TIDAK SEMUA LAYAK DIMAAFKAN DAN BOLEH MEMBALAS KEDZOLIMAN.
Memaafkan adalah sikap yang baik. Ishlah bagi kelompok yang bertikai adalah ketaatan, karena memang kita diperintahkan untuk menjadi hamba Allah yang bersatu dan bersaudara. Namun ini semua adalah keutamaan secara muthlak yang tidak berlaku terus menerus dalam setiap kasus dan setiap keadaan. Ada kalanya tidak memaafkan adalah kebaikan dan kemashlahatan bagi semuanya.
Dalam kasus Laskar Jihad dan Ghulat Tajrih yang telah merobek kehormatan Ulama dan Asatidzah, merusak dakwah salafiyah, berdusta dan menghalangi manusia dari ilmu dan jalan Allah dengan tuduhan-tuduhan mereka, maka memaafkan mereka bukanlah mashlahat, dan bukanlah kebaikan. Terlebih sampai sekarang mereka belum mencabut tuduhan dusta, dan belum mengangkat jarh (celaan) kepada Ulama dan Asatizah; karena yang diharapkan dari memaafkan seseorang dalam kesalahan adalah agar mereka bisa rujuk, kembali ke jalan yang benar, dan bertobat dari kesalahan. Yang ada justru pentolan-pentolan mereka semakin sombong dan ujub karena semakin banyak pengikutnya, tidak berhenti untuk mentahdzir ulama dan Asatidzah. Bahkan tak segan membid’ahkan Ulama yang banyak jasanya, dan gurunya sendiri dengan mengatakan “Mubtadi’/Ahli Bid’ah” dalam ceramah, tulisan, video di akun resmi miliknya yang tidak dicabut sampai detik ini.
Perlu diketahui bahwa Terkadang Tidak Memaafkan Adalah Ishlah.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin ditanya:
بارك الله فيكم هذا السائل راشد بن محمد من اليمن يقول فضيلة الشيخ هل إذا رد الإنسان على شيء قبيح من قول أو فعل صادر من شخص آخر يكون آثماً وماذا يجب على الإنسان في هذا الموقف؟
“Semoga Allah memberkahi anda, ini adalah penanya Rasyid bin Muhammad dari Yaman ia berkata: “Syaikh yang Mulia, apakah apabila manusia membalas sesuatu yang buruk berupa perkataan atau perbuatan yang bersumber dari orang lain ia berdosa? Apa yang harus dilakukan seseorang dalam keadaan ini?
Syaikh menjawab -rahimahullah ta’ala-:
إذا رد الإنسان على من ظلمه بمثل مظلمته فإنه لا يكون آثما بل هو عادل قال الله تبارك وتعالى (وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا) وقال تعالى (وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ) وقال تعالى (فَمَنْ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ) ولكن الأفضل العفو والصفح إذا كان صاحبه أهلا لذلك لقول الله تبارك وتعالى (فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ) أما إذا لم يكن صاحبه أهلا لذلك بأن كان شريرا معتديا على الخلق لو أنه عفا عنه لذهب يظلم آخر فإن الأفضل ألا يعفو عنه بل له أن يأخذ بحقه بل أخذه بحقه أفضل لأن الله تعالى شرط في العفو أن يكون إصلاحا فقال (فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ) وحينئذ لا يكون العفو مطلقا أفضل من المؤاخذة بل هو مشروط بهذا الشرط الذي ذكره الله عز وجل وهو الإصلاح وبهذه المناسبة أود أن أبين أن كثيرا من الناس إذا حصل من شخص حادث سيارة على قريب له ذهب يتعجل ويعفو عن هذا الذي وقع منه الحادث وهذا فيه نظر فالأفضل أن يتأنى وينظر هل هذا الذي وقع منه الحادث رجل متهور لا يبالي بالناس ولا يهتم بهم وكأن البشر عنده قطيع غنم فإن هذا ليس أهلا لأن يعفى عنه بل يؤاخذ بما يقتضيه جرمه أو إن هذا الرجل الذي حصل منه الحادث رجل هادئ خير طيب لكن حصل منه الحادث مجرد قضاء وقدر ليس له به أي شيء من العدوان المتعمد فحينئذ يكون العفو عن هذا أفضل ولكل مقام مقال المهم ألا يتسرع الإنسان في العفو والصفح حتى يتبين الأمر
“Apabila seseorang membalas orang yang mendzoliminya dengan semisal kedzolimannya dia tidaklah berdosa, bahkan dia adalah orang yang adil. Allah -tabaroka wa ta’ala- berfirman:
وَجَزٰۤؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا
“Balasan suatu keburukan adalah keburukan yang setimpal” Asy-Syuro: 40
Allah -ta’ala- berfirman:
وَاِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوْا بِمِثْلِ مَا عُوْقِبْتُمْ بِهٖ
“Jika kamu membalas, balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu” An-Nahl: 126
Allah -ta’ala- berfirman:
فَمَنِ اعْتَدٰى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوْا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدٰى عَلَيْكُمْ
“Oleh sebab itu, siapa yang menyerang kamu, seranglah setimpal dengan serangannya terhadapmu” Al-Baqarah: 194
Akan tetapi yang terbaik adalah memaafkan dan mengampuni apabila orang tersebut berhak mendapatkannya, berdasarkan firman Allah -tabaroka wa ta’ala-:
ۚفَمَنْ عَفَا وَاَصْلَحَ فَاَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَ
“... Akan tetapi, siapa yang memaafkan dan berbuat islah (perbaikan), maka pahalanya dari Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang zalim.” Asy-Syuro: 40
Adapun apabila dia bukan orang yang berhak dimaafkan seperti orang yang jahat, kezolimannya melampaui batas kepada manusia, kalau sekiranya dia memaafkannya maka ia akan pergi menzolimi orang lain, maka yang lebih utama adalah tidak memaafkannya. Bahkan boleh baginya mengambil haknya (membalas kedzolimannya). Bahkan ia mengambil haknya ini lebih utama, karena Allah mensyaratkan dalam memberikan maaf adanya ishlah (perbaikan). Allah berfirman:
ۚفَمَنْ عَفَا وَاَصْلَحَ فَاَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَ
“... Akan tetapi, siapa yang memaafkan dan berbuat islah (baik), maka pahalanya dari Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang zalim.” Asy-Syuro: 40
Ketika itu tidaklah memaafkan lebih utama dibandingkan membalas keburukan secara muthlak, akan tetapi disyaratkan dengan yang Allah -azza wajalla- sebutkan yaitu ishlah (perbaikan).
Dalam kesempatan ini aku ingin sekali menjelaskan, bahwa kebanyakan orang apabila mendapati kerabatnya tertabrak dalam kecelakaan, ia segera memberikan maaf dan ampunan dari orang yang menabraknya. Hal ini perlu diteliti kembali! Yang utama ia tidak tergesa gesa dan meneliti apakah orang yang menabrak adalah orang yang ceroboh tidak peduli dan acuh dengan keselamatan manusia, seakan-akan manusia baginya adalah potongan daging kambing, maka orang ini tidak berhak untuk dimaafkan. Bahkan harus menghukumnya sesuai dengan perbuatan kriminalnya. Atau orang yang menabrak adalah orang yang tenang, baik, akan tetapi terjadi kecelakaan karena sebatas takdir dan ketetapan Allah. Ia tidak memiliki permusuhan sama sekali yang disengaja. Maka ketika itu memaafkan orang ini lebih baik. Dan setiap tempat ada ucapan yang sesuai dengannya. Yang penting, janganlah seseorang tergesa-gesa dalam memaafkan dan mengampuni kesalahan sampai ia mencari kejelasan perkaranya.” [Fatawa Nur ‘Alad Darb, Syaikh Utsaimin, (XII/445)]
Dalam fatwa Syaikh Utsaimin sangat jelas perincian dalam masalah memaafkan orang yang berbuat salah. Ini dalam masalah pribadi, lalu bagaimana dengan masalah kehormatan para ulama, duat, merusak dakwah, memecah belah. Dan mereka bertaubat lalu kita justru lupa, pura-pura lupa atau pura pura bodoh.
Imam Bukhori meriwayatkan:
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ، قَالَ: شَكَا أَهْلُ الكُوفَةِ سَعْدًا إِلَى عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَعَزَلَهُ، وَاسْتَعْمَلَ عَلَيْهِمْ عَمَّارًا، فَشَكَوْا حَتَّى ذَكَرُوا أَنَّهُ لاَ يُحْسِنُ يُصَلِّي، فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ، فَقَالَ: يَا أَبَا إِسْحَاقَ إِنَّ هَؤُلاَءِ يَزْعُمُونَ أَنَّكَ لاَ تُحْسِنُ تُصَلِّي، قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ: أَمَّا أَنَا وَاللَّهِ «فَإِنِّي كُنْتُ أُصَلِّي بِهِمْ صَلاَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَخْرِمُ عَنْهَا، أُصَلِّي صَلاَةَ العِشَاءِ، فَأَرْكُدُ فِي الأُولَيَيْنِ وَأُخِفُّ فِي الأُخْرَيَيْنِ»، قَالَ: ذَاكَ الظَّنُّ بِكَ يَا أَبَا إِسْحَاقَ، فَأَرْسَلَ مَعَهُ رَجُلًا أَوْ رِجَالًا إِلَى الكُوفَةِ، فَسَأَلَ عَنْهُ أَهْلَ الكُوفَةِ وَلَمْ يَدَعْ مَسْجِدًا إِلَّا سَأَلَ عَنْهُ، وَيُثْنُونَ مَعْرُوفًا، حَتَّى دَخَلَ مَسْجِدًا لِبَنِي عَبْسٍ، فَقَامَ رَجُلٌ مِنْهُمْ يُقَالُ لَهُ أُسَامَةُ بْنُ قَتَادَةَ يُكْنَى أَبَا سَعْدَةَ قَالَ: أَمَّا إِذْ نَشَدْتَنَا فَإِنَّ سَعْدًا كَانَ لاَ يَسِيرُ بِالسَّرِيَّةِ، وَلاَ يَقْسِمُ بِالسَّوِيَّةِ، وَلاَ يَعْدِلُ فِي القَضِيَّةِ، قَالَ سَعْدٌ: أَمَا وَاللَّهِ لَأَدْعُوَنَّ بِثَلاَثٍ: اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ عَبْدُكَ هَذَا كَاذِبًا، قَامَ رِيَاءً وَسُمْعَةً، فَأَطِلْ عُمْرَهُ، وَأَطِلْ فَقْرَهُ، وَعَرِّضْهُ بِالفِتَنِ، وَكَانَ بَعْدُ إِذَا سُئِلَ يَقُولُ: شَيْخٌ كَبِيرٌ مَفْتُونٌ، أَصَابَتْنِي دَعْوَةُ سَعْدٍ، قَالَ عَبْدُ المَلِكِ: فَأَنَا رَأَيْتُهُ بَعْدُ، قَدْ سَقَطَ حَاجِبَاهُ عَلَى عَيْنَيْهِ مِنَ الكِبَرِ، وَإِنَّهُ لَيَتَعَرَّضُ لِلْجَوَارِي فِي الطُّرُقِ يَغْمِزُهُنَّ
Dari Jabir bin Samuroh ia berkata: Ahlu kufah mengeluhkan pimpinan mereka Sa’ad bin Abi Waqqash kepada Umar -radhiyallah ‘anhu- maka Umar melepaskan jabatannya dan menggantikannya dengan ‘Ammar. Mereka mengeluhkannya sampai menyebutkan bahwa ia (Sa’ad) tidak baik dalam sholatnya. Maka Umar memanggilnya dan berkata: “Wahai Abu Ishaq (Kunyah Sa’ad) sesungguhnya mereka mengira bahwa engkau tidak bagus dalam sholatmu” berkata Abu Ishaq: “ Adapun aku demi Allah! Aku sholat memngimami mereka dengan sholat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- aku tidak mengurangi sedikitpun. Aku mengimami sholat Isya, aku panjangkan dua rakaat pertama dan ringankan dua rakaat terakhir”. Umar berkata: “Aku sudah menduganya wahai Abu Ishaq” kemudian Umar mengutus bersamanya seorang atau beberapa orang ke Kufah, ia bertanya kepada penduduk Kufah tentang Sa’ad -radhiyallah ‘anhu-. Tidaklah ia mendatangi masjid kecuali ia bertanya tentang Sa’ad. Semuanya memuji Sa’ad dengan kebaikan, sehingga utusan itu masuk kepada masjid Bani ‘Abs. Berdirilah salah seorang dari mereka yang bernama Usamah bin Qatadah yang dikunyahkan Abu Sa’adah. Ia berkata: “Karena kalian meminta maka sesungguhnya Sa’ad tidak berperang bersama pasukan, tidak membagi rampasan dengan adil, dan tidak berlaku adil dalam menghukum.” Sa’ad berkata: “Demi Allah, aku akan berdoa untukya tiga hal: ya Allah apabila hamba-Mu ini berdusta ia berdiri riya (ingin dilihat) dan sum’ah (ingin didengar) maka panjangkanlah umurnya, panjangkan kemiskinannya, dan timpakan fitnah baginya” dan setelah itu ketika lelaki itu ditanya ia berkata: Syaikh yang sudah tua dan terkena fitnah. Aku terkena doa Sa’ad.” Berkata Abdul Malik: “Aku melihat orang itu setelahnya bulu matanya sudah rontok saking tuanya. Dan ia mencari-cari budak perempuan untuk diraba-raba di jalan-jalan” H.R. Bukhori (755)
Dalam kisah Sa’ad tersebut jelas bahwa boleh mendoakan keburukan dari orang yang berbuat dzalim dan menfitnah kita dengan kedustaan. Lalu bagaimana dengan mereka yang menfitnah banyak sekali ulama dan banyak sekali dai sehingga menghalangi manusia dari ilmu dan ulama serta dari jalan yang lurus. (bersambung)
Dika Wahyudi Lc.