"Lahan" Dakwah yang Kurang Tergarap
* * * * *
Pagi ini ada seseorang yang berkonsultasi kepada saya berkaitan "keuntungan" yang didapatkan oleh sebuah majlis taklim ibu-ibu atas kegiatan dauroh berbayar yang diadakan. Menurut laporannya, sebagian dari keuntungan tersebut dialokasikan untuk honor anggota panitia dan makan-makan. Beliau bertanya apakah seperti itu dibolehkan? Jawab saya: boleh, karena pada dasarnya dauroh berbayar itu adalah jual beli jasa, yang dalam akad tersebut penyedia jasa berhak untuk mengambil keuntungan atas jasa yang diberikan.
Ini hukum asalnya, namun sebagai kegiatan dakwah ada baiknya para penyelenggara mempertimbangkan reputasi dakwah sebagai kegiatan keagamaan yang menitikberatkan aspek ibadah, jangan sampai timbul kesan komersialisasi dakwah dengan target pasar kalangan tertentu yang tidak menjangkau kalangan menengah ke bawah. Memang di zaman ini, dakwah bisa diakses oleh siapapun dari beragam kalangan, namun "kecemburuan sosial" adalah poin yang perlu diantisipasi. Kalau kita membaca penjelasan ulama tentang keharaman menggunakan bejana emas -misalnya-, kita akan dapati bahwa banyak diantara ulama yang mengatakan bahwa 'illah (sebab) pelarangannya adalah "kasru quluubil fuqaraa", yakni "melukai hati orang-orang fakir". Artinya, syariat ini mempertimbangkan tindakan yang melukai hati orang miskin agar dapat dihindari.
Di satu sisi, segmentasi dalam dakwah itu memang dibutuhkan. Artinya, dakwah yang menjangkau beragam kalangan itu sangat dibutuhkan, baik kalangan menengah kebawah maupun menengah keatas, kalangan anak muda dan orang tua, ibu rumah tangga sampai ibu-ibu pejabat. Tapi di sisi lain, jika yang 'melulu' mendapatkan 'treatment' khusus adalah kalangan menengah keatas, maka wajar jika kemudian timbul kecemburuan sosial.
Kesan bahwa pendakwah tertentu sulit diakses oleh kalangan menengah kebawah sudah cukup lama muncul. Obrolan tentang mahalnya sekolah-sekolah yang berlabel syar'i, itupun sudah sejak lama menghangat.
Disini saya tidak sedang mengkritisi dauroh-dauroh berbayar ataupun sekolah-sekolah yang relatif mahal, tidak. Tapi lebih menitikberatkan pada masalah pemerataan. Jangan sampai dakwah hanya dinikmati oleh orang-orang kaya, sedangkan mereka yang berada digaris kemiskinan, menjadi 'lahan' dakwah yang kurang tergarap.
Memang biaya pendidikan itu mahal, tapi kenapa beberapa sekolah dan pesantren mampu menekan biaya pendidikan menjadi lebih terjangkau. Memang betul bahwa "ada harga ada rupa" "ada biaya ada rasa", tapi apakah melulu selera yang kita prioritaskan adalah selera orang kaya?.
Tidak sedikit orang tua yang tidak terlalu memikirkan lauk pauk anaknya di pesantren, karena di rumah sudah terbiasa makan nasi dengan sepotong gorengan, tidak peduli dengan belajar yang lesehan, karena sudah biasa mereka tidur bersama beralaskan tikar di sebuah kontrakan sempit. Mereka ini, kalau menginginkan akses pendidikan agama dengan standar yang cukup syar'i seringkali terbentur dengan biaya pendidikan yang mahal. Di sisi lain, banyak dana umat yang terkesan berputar dalam poros yang sama, "dari orang kaya untuk orang kaya" belum lagi pundi-pundi donasi yang kurang menjangkau masyarakat lemah. Acara yang menghabiskan dana miliaran, fasilitas yang menguras ratusan juta rupiah. Padahal, untuk mendanai pendidikan kaum lemah selama satu sampai dua tahun, hanya memerlukan setengah atau sepertiganya.
Tapi ya itu, mungkin kurang menarik untuk digarap!.
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
هَلْ تُنْصَرُوْنَ وَتُرْزَقُوْنَ إِلاَّ بِضُعَفَائِكُمْ
“Kalian tidaklah mendapat pertolongan dan rezeki (dari Allah) melainkan dengan sebab adanya orang-orang lemah dari kalangan kalian” (HR. Bukhari no. 2896)
Ustadz datya