dalam Mazhab imam Ahmad bin Hanbal.Sedang menggunakan cincin bahan batu akik justru dianjurkan (mustahab)

Menggunakan cincin yang terbuat dari besi, timah, dan tembaga hukumnya adalah makruh di dalam Mazhab imam Ahmad bin Hanbal.

Sedang menggunakan cincin bahan batu akik justru dianjurkan (mustahab)
Sebagaimana yang dikatakan oleh Mar'iy Al-Karmiy di dalam Dalil Ath-Tholib:

و كره تختمهما بالحديد و الرصاص و النحاس و يستحب بالعقيق

“Dimakrukahkan bagi Pria dan Wanita menggunakan cincin yang terbuat dari besi, timah, dan tembaga. Sedang dianjurkan menggunakan cincin yg terbuat dari batu Akik.”

Selasa, 26 Maret 2024

Sebagian ulama seperti Syaikh Masyaikhina Muqbil bin Hadi rahimahullah bahkan memandang shalat tarawih lebih afdal dilakukan di rumah, tidak di masjid

TARAWIH BAGI PEKERJA MALAM

Barusan dicurhati karyawan minimarket yang tidak bisa ikut tarawih berjamaah karena harus bekerja sampai jam 10 malam.

Untuk Anda yang bertugas di shift malam sehingga tidak bisa tarawih berjamaah di masjid, jangan berkecil hati. Sebenarnya Anda bisa tarawih sendiri di rumah sepulang Anda bekerja.

Waktu sholat tarawih itu panjang. Selama waktunya belum adzan subuh, Anda masih bisa shalat tarawih. 

Sebagai faidah.... Sebagian ulama seperti Syaikh Masyaikhina Muqbil bin Hadi rahimahullah bahkan memandang shalat tarawih lebih afdal dilakukan di rumah, tidak di masjid, berdalilkan hadits

« أفضل صلاةِ المرءِ في بيتِه إلَّا الصلاةَ المكتوبةَ»

Sebaik-baik shalat seorang lelaki itu di rumahnya, kecuali shalat wajib.

Dan shalat tarawih bukan shalat wajib, jadi silakan dikerjakan di rumah. Apalagi di rumah Anda bisa mengerjakannya di akhir malam, maka ini lebih utama lagi sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,

فإن صلاة آخر الليل مشهودة

Maka sesungguhnya shalat di akhir malam itu disaksikan. 

Maksudnya disaksikan malaikat, dan ini menunjukkan keutamaan shalat di akhir malam.

Jadi jangan kecil hati. 
Banyak kesempatan berburu amalan.

Wallahu a'lam.
Ustadz wira bachrun 

Mazhab hanbali mensunnahkan qunut witir dari awal ramadhan. Sedangkan mazhab syafi’i hanya baru disunnahkan di setengah akhir ramadhan.

Mazhab hanbali mensunnahkan qunut witir dari awal ramadhan. Sedangkan mazhab syafi’i hanya baru disunnahkan di setengah akhir ramadhan. 

Menurut mazhab hanbali hukumnya sunnah mengusap wajah setelah berdoa qunut witir. Akan tetapi menurut mazhab syafi’i hal tsb dimakruhkan.

Menurut mazhab hanbali, minum sedikit saat sholat tarawih tidak membatalkan sholatnya. Adapun menurut mazhab syafi’i hal tersebut membatalkan sholat. Adapun makan ketika sholat tarawih, maka kedua mazhab sepakat bahwa batal sholatnya.

Faedah Status Ust. Nur Fajri Romadhon, Lc., MA

Source Chanel telegram Ustadz Abdurrahmaan zahier
http://t.me/abdurrahmaanzahier

Bentuk Azab Allah yang Paling Dahsyat (Menurut Salaf)

Bentuk Azab Allah yang Paling Dahsyat (Menurut Salaf)
-----

Selama ini kita mungkin menganggap azab dunia hanya berupa; bencana, kematian, wabah penyakit, kelaparan, dikuasai oleh musuh, dan yang semisalnya. Namun ternyata bagi ulama Salaf, azab tidak hanya dalam wujud seperti itu. Bahkan bagi mereka, ada azab yang lebih dahsyat dari itu semua.

Malik bin Dinar rahimahullah pernah mengatakan:

انا لله عقوبات في القلوب والابدان؛ ضنك في المعيشة، ووهن في العبادة، وما ضرب عبد بعقوبة أظلم من قسوه القلب.

"Sesungguhnya Allah punya bermacam-macam azab untuk hati dan jasad -yang bermaksiat. Diantaranya dalam bentuk-; kesempitan urusan hidup, kelemahan dalam ibadah, dan tidaklah seseorang dihantam dengan suatu azab yang lebih parah daripada kerasnya qalbu."

Demikianlah, ternyata para Salaf punya pandangan yang berbeda dalam masalah ini. Anti mainstream dalam masalah ini. Sebagian mereka bahkan diriwayatkan merasa sedih jika melalui hari demi hari, selalu dalam keadaan sehat dan makmur. Mereka sedih tidak pernah ditimpa sakit. Karena bagi mereka, sakit itu pelebur dosa. Jika dihadapi dengan ikhtiar dan kesabaran, justru akan meninggikan derajat, di samping juga menambah pundi-pundi pahala.

Bagi mereka, derita materi, fisik dan kematian, bukanlah bentuk azab yang terberat. Rasa malas untuk beribadah dan mata yang tak pernah menangis mengingat akhirat karena kerasnya qolbu, di mata mereka adalah bentuk azab Allah yang paling dahsyat. 

Semoga Allah memaafkan, dan memperbaiki keadaan kita.

____
✍️ Johan Saputra Halim

By Admin

Fatwa Syaikh as-Salafi ‘Allamah Ibnu Jibrin rahimahullah yang menganjurkan ceramah (seperti kultum) di sela-sela shalat tarawih agar jama'ah shalat tidak bosan..

Fatwa Syaikh as-Salafi ‘Allamah Ibnu Jibrin rahimahullah yang menganjurkan ceramah (seperti kultum) di sela-sela shalat tarawih agar jama'ah shalat tidak bosan...
Ustadz Febby

Coba perhatikan, apa yang salah dari bacaan Ust Luthfi? Kualitas hafalan, juara 30 Juz Int’l di Mekkah. Huruf jelas keluarnya. Sifatnya bagus. Mulut bergerak terbuka sesuai harakatnya. Lalu mengapa guru kami, Syaikh Abdullah Al-Jarullah mengoreksi?

Coba perhatikan, apa yang salah dari bacaan Ust Luthfi? Kualitas hafalan, juara 30 Juz Int’l di Mekkah. Huruf jelas keluarnya. Sifatnya bagus. Mulut bergerak terbuka sesuai harakatnya. Lalu mengapa guru kami, Syaikh Abdullah Al-Jarullah mengoreksi?

Inilah seni Al-'ardh was Sima' ketika proses Talaqqi mengambil sanad hafalan Alquran ditegakkan. Di majlis sanad, yang dicari bukan lagi salah yang jelas, Lahn Jaliy. Melainkan salah yang tersembunyi, Lahn Khofiyy. Jenis kesalahan yang hanya diketahui para maha guru yang telinganya sudah mendengar ratusan hingga ribuan ragam bacaan dari seluruh dunia selama bertahun-tahun. Para Ahlus Shina'ah.

Di majlis mereka, sudah bukan lagi waktunya melancarkan hafalan, atau melatih hukum tajwid, apalagi mengenal makhraj & shifat huruf. Di majlis mereka, kita diajar cara membaca sepresisi dan sedekat cara Rasulullah & para sahabatnya membaca, Adaa' Ahlut Tahqiq. Ketat & susssah. Tak main-main. Tak basa-basi. Tak turun standarnya dari awal Alfatihah dibaca hingga juz 30 selesai dilantun. Salah ya salah, meski sedang safar, meski sedang letih.

Sebab itu, setiap yang rampung sanad hafalannya 30 juz di tangan Ahlut Tahqiq was Shina'ah, posisinya makin meninggi di mata Allah. Karena susah payah mengulangi bacaan yang tak tau di mana salahnya, tangis lelah hati kebas mendengar sentakan guru, jadi santapan harian.

Apa gerangan? Apa karena suara kurang indah? Lagu kurang syahdu? Maqamat kurang mendayu-dayu? Bukan itu. Malah yang begitu cenderung banyak tegur & salahnya.

Mari kita bahas sedikit tentang yang menjadi koreksian beliau.

Sebelum itu, ahsannya untuk mendoakan Syaikh Abdullah Jarallah dan Ust Luthfi semoga Allah mengangkat derajat mereka dan menjadi ladang pahala bagi mereka karena istifadahnya kita.

Fokus pada koreksian beliau di 
والذي قدر فهدى 
( karena itu saja yang kita dengarkan bacaan yang di koreksi. )

Di dalam Husnul adaa' yaitu dominan membahas Tentang Intonasi atau penekanan pada beberapa kalimat.

Beliau di tegur di sebabkan karena beliau tidak menabr Huruf Ha tapi malah menabrkan pada huruf Dal, Mengapa seperti itu ?

Qoidahnya
 كل موصول في الرسم     موصول في الصوت 
كل مفصول في الرسم       مفصول في الصوت

Seluruh kalimat yang tersambung dari segi Rasm ( tulisan ) maka bersambung juga dari segi suara ( tanpa ada nabr )

Seluruh kalimat yang terpisah dari segi Rasm ( tulisan ) maka terpisah juga dari segi suara ( berikan nabr ), dan dari Qoidah ini muncul Anak lagi

 الضغط أول الكلمة
Nabr / tekanan terletak pada awal kata.

Maka dengan patokan Qoidah di atas kita terapkan pada kalimat فهدى maka nabrnya terletak pada huruf ف

Tapi ada lagi Qoidahnya dan juga sekaligus menjadi Miqdarur Rasm yaitu 
حروف العطف لا تُحسب

Huruf Ataf mereka tidak termasuk awal dari kalimat maka dia tidak di pertimbangkan.

لأنها ليست من بنية الكلمة

Karena Huruf Athaf bukan bagian dari susunan kalimat tersebut

Maka dengan Qoidah tersebut timbullah natijah yang Shohih bahwa sanya yang menjadi awal dari pada rasm/kalimat tersebut yaitu ه pada kalimat هدى, maka hendaklah nabrnya terletak di ه

Contoh lain kalimat والضحى maka yang di tekan yaitu ض nya buka و

Lalu Koreksian yang kedua :

Beliau menekan pada huruf akhir yaitu د ( huruf yang terucap ). Lalu beliau di koreksi dengan Syaikh mencontohkan tidak menekan د, Mengapa seperti itu ?

Seluruh Kalimat yang berakhiran dengan dengan Mad maka jangan di tekat pada huruf yg bermad nya, contoh
هدى : د
كانوا : ن
والضحى : ح

Seluruh huruf yg di keluarkan dari ke 3 kalimat tersebut makan jangan di nabrkan, Mengapa ? 

1. Karena seakan2 mad nya lebih dari dua harakat
2. Karena Nabr di pertengahan kalimat tanpa ada sebabnya, maka dia akan memisahkan kalimat tersebut seperti
والضحى : والض حى

Kok bisa ?, kembali ke Qoidah di atas yaitu, كل مفصول في الرسم مفصول في الصوت 
Seluruh kalimat yang terpisah dari segi rasm maka terpisah juga dari segi suara ( memisah dengan mmberi nabr ) maka jika kita nabr pada huruf ح nya seakan2 terpisah kalimatnya seperti yang kita telah contohkan di atas.

Ingin belajar Husnul Adaa' lebih dalam lagi? Yuk mari sini nanti kami bisik

Barakallahu fiikum.
Semoga Allah menjaga kami dan juga mereka Hafizhahumallah

Miftahul Khair
Saudi Arabia 26 Maret 2024

https://www.facebook.com/share/v/Sapz6GMAUaVNn3tN/?mibextid=oFDknk

Senin, 25 Maret 2024

Hukum Menjadikan Hilal Bulan dan Bintang Sebagai Simbol Islam

Hukum Menjadikan Hilal Bulan dan Bintang Sebagai Simbol Islam

اتخّاذ الهلال شعارا

السؤال 1528
Pertanyaan no.1528 :

ما الذي يرمز إليه شعار الهلال والنجمة لدى المسلمين؟ لقد بحثت في موقعك على الإنترنت وكذلك في المراجع الموجودة في المكتبة لديَ ولم أعثر على شيء سوى إشارة إلى علم الإمبراطورية العثمانية. شكراً لك على اهتمامك.

Apa maksud dari simbol hilal bulan dan simbol bintang yang digunakan umat islam? saya pribadi sudah berusaha mencari di web  internet anda, begitu pula sudah saya cari-cari di setiap kitab-kitab rujukan yang ada, akan tetapi saya belum juga mendapatkan jawaban akan masalah ini kecuali hanya simbol kekaisaran Utsmaniyah, terimakasih atas perhatiannya. 

الجواب
Jawab :

الحمد لله.

Segala puji hanya milik Allah 

إن اتخاذ الأهلة أو النجوم شعاراً للمسلمين لا أصل له في الشرع ، ولم يكن معروفاً في عهد النبي صلى الله عليه وسلم ولا عهد خلفائه الراشدين بل ولا في عهد بني أمية ، 

Sesungguhnya menjadikan hilal-hilal dan bintang-bintang sebagai simbol syi'ar umat islam adalah perbuatan yang tidak berasaskan sama sekali dari syariat dan tidak ada sumbernya dari syariat, tidak pula dikenal di zaman Nabi shallaallahu alaihi wa sallam, dan tidak pula di zaman para khalifah empat, bahkan sampai di zaman kekhalifahan Bani Umayyah pun tidak dikenal. 

وإنما حدث بعد ذلك واختلف بعض أصحاب التواريخ في أول حدوثه ، وفي أول من فعله فقيل الفرس ، وقيل الإغريق ثم انتقل إلى المسلمين في بعض الحوادث ، ( يُنظر التراتيب الإدارية للكتاني 1/320 ) ،

Kemudian penampakan ini terjadi setelah zaman-zaman mereka, dan mereka para ahli sejarah sendiri berbeda pendapat dalam masalah ini siapa yang pertama mengangkat simbol ini. 
Katanya pertama yang mengangkatnya adalah persia, dan katanya pertama yang mengangkatnya sebagai simbol adalah mereka orang-orang yunani kuno yg kemudian ajaran ini pindah ke umat islam di sebagian kejadian zaman. [Lihat kitab at-Tarotib al-Idariyyah karya al-Kattaniy 1/320]

 ويقال أن اتخاذ الهلال سببه هو أن المسلمين حين فتحوا بعض بلاد الغرب وفي كنائسهم يعلو فيها الصليب وضع المسلمون بدل الصليب هذا الهلال فانتشر لذلك ، وعلى كلٍّ فالشعارات والرايات لابد وأن تكون موافقة للشرع وحيث أنه ليس هناك دليل على مشروعيتها فالأحرى ترك ذلك

Dikatakan juga bahwa sesungguhnya asal muasal hilal dijadikan simbol dimulai ketika umat islam menaklukkan sebagian negeri-negeri barat, dan di saat itu mereka mendapati di atas gereja-gereja terdapat simbol salib. Maka umat islam menggantinya dengan hilal bulan, lantas kemudian tersebarlah perkara ini. 

Intinya seluruh syi'ar-syi'ar dan bendera-bendera harus sesuai dengan ajaran syariat islam dan selama tidak ada satupun dalil atas pensyariatannya maka lebih baik ditinggalkan. 

 ، وليس الهلال ولا النجمة شعاراً للمسلمين ، ولو اتخذه بعض المسلمين ، وأما من جهة - ما يعتقده المسلمون في القمر والنجوم فإنهم يعتقدون أنها من خلق الله عز وجل لا تنفع ولا تضر ولا تؤثر بذاتها في الأحداث الأرضية ، وإنما خلقها الله لفوائد البشر ، ومن ذلك قول الله عز وجل : ( يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ .. الآية (189) سورة البقرة . نقل ابن كثير رحمه الله في معنى قوله قل هي مواقيت للناس : يعلمون بها حل دينهم وعدة نسائهم ووقت حجهم .. جعلها الله مواقيت لصوم المسلمين وإفطارهم وعِدَّة نسائهم ومحل دَيْنهم . تفسير ابن كثير

Gambar hilal dan bintang hakekatnya bukanlah simbol kaum muslimin meskipun sebagian umat islam menjadikannya simbol. 
Adapun tinjauan dari sisi akidah umat islam terhadap bulan dan bintang-bintang, maka mereka semua meyakini bahwa bulan dan bintang termasuk dari makhluk-makhluk Allah yang tidak dapat memberikan manfaat ataupun madhorot serta tidak dapat memberikan pengaruh terhadap apa yg akan terjadi di bumi. 

Tujuan Allah menciptakan bulan dan bintang tak lain melainkan hanya untuk kebaikan dan manfaat manusia, diantaranya sebagaimana Firman Allah :

“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal bulan, Katakanlah: "Hilal bulan itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.. ” (Al-Baqarah):189 

Imam Ibnu Katsir menjelaskan makna dari kata-kata “Katakanlah: "Hilal bulan itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia....” yakni : Dengan hilal-hilal tersebut para manusia jadi mengetahui kapan jatuh tempo membayar hutang, tempo masa iddah dan waktu haji mereka... Allah menjadikan hilal-hilal tersebut sebagai penentu waktu-waktu umat islam kapan berpuasa dan berbuka, kapan habisnya masa iddah, dan kapan jatuhnya tempo membayar hutang. [Tafsir Ibnu Katsir]

وقال القرطبي رحمه الله في تفسير الآية : تبيين لوجه الحكمة في زيادة القمر ونقصانه, وهو زوال الإشكال في الآجال والمعاملات والأَيْمان والحج والعُدَد والصوم والفطر ومدة الحمل والإجارات .. إلى غير ذلك من مصالح العباد.
ونظيره قوله الحق: "وجعلنا الليل والنهار آيتين فمحونا آية الليل وجعلنا آية النهار مبصرة لتبتغوا فضلا من ربكم ولتعلموا عدد السنين والحساب" [الإسراء: 12] .. وقوله : "هو الذي جعل الشمس ضياء والقمر نورا وقدَّره منازل لتعلموا عدد السنين والحساب" [يونس: 5] وإحصاء الأهلة أيسر من إحصاء الأيام . أنظر تفسير القرطبي .

Al-Qurtubi rahimahullah mengatakan dalam tafsir ayatnya: Hikmah di balik naik turunnya bulan adalah untuk menghilangkan rasa keragu-raguan dalam hal kesepakatan tempo di dalam bertransaksi, persumpahan, dalam masa haji, perjumlahan, puasa, berbuka puasa, masa hamil, dan masa sewa-menyewa serta kepentingan hamba lainnya. 

Terdapat juga ayat yang sepadan yaitu firman Allah : “Dan Kami jadikan malam dan siang dua tanda, lalu Kami hapus tanda malam dan jadikan tanda siang itu tampak, agar kamu mencari karunia dari Robbmu, dan agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungannya” {Al-Israa: 12}. 

Sebagaimana firman Allah lainnya : “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).” {Yūnus :5}
Dan menghitung hilal lebih mudah daripada menghitung hari. 
[Lihat tafsir Al-Qurtubi.]

أمّا النّجوم فقد قال علماء الإسلام خَلَقَ ( الله ) هَذِهِ النُّجُومَ لِثَلاثٍ جَعَلَهَا زِينَةً لِلسَّمَاءِ وَرُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ وَعَلامَاتٍ يُهْتَدَى بِهَا ، صحيح البخاري كتاب بدء الخلق كما قال تعالى : ( وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ لِتَهْتَدُوا بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ .. ) الآية 97 سورة الأنعام ، وقال تعالى : ( وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ وَأَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِير ) سورة تبارك آية 5 ، والله تعالى أعلم

Adapun Bintang-bintang, maka para ulama telah mengatakan bahwa bintang-bintang tersebut tidak diciptakan melainkan untuk tiga tujuan : Menghiasi langit, batu untuk melempari setan-setan, dan sebagai tanda-tanda petunjuk(arah kiblat, mata angin dll) 
Sebagaimana hal ini disebutkan di Sahih Bukhari bab “Awal penciptaan”, Allah Sang Maha kuasa berfirman : 
“Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut” {Al-'An`ām:97} dan juga Allah azza wa jalla berfirman : 
“Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala.”
{al-Mulk : 5}

=============
Terjemah : Abu Musa al-Mizzy
Sumber : Web islamqa
https://islamqa.info/amp/ar/answers/1528

Baru-baru ini beredar video salah satu peserta dari negeri kita tercinta yg mengikuti program tilawah Alqur’an bersama sayyidi Asy-Syaikh Aiman Rusydi Suwaid Allahu yahfadz. Namun, disana Syaikh memberikan catatan untuknya hingga viral dimana-mana, disebabkan gaya bacaannya yg dilagu-lagukan. Subhaanallah..

Bismillahi walhamdulillah, amma ba’du.

Baru-baru ini beredar video salah satu peserta dari negeri kita tercinta yg mengikuti program tilawah Alqur’an bersama sayyidi Asy-Syaikh Aiman Rusydi Suwaid Allahu yahfadz. 
Namun, disana Syaikh memberikan catatan untuknya hingga viral dimana-mana, disebabkan gaya bacaannya yg dilagu-lagukan. Subhaanallah..

Izinkan kami berbagi faidah dari guru kami Al ustadz Saih hafidzahullah berkaitan hal ini..

Dalam istilah para ulama tajwid dan qiraat, permasalahan ini dinamakan dengan Qiraatul Qur’aan bil Alhaan. Permasalahan ini sangat masyhur dan jadi bahasan yang cukup panjang di antara mereka. Alhaan diambil dari kata Lahn, yang berarti Tathriib wal Ghinaa‘. Suara-suara tambahan yang dikeluarkan dalam bentuk irama lagu dan lekukan atau getaran saat membaca Alquran. Lahn di sini bukan berarti kesalahan, karena dalam bab lain, ia bisa diartikan demikian. Lahn di bab ini sering disebut juga dengan Nagham.

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dan Al-Qasthalani menamakan fann ini dengan Qaanun An-Naghm. Aturan mengiramakan suara atau nada ketika melantunkan bacaan Alquran. Sebagaimana sya’ir Arab punya Qanuun Asy-Syi’r yang dinamakan dengan Al-‘Aruudh.

Dalam Fathul Baari disebutkan sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas,

‎أن داود عليه السلام كان يقرأ الزبور بسبعين لحنا ويقرأ قراءة يطرب منها المحموم وكان إذا أراد أن يبكي نفسه لم تبق دابة في بر ولا بحر إلا أنصتت له واستمعت وبكت

Bahwa Nabi Dawud membaca kitab Zabur dengan tujuh puluh tangga lagu. Dan ia membaca dengan bacaan yang menggetarkan orang yang demam. Jika ia ingin membuat dirinya menangis ketika membaca Zabur, maka tidak akan ada satu pun binatang di daratan atau di lautan kecuali terdiam dan mendengarkan bacaannya lalu menangis.

Tujuh puluh Lahn atau lagu, bermakna tiap lagu punya tangga lagu atau nada dan aturannya masing-masing. Saling membedakan antara satu sama lain. Jika kita kaitkan dengan nada atau lagu yang kita temukan hari ini, maka kita dapatkan penamaan lagu-lagu tersebut seperti Rast, Nahawand, Sikkah, Shoba‘, Hijaaz, Bayyati, ‘Ajam, Kurdi, dan lain-lain.

Maka bagaimana hukum orang yang membaca Alquran dengan lagu-lagu dan irama semacam itu?

Dasar hadits dalam bab ini adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Hudzaifah bin Al-Yamani bahwa Rasulullah bersabda,

‎اقرؤوا القرآن بلحون العرب وأصواتها ,وإياكم ولحون أهل الفسق ولحون أهل الكتابين وسيجيء بعدي أقوام يرجعون بالقرآن ترجيع الغناء والنوح لا يجاوز حناجرهم مفتونة قلوبهم وقلوب الذين يعجبهم شأنهم

“Bacalah Alquran dengan nada lagu orang Arab dan suara-suara mereka. Dan hindarilah nada lagu orang-orang fasik dan ahli kitab. Akan datang setelahku kelompok-kelompok yang men-tarji’ (mendengdangkan) Alquran dengan tarji’ (ketukan nada) nyanyian dan lagu sedih, dimana bacaan mereka tidak melewati kerongkongan mereka. Hati mereka telah diliputi fitnah sebagaimana hati orang-orang yang takjub dengan bacaan mereka.“

Hadis ini meskipun statusnya secara riwayat diperselisihkan, (diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di Al-Awsath, lalu Al-Baihaqi di Syu’ab Al-Iman) namun secara matan menurut beberapa ulama dibenarkan karena ada banyak dalil-dalil lain yang mendukung. Maka hadis di atas membatasi Lahn atau nada lagu apa yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Yang diperbolehkan adalah nada lagu orang Arab. Dan yang tidak diperbolehkan nada lagu ahli kitab nasrani di gereja mereka atau rahib-rahib di sinagog mereka begitu juga orang-orang fasik seperti kalangan syi’ah rafidhah yang meraung-raung di hari ‘Asyura, atau nada lagu para penyanyi dan pemusik yang fasik.

Dari hadis di atas juga, kita memahami bahwa keharaman melagukan atau mendendangkan bacaan Alquran tidaklah mutlak haram. Tidak pula mutlak boleh. Ada perinciannya secara hukum fikih. Seperti ini kira-kira perinciannya:
Memperindah dan memperbagus bacaan Alquran dengan suara adalah boleh secara konsensus (ijma’) di kalangan ulama. Yang jadi perselisihan di antara mereka adalah jika suara yang indah tersebut mengandung kadar yang berlebihan, dengan meletakkannya pada pakem Lahn/Ghinaa’ yang punya aturannya tersendiri.

Beberapa ulama yang membolehkannya adalah Imam Abu Hanifah dan pengikutnya, Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya, Ibnul Mubarak, dan ‘Atha’ dari kalangan tabi’in. Muhammad bin Nashr berkata, Ibnu Juraij berkata: “Aku bertanya pada ‘Atha’ bolehkah membaca Alquran dengan Ghinaa’ (lagu) ia menjawab: “Ada apa dengan cara membaca demikan?” Beberapa ulama menghukuminya tidak boleh. Namun ketidakbolehannya terbatas pada makruh. Di antara yang berkata demikian adalah Imam Malik, Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya, Sa’id bin Al-Musayyib, Sa’id bin Jubair, Al-Qasim bin Muhammad, Al-Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirin, An-Nakha’i dari Anas bin Malik. Begitu juga Ibnu Baththal dan Al-Qadhi ‘Iyadh dari kalangan Malikiyyah, Al-Mawardi, Al-Ghazali dari kalangan Syafi’iyyah, dan Abu Ya’la dan Ibnu ‘Aqil dari kalangan Hanabilah.

Sebagian lagi bahkan menghukumi haram mutlak. Seperti pendapat ‘Abdul Wahhab dari kalangan Malikiyyah dan Ibnu Hamdan dari kalangan Hanabilah.

Lantas bagaimana menengahi persoalan ini?
Menurut penulis kitab Sunan Al-Qurra’ wa Manahij Al-Mujawwidin, Dr. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Al-Qari’, bahwa permasalahan ini bisa ditengahi dengan menyimpulkan bahwa memperindah suara saat membaca Alquran dengan Naghm/Lahn dan aturan-aturannya adalah boleh dengan 4 syarat.

Syarat pertama, jangan sampai keindahan lagu atau ayunan nadanya menutupi benarnya dan selamatnya bacaan Alquran dengan tajwid. Jika aturan-aturan lagu atau ayunan nada tersebut menyebabkan hukum tajwid berantakan, atau aturan ‘Adaa’ (bacaan) menjadi hilang, maka hukumnya haram.

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Fathul Bari mengutip pendapat Imam An-Nawawi setelah menjelaskan perselisihan ulama dalam bab ini,

‎ومحل هذا الاختلاف إذا لم يختل شيء من الحروف عن مخرجه فلو تغير قال النووي في التبيان أجمعوا على تحريمه

“Titik permasalahan di bab ini adalah apabila ada huruf yang keluar dari makhrajnya maka jika ia berubah, Imam An-Nawawi mengatakan bahwa ulama sepakat yang demikian adalah haram.”

Ibarah Imam An-Nawawi dalam At-Tibyan,

‎قال العلماء رحمهم الله فيستحب تحسين الصوت بالقراءة ما لم يخرج عن حد القراءة بالتمطيط فإن أفرط حتى زاد حرفا أو أخفاه فهو حرام وأما القراءة بالألحان فقد قال الشافعي في موضع أكرهها وقال في موضع لا أكرهها وقال أصحابنا ليس قولين بل فيه تفصيل إن أفرط في التمطيط فجاوز الحد فهو الذي كرهه وإن لم يجاوز فهو الذي لم يكرهه

Para ulama rahimahumullah berkata: “Dianjurkan untuk memperindah suara saat membaca Alquran sepanjang tidak keluar dari batasan bacaan yang benar disebabkan oleh Tamthith (mengaret-ngaretkan/memanjang-manjangkan bacaan). Maka jika ia berlebihan sampai menambah satu huruf atau menyembunyikannya maka hukumnya haram. Adapun membaca Alquran dengan Alhaan (tangga-tangga lagu) maka Imam Syafi’i berkata makruh di satu kesempatan, dan berkata tidak makruh di kesempatan lain. Para pengikut mazhabnya berkata: “Imam Syafi’i tidak berpendapat dengan keduanya secara bersamaan, melainkan ada perincian. Apabila berlebihan dalam memanjangkan bacaan hingga keluar batas maka itu yang dihukumi makruh, jika tidak keluar batas maka itu yang tidak dihukumi makruh.”

‎وقال أقضى القضاة الماوردي في كتاب الحاوي القراءة بالأاحان الموضوعة إن أخرجت لفظ القرآن عن صيغته بإدخال حركات فيه أو إخراج حركات منه أو قصر ممدود أو مد مقصور أو تمطيط يخفي به بعض اللفظ ويلتبس المعنى فهو حرام يفسق به القارئ ويأثم به المستمعون لأنه عدل به عن نهج القويم إلى الاعوجاج والله تعالى يقول : ((قرآنا عربيا غير ذي عوج)) وقال وإن لم يخرجه اللحن عن لفظه وقرائته على ترتيله كان مباحا لأنه زاد على ألحانه في تحسينه

Al-Imam Al-Qadhi Al-Mawardi Asy-Syafi’i berkata di kitabnya Al-Haawi: “Membaca Alquran dengan tangga-tangga lagu atau nada jika mengeluarkan lafaz Alquran dari bentuk asalnya dengan memasukkan harakat tambahan ke dalamnya atau mengeluarkan harakat-harakat darinya atau memendekkan yang panjang atau memanjangkan yang pendek atau mengaret-ngaretkan bacaan hingga menghilangkan sebagian lafaz dan mencampuradukkan makna maka ini adalah haram, pembacanya dihukumi fasik dan pendengarnya juga berdosa. Sebab dia telah belok dari metode yang lurus menuju kebengkokan, dan Allah ta’ala berfirman; “Inilah Alquran dalam bahasa Arab tidak mempunyai sedikitpun kebengkokan”. Akan tetapi jika lagu atau nada tersebut tidak mengeluarkan bacaannya dari lafaz asalnya dan tidak menghilangkan pondasi tartilnya maka ia boleh, sebab dia memperindah bacaan Alqurannya dengan lagu-lagu itu.“

Syarat kedua, adanya lagu, irama dan nada saat membaca Alquran tidak boleh menghilangkan keagungan dan kemuliaan Alquran, juga menghilangkan khusyu’ dan adab saat membacanya. Karena sebagian lagu atau aturan nada itu ada yang tidak layak untuk digunakan membaca Alquran. Lagu-lagu itu bersandar pada cengkok atau getaran yang tidak membangkitkan rasa khusyu’, rasa takut, dan rasa ingat kepada Allah. Ia hanya mainan dan kesia-siaan yang menimbulkan rasa senang dan dendang lagu pada hati pendengar yang tidak layak dengan posisi Alquran. Padahal ada tangga-tangga lagu atau aturan nada yang dengannya bisa menumbuhkan rasa sedih dan khusyu’ yang cocok dengan maqam dan derajat Alquran.

Allah berfirman,

‎أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ ۖ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ 

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid: 16)

Allah berfirman,

‎لَوْ أَنْزَلْنَا هَٰذَا الْقُرْآنَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ ۚ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُون

“Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” (QS. Al-Hasyr: 21)

Allah berfirman,

‎اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang , gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.” (QS. Az-Zumar: 23)

‎عن أم المؤمنين عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إن أحسن الناس قراءة الذي إذا قرأ رأيت أنه يخشى الله (رواه أبو نعيم والطبراني)

Dari Ummil Mukminin Aisyah bahwa Nabi Muhammad bersabda: “Sesungguhnya orang yang paling bagus bacaannya adalah yang jika ia membaca kamu lihat ia takut Allah” (HR. Abu Nu’aim dan Ath-Thabrani).

‎كان يقال أحسن الناس صوتا بالقرآن أخشاهم لله (رواه ابن ماجه عن أبي الزبير عن جابر مرفوعا)

Dikatakan bahwa orang yang paling indah suaranya saat membaca Alquran adalah yang paling takut pada Allah. (HR. Ibnu Majar dari Abu Zubair dari Jabir secara marfu’)
Bersandarkan ayat-ayat dan hadits di atas, hendaknya seorang pembaca Alquran memperindah tartilnya dengan tangga irama atau nada yang jauh dari cara orang-orang ‘ajam yang fasik, karena Alquran turun dengan bahasa Arab. Maka tidak mengapa pula jika seseorang memperindah bacaannya dengan aturan-aturan nada orang-orang Mesir, atau orang-orang Hijaz atau orang-orang Afrika yang berbahasa Arab fusha seperti Sudan, Al-Jazair, dan Maroko. Dan menghindari lagu atau nada yang melenakan dengan tambahan-tambahan madd atau melumat huruf-huruf hijaiyyah sehingga bacaannya menjadi buram dan tidak jelas.

Syarat ketiga, hendaknya nada atau irama yang digunakan untuk memperindah bacaan Alquran adalah yang condong pada nada atau irama Tahziin, yang membuat pembaca dan pendengar bersedih. Karena itu nada dan irama yang sesuai dengan maqam Alquran, yang akan mengajak pendengar dan pembacanya kepada khusyu’, khasyyah, dan tangisan. Itu pula mengapa sebagian ulama menafsirkan hadis anjuran melagukan bacaan Alquran dengan cara membuat pembaca dan pendengarnya sedih, seperti penafsiran Imam Asy-Syafi’i dan Imam Al-Laits.

Sa’ad bin Abi Waqqash berkata, bahwa Rasulullah bersabda,

‎إن هذا القرآن نزل بحزن فإذا قرأتموه فابكوا فإن لم تبكوا فتباكوا وتغنوا به فمن لم يتغن به فليس منا

“Sesungguhnya Alquran turun membawa kesedihan, maka jika kalian membacanya menangislah jika belum bisa menangis maka berpura-puralah menangis. Perindahlah Alquran dengan nada dan irama, siapa yang tidak berupaya demikian maka dia bukan bagian dari kami.” (HR. Abu Dawud, Ad-Darimi, Ahmad, Al-Hakim, dan Ibnu Majah)
Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya berkata, bahwa Rasulullah berkata,

‎اقرؤوا القرآن بحزن فإنه نزل بحزن

“Bacalah Alquran dengan cara bersedih, karena sungguh ia turun demikian.” (HR. Ath-Thabrani dan Abu Nu’aim)

Dari Abdullah bin ‘Abbas bahwa Rasulullah berkata,

‎إن أحسن الناس قراءة من قرأ يتحزن به

“Sungguh orang yang paling bagus bacaannya adalah yang saat membacanya bersedih.” (HR. Ath-Thabrani)

Dari Abu Hurairah bahwa,

‎أنه قرأ سورة فحزنها شبه الرثى

“Ia membaca sebuah surat Alquran lalu menyedih-nyedihkannya mirip dengan cara ritsaa’ (sedih ditinggal wafat). (HR. Ibnu Abid Daud dengan sanad yang hasan.)

Namun yang mesti jadi catatan, hendaknya perasaan sedih saat membaca Alquran tidak melewati batas, seperti Ahli Niyaahah (orang yang meraung-raung dalam tangisan sebab ditinggal wafat), karena hal ini terlarang. Dan untuk membatasinya dibutuhkan pengamatan orang-orang yang mutqin dan dhaabith, para pakar. Ada pun para pemula sangat susah.

Syarat keempat, hendaknya para pembaca Alquran menggunakan irama dan nada sesuai kebutuhannya untuk memperindah dan menghiasi Alquran dengan suaranya. Tidak boleh berlebihan (Takalluf) dan berpayah-payahan (Ta’assuf) untuk mencari mata pencahariannya dengannya, seperti yang dilakukan oleh qari’-qari’ pesta, radio dan siaran-siaran langsung. Di mana mereka membacanya dengan membebani dirinya sendiri dengan cara dibuat-buat, sampai nafasnya tersengal-sengal, nampak urat lehernya, terpejam-pejam matanya, mereka membacanya untuk memenuhi hawa nafsunya, atau untuk mencari kemasyhuran, atau karena tamak pada harta.
Orang-orang yang takjub pada mereka yang membaca dengan cara ini biasanya hanya takjub pada indahnya suara dan irama yang membuat mereka berteriak-teriak senang. Namun ayat-ayat Alqurannya sendiri, mereka amat tidak tahu tentang hukum dan kandungan isinya. Imam Al-Qurthubi meriwayatkan dalam muqaddimah tafsirnya,

‎روي عن القاسم بن محمد عن مالك أنه سئل عن الألحان في الصلاة فقال لا يعجبني وقال إنما هو غناء يتغننون به ليأخذوا عليه الدراهم

Diriwayatkan dari Al-Qasim bin Muhammad dari Imam Malik bahwa ia ditanya tentang bacaan berirama dan berlagu dalam salat, maka ia menjawab, “Hal itu tidak aku sukai. Hal itu hanyalah lagu dan irama yang didendangkan agar orang-orang membayar mereka dengan beberapa dirham.”

Inilah kemudian syarat-syarat yang membatasi bacaan Alquran dengan irama, lagu, atau nada, atau nagham, maqamat, apapun sebutannya yang digunakan untuk memperindah bacaan. Dan ini merupakan pendapat yang tengah-tengah, tidak terlalu ketat juga tidak terlalu longgar. Bahwa memperindah bacaan Alquran merupakan hal yang dianjurkan oleh syari’at, bahkan buat mereka yang awalnya tidak punya kemampuan untuk memperindah bacaannya pun dianjurkan untuk melatih suaranya agar bisa memperindah bacaanya.

Adapun adanya sebagian ulama besar dari kalangan sahabat, tabi’in dan yang datang setelah mereka dari mulai Anas bin Malik, Sa’id bin Al-Musayyib, Imam Malik, Imam Ahmad, yang memakruhkan membaca Alquran dengan Alhaan, adalah jika irama dan nada tersebut menyebabkan bacaan mereka salah secara tajwid dan makhrajnya. Tidak makruh secara mutlak. Di antara atsar yang menguatkan hal tersebut adalah bahwa suatu ketika seorang lelaki bertanya pada Imam Ahmad, “Apa pendapatmu tentang orang yang membaca Alquran dengan Alhaan (nada dan irama)?” Imam Ahmad balik bertanya, “Siapa namamu wahai lelaki?” Ia menjawab, “Namaku Muhammad”. Lantas Imam Ahmad berkata, “Apakah kamu senang jika kamu dipanggil dengan ‘Muuuuhammad??'”

Atsar di atas menegaskan bahwa yang dimakruhkan adalah jika sampai menambah satu huruf baru atau memanjangkan yang pendek. Begitu juga mereka yang mengiramakan bacaan Alquran dengan tangga lagu-lagu satani (musik), di mana hal ini adalah batil, dan Lahwu (bermain-main).

Saat suatu ketika Al-Qasim bin Muhammad melewati orang yang sedang membaca Alquran di masjid Nabawi dengan melagukan dan memanjangkannya dengan cara bermusik. Al-Qasim bin Muhammad mengomentari dengan membaca surah Fusshilat ayat 42, “Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”

‎لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ ۖ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ

Terakhir, semua permasalahan ini disimpulkan oleh Asy-Syaikh Al-Muqri’ Al-‘Allamah Ibrahim As-Samannudi dalam beberapa bait nazhamnya:

‎وجازت الأنغام بالميزان # واضعه موسى أو الخاقاني

Dan boleh membaca Alquran dengan Nagham dengan ukuran dan timbangan (tajwid), yang diletakkan dasar-dasarnya oleh Musa atau Al-Khaqani

‎أركانه معرفة المخارج # كذا الصفات ثم أحكام تجي

Rukun-rukunnya adalah mengetahui makhraj huruf, kemudian sifat-sifatnya, lalu hukum-hukum tajwidnya membersamai.

‎وهكذا رياضة والأخذ عن # أفواه عارفه خمسة تعن

Begitu pula dengan latihan dan mengambil langsung dari mulut para ahli dan pakarnya. Itulah lima rukun yang membantu.

Wallahu a’lam bishshawab. 🌹
Ustadz andika putra 

Janganlah koreksi dirimu dengan standart perkataan orang, tetapi koreksilah dengan kitabullah dan sunnah rasullah sebagaimana yang dijalankan para shahabat..

Janganlah koreksi dirimu dengan standart perkataan orang, tetapi koreksilah dengan kitabullah dan sunnah rasullah sebagaimana yang dijalankan para shahabat..

#shahihfiqih #nasehatulama #muhasabah

Ahli Bid'ah tidak boleh di sebutkan kebaikan² mereka agar orang yg bodoh tidak tertipu dengan mereka

أهل البدع لا تذكر محاسنهم لكي لا يغتر الجاهل بهم

Ahli Bid'ah tidak boleh di sebutkan kebaikan² mereka agar orang yg bodoh tidak tertipu dengan mereka

قال رافع بن أشرس: "من عقوبة الفاسق المبتدع أن لا تذكر محاسنه"! .

Rafi' bin Asyras berkata: "Di antara hukuman bagi orang yg fasiq ahli bid'ah adalah agar tidak di sebutkan kebaikan²nya."

شرح علل الترمذي ١/٣٥٣
Ustadz abu yahya tomy

Suatu kali Asy Syaikh Al Ushuli Abdullah Al Ghudayyan diundang untuk mengisi ceramah umum di salah satu masjid di Jedah

Suatu kali Asy Syaikh Al Ushuli Abdullah Al Ghudayyan diundang untuk mengisi ceramah umum di salah satu masjid di Jedah. Ketika sudah dekat masji, beliau melihat parkiran mobil penuh dan panjang. Beliau keheranan " Ada apakah dengan mobil mobil ini ?" Tanya beliau. Maka sopir beliau menjawab " Mereka menghadiri ceramah anda wahai Syaikh !". Spontan beliau berkata " Mereka semua ?!! Yaa Allah jangan Engkau sesatkan kami dengan sifat ujub !!".
____
Asy Syaikh Shalih Al Ushaiyimi memberikan catatan penting atas kejadian diatas : " Syaikh Ibnu Ghudayyan kuatir dirinya tertipu oleh sifat ujub padahal usia beliau saat itu 80-an tahun. Demikianlah, barangsiapa yang memahami Tauhid maka tidak akan tertipu oleh banyaknya pendengar, tidak akan memperdulikan itu, bahkan mengharap saja tidak terlebih gembira dengan itu ... semoga Allah merahmati Syaikh Abdullah.
ustadz jabir

Adzân dan Iqâmah bagi wanita yang shalat sendirian

Adzân dan Iqâmah bagi wanita yang shalat sendirian

Al-'Allâmah Ibnu 'Utsaimîn rahimahullâh ditanya 

Pertanyaan tentang hukum iqâmah shalat pada hak wanita ? 

Jawab: 
"Tidak mengapa wanita menegakkan iqâmah shalat jika ia shalat di rumahnya, dan jika ia tidak menegakkan iqâmah shalat maka tidak mengapa pula atasnya, sebab iqâmah itu sungguh hanyalah diwajibkan atas jamâ'ah lelaki, sekalipun lelaki munfarid (sendirian) jika ia shalat munfarid, maka sungguh iqâmah tidak wajib atasnya, dan jika ia iqâmah maka itu afdhal, dan jika ia tidak iqâmah maka tidak mengapa atasnya."

[Majmû' Fatâwâ 12/159]

FBPenerjemah: Dihyah Abdussalam 
IG Penerjemah: @mencari_jalan_hidayah

seandainya seorang wanita menginginkan pahala lebih banyak dari itu semuanya maka hendaklah ia shalat di rumahnya berdasarkan sabda nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam: "Dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka"."

Al-'Allâmah Al-Albâniy rahimahullâh berkata: 

"Pahala shalat wanita berjamâ'ah di masjid akan dilipatgandakan sebagaimana bagi laki-laki yang dilipatgandakan sebanyak dua puluh tujuh derajat, dan di masjid nabawi sebanyak seribu kali dari masjid lainnya, di masjidil harâm sebanyak seratus ribu kali, adapun seandainya seorang wanita menginginkan pahala lebih banyak dari itu semuanya maka hendaklah ia shalat di rumahnya berdasarkan sabda nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam: "Dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka"." 

[Silsilah Al-Hudâ Wan Nûr, rekaman no 270]

FB Penerjemah: Dihyah Abdussalam 
IG Penerjemah: @mencari_jalan_hidayah

dibolehkan mengerjakan shalat Isya berjamâ'ah dengan orang yang sedang shalat tarâwîh, dan apabila imâm salam dari raka'at kedua, maka orang yang sedang mengerjakan shalat Isya di belakang imâm berdiri dan ia menyempurnakan shalat dua raka'at yang kurang.

Saudaraku waffaqakallah (semoga Allâh memberi taufîq kepadamu)

Jika shalat Isya telah terlewatkan olehmu, sementara imâm sedang shalat tarâwîh, maka tidak mengapa masukmu bersama imâm dengan niat shalat Isya, dibolehkan mengerjakan shalat Isya berjamâ'ah dengan orang yang sedang shalat tarâwîh, dan apabila imâm salam dari raka'at kedua, maka orang yang sedang mengerjakan shalat Isya di belakang imâm berdiri dan ia menyempurnakan shalat dua raka'at yang kurang. 

[Fatâwâ Al-Lajnah Ad-Daimah 7/402]

As-Syaikh Ibnu Bâz rahimahullâh berkata:

"Tidak mengapa ia shalat bersama mereka (jamâ'ah shalat tarâwîh) dengan niat Isya menurut pendapat yang paling shahîh dari dua qaul 'ulamâ', dan apabila Imâm salam, maka ia berdiri dan sempurnakan shalatnya."

[Majmû' Al-Fatâwâ 12/181]

FB Penerjemah: Dihyah Abdussalam 
IG Penerjemah: @mencari_jalan_hidayah

At-Tathrîb Fiy Al-Adzân (Bernyanyi dalam mengumandangkan adzân)

At-Tathrîb Fiy Al-Adzân (Bernyanyi dalam mengumandangkan adzân)

Dari 'Umar bin Sa'îd bin Abiy Husin Al-Makkiy bahwasanya ada seorang muadzdzin mengumandangkan adzân kemudian ia mentathrîb pada adzânnya, lalu 'Umar bin 'Abdil 'Azîz berkata kepadanya: "Kumandangkanlah adzân dengan samhan, dan jika tidak menyinhkirlah maka menyingkirlah dari kami."

[Mushannaf Ibnu Abiy Syaibah 2375]

Kumandangkanlah adzân dengan samhan, maksudnya: "Tanpa tathrîb (menyanyikan) dan tanpa lahn (lagu)."

[Al-Mugharrab Fiy Tartîbil Mu'arrab karya Al-Mutharrîziy hal 234]

FB Pensremah: Dihyah Abdussalam 
IG Penerjemah: @mencari_jalan_hidayah

Oang-orang berilmu pada tinggal di kota-kota

Oang-orang berilmu pada tinggal di kota-kota... 

"Ulama (orang-orang alim/berilmu) itu biasanya berasal dari kampung dan desa, tapi mereka tidak tinggal di kampung atau desa, bahkan di kota-kota" (Tafhimul Mutafahhim, Sayarh Ta'limul Muta'allim,oleh Isma'il Bin Utsman Bin Bakr Bin Yusuf, hal.109, Darul Hadyil Muhammadi) . 

Kenapa demikian?
Karena kebanyakan penduduk desa itu jauh dari ilmu. Sehingga untuk menuntut ilmu pun harus mencari tempat lain yaitu di kota-kota. 

Yang kita saksikan,seringkali di desa itu ilmu tidak dimanfaatkan dan tidak dihargai, sehingga demi untuk menjaga keutuhan Islam dan agar ilmu ini tetap terpelihara, maka orang-orang berilmu itu pun banyak yang pindah ke kota karena di sana ilmu mereka disambut dengan baik sehingga mereka bisa mengajarkan ilmunya dengan mudah. 

Apa ada yang mau bertahan di desa, ya ada, tapi jarang yang bisa optimal dalam mengajar. Apalagi pola pikir penduduk desa yang sering kaku dan sulit diajak maju dan berpendidikan rendah. 

Jadi, ya silahkan dipertimbangkan matang-matang, pilih strategi jitu untuk mengajarkan ilmu ini kepada mereka. 

Ingat, Islam di awal-awal dulu saat Nabi -shallallahu alaihi wasallam- tinggal di Mekah, betapa sulit dakwah di sana, sampai Allah pun perintahkan beliau untuk hijrah ke Kota Madinah dan Islam pun jaya sampai saat ini, bahkan Mekah pun juga menjadi gudang ilmu sampai saat ini. 

Sambil memohon pertolongan kepada Allah, yuk terus berusaha mengajarkan ilmu ini. 

Wabillahit taufiq wal minnah
Ustadz ahmad muzaqi 

Sedang ramai bacaan Al Qur'an yg mendayu-dayu, kemudian mendapatkan koreksian yg cukup tegas dari Syaikh Al Muqri' DR. Ayman Rusydi Suwaid Hafizhahullah

Sedang ramai bacaan Al Qur'an yg mendayu-dayu, kemudian mendapatkan koreksian yg cukup tegas dari Syaikh Al Muqri' DR. Ayman Rusydi Suwaid Hafizhahullah.

Jadi teringat kitab beliau yg berjumlah 50-an halaman yg membahas khusus terkait hukum membaca Al Qur'an dgn irama tertentu. Kitab yg diberikan pujian oleh beberapa Ulama besar, diantaranya Syaikh Al 'Allamah Ibnu Baz Rahimahullah.

Kesimpulannya:
1. Bacaan Al Qur'an dengan irama tertentu adalah bid'ah.
2. Jika irama tdk berpengaruh pada hukum tajwid, maka hukumnya makruh.
3. Jika irama berpengaruh terhadap hukum tajwid, maka ijma' Ulama hukumnya haram, dan haram pula mendengarkannya.
4. Bagaimana dgn hadits "ليس منا من لم يتغن بالقرآن"?. Maka maksud kata "يتغن" menurut Imam Sufyan bin 'Uyainah adalah mencukupkan diri dgn Al Qur'an daripada selainnya.
5. Syaikh Ayman juga mencantumkan fatwa Syaikh 'Abdul Fattah Al Marshafi Rahimahullah (penulis kitab Hidayatul Qari' ila Tajwidi Kalamil Bari): "Sesungguhnya bacaan Al Qur'an dengan irama atau nagham musiqiyyah tidaklah diperbolehkan apapun alasannya, walaupun tidak berpengaruh terhadap hukum tajwid, dst..."

Demikian kesimpulan ringkas dari kitab yg sdh dibeli tahun lalu, tapi blm sempat dibaca. 😁 Jika ada yg memilih pendapat berbeda, maka sah-sah saja. Asalkan tetap fokus kepada bacaan, bukan iramanya. Tetap jaga adab dalam berkomentar guys. ☺️

📝 Akhukum Abu Azam Khairil Ansori.

Minggu, 24 Maret 2024

Termasuk bid’ah yang munkar adalah apa yang dibuat pada zaman ini. Yaitu diberlakukannya adzan kedua sebelum terbitnya fajar dengan perkiraan waktu 20 menit di bulan ramadhan dan mematikan pencahayaan lampu-lampu (lentera) yang dijadikan sebagai tanda akan haramnya makan dan minum untuk orang yang hendak berpuasa dengan klaim mereka untuk menjaga-jaga di dalam ibadah..

Ada salah satu ucapan dari seorang kiyai yang mengkritik pendapat akan bid’ahnya penentuan waktu imsak sebelum adzan subuh ketika puasa. Ketika itu, beliau mengomentari pendapat ustadz Khalid Basalamah -hafidzahullah-.
Sang kiyai berkata: “Tiap ramadhan selalu muncul pernyatan ustaz-ustaz Salafi yang membid’ahkan Imsak. Hal ini berawal dari Fatwa Syekh Utsaimin. Tapi memang para pengikutnya di Indonesia kurang baca kitab-kitab sesama mereka, akhirnya kebenaran hanya dianggap datang dari 1 Syekh saja.”

Di akhir tulisan, sang Kiyai berkata: “Dalil imsak ada ustaz. Anda saja yang tidak tahu”.

(Selesai)

Di sini saya akan uraikan jawaban dari pernyataan Kiyai dengan beberapa point:

1.Ucapan kiyai: “Hal ini berawal dari Fatwa Syekh Utsaimin. Tapi memang para pengikutnya di Indonesia kurang baca kitab-kitab sesama mereka.”

Jawab: Sang Kiyai tidaklah tepat, sebab pendapat bid’ahnya menentukan waktu imsak sebelum adzan subuh sudah ada sebelum syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah hidup. Karena ibnu Hajar al-Asqalani -rahimahullah- sudah berpendapat hal yang sama sebelum itu.

Ibnu Hajar berkata:

مِنَ ‌الْبِدَعِ ‌الْمُنْكَرَةِ ‌مَا ‌أُحْدِثَ ‌فِي ‌هَذَا ‌الزَّمَانِ ‌مِنْ ‌إِيقَاعِ ‌الْأَذَانِ الثَّانِي قَبْلَ الْفَجْرِ بِنَحْوِ ثُلُثِ سَاعَةٍ فِي رَمَضَانَ وَإِطْفَاءِ الْمَصَابِيحِ الَّتِي جُعِلَتْ عَلَامَةً لِتَحْرِيمِ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ عَلَى مَنْ يُرِيدُ الصِّيَامَ زَعْمًا مِمَّنْ أَحْدَثَهُ أَنَّهُ لِلِاحْتِيَاطِ فِي الْعِبَادَةِ وَلَا يَعْلَمُ بِذَلِكَ إِلَّا آحَادُ النَّاسِ وَقَدْ جَرَّهُمْ ذَلِكَ إِلَى أَنْ صَارُوا لَا يُؤَذِّنُونَ إِلَّا بَعْدَ الْغُرُوبِ بِدَرَجَةٍ لِتَمْكِينِ الْوَقْتِ زَعَمُوا فَأَخَّرُوا الْفِطْرَ وَعَجَّلُوا السُّحُورَ وَخَالَفُوا السُّنَّةَ فَلِذَلِكَ قَلَّ عَنْهُمُ الْخَيْر وَكثير فِيهِمُ الشَّرُّ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ

“Termasuk bid’ah yang munkar adalah apa yang dibuat pada zaman ini. Yaitu diberlakukannya adzan kedua sebelum terbitnya fajar dengan perkiraan waktu 20 menit di bulan ramadhan dan mematikan pencahayaan lampu-lampu (lentera) yang dijadikan sebagai tanda akan haramnya makan dan minum untuk orang yang hendak berpuasa dengan klaim mereka untuk menjaga-jaga di dalam ibadah.........

Baca selengkapnya di: https://www.abdurrahmanalamiry.com/2024/03/tidak-ada-imsak-sebelum-adzan-subuh.html

Satu lagi peringatan Keras yang diberikan Syeikh Dr. Aiman Suwaidy tentang praktek Takalluf dalam tilawah Al Qur'an.

https://www.facebook.com/share/v/p5d7fAQcXnHMnzYU/?mibextid=oFDknk

Satu lagi peringatan Keras yang diberikan Syeikh Dr. Aiman Suwaidy tentang praktek Takalluf dalam tilawah Al Qur'an.

Dalam vedio ini beliau memberikan catatan yang tegas bahwasanya Al Qur'an  itu Bukan sebuah Lirik nyanyian yang disibukkan memperindah alunan suara merdu yang mendayu² sehingga melalaikan orang yang mendengarkannya dari Makna yang dimaksudkan dari yang dibaca tersebut.  Al Qur'an itu merupakan Undang-undang (konstitusi) kehidupan manusia, yang berisi Perintah dan larangan Allah yang mesti ditadabburi oleh setiap hari-hati manusia. Bukan dilalaikan dengan tangga nada seperti nyanyian.

Dan beliau memperingatkan bahwa cara membaca seperti ini BUKANLAH Al Qur'an.

Suara yang indah dalam membaca Al Qur'an memang diperintahkan, akan tetapi Maksud dari perintah tersebut agar hati-hati manusia meresapi makna ayat bukan terlena dengan alunan suaranya.

Dan cara membaca Al Qur'an yang model ini sangat banyak dilakukan oleh kaum muslimin seperti dari Philipina, Indonesia, Malaysia dll.

Syeikh juga menyampaikan: Al Qur'an itu diperintahkan untuk dibaca dengan cara yang benar sesuai yang dicontohkan oleh Rasulullah dan diteruskan oleh para Imam-imam qira'at. Agar makna-makna yang terkandung di dalamnya meresap ke dalam hati-hati kaum muslimin, Sehingga bertambah keimanannya kepada Allah.

Catatan tambahan dari ana:

Pelajarilah cara tilawah Al-Qur'an yang benar, jangan hanya sekedar mengandalkan suara yang indah namun jauh dari ketepatan makhraj, shifat dan hukum-hukum tajwid.

Ustadz Febrio Firdaus


Jika mereka memperlama berdiri dan mempersingkat sujud, maka hal itu adalah baik, dan jika mereka memperbanyak sujud dan meringankan bacaan, maka hal itu pun baik dan yang pertama lebih aku sukai.

Imam asy-Syafi'i Rahimahullah tidak pernah mengajarkan Shalat Tarawih dengan ngebut. Bahkan beliau menyukai kalau Shalat Tarawih itu sedikit rakaat nya dan lama shalat nya.

Beliau rahimahullah pernah berkata :
"Jika mereka memperlama berdiri dan mempersingkat sujud, maka hal itu adalah baik, dan jika mereka memperbanyak sujud dan meringankan bacaan, maka hal itu pun baik dan yang pertama lebih aku sukai." (Fathul Baari Syarah Hadits 2010 dari Shahih al-Bukhari)
Al akh prima 

Kenapa kalian tidak belajar lagi kepadaku?

Kenapa kalian tidak belajar lagi kepadaku?