Kamis, 30 Mei 2024

Salafi dan NKRI

Salafi dan NKRI

Salafi yang benar pasti mendambakan negara yang menerapkan hukum Islam kepada rakyatnya. Bukankah Allah Ta'ala berfirman:

فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ

"Maka, putuskanlah perkara di antara mereka dengan hukum yang Allah turunkan" (QS Al Maidah: 48)

Namun salafi juga dalam usaha mewujudkan hal tersebut tidak dengan melanggar hukum Allah, yaitu memberontak penguasa yang muslim. Karena telah jelas larangannya dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- akan hal tersebut.

Salafi juga memandang bahwa penguasa muslim adalah ulil amri yang ditaati dalam perkara yang ma'ruf, dan dalam ibadah-ibadah jama'i/kebersamaan seperti jihad, puasa, dan kedua hari raya.

NKRI adalah negara yang berdiri atas konsensus/kesepakatan para pendirinya. Maka salafi dalam hal ini mencontoh Rasulullah yang tidak mengkhianati perjanjian yang telah disepakati. 

Beliau menyepakati Perjanjian Hudaibiyah yang bahkan sebagian poinnya merugikan kaum muslimin. Ketika itu beliau diuji dengan datangnya Abu Jandal tepat setelah perjanjian itu disepakati, maka mau tidak mau beliau harus menyerahkan Abu Jandal kepada kafir Quraisy sebagai konsekuensi perjanjian tersebut.

Sehingga, salafi tetap pada koridor syariat dalam usahanya menegakkan hukum Allah, dengan terus berdakwah supaya masyarakat menerapkan hukum syariat dalam keseharian mereka, dan juga supaya para pemegang urusan menyadari perlunya penerapan syariat dalam mengatur rakyatnya.


Baik, biar tidak dikira dari kantong sendiri, saya kutipkan salah satu penjelasan ulama salafi:

 1. Ibnu 'Utsaimin mengatakan:

لا يجوز لنا أن نتكلم بين العامة فيما يثير الضغائن على ولاة الأمور، وفيما يسبب البغضاء لهم؛ لأن في هذا مفسدة كبيرة. قد يتراءى للإنسان أن هذه غيرة، وأن هذا صدع بالحق؛ والصدع بالحق لا يكون من وراء حجاب، الصدع بالحق أن يكون ولي الأمر أمامك وتقول له: أنت فعلت كذا وهذا لا يجوز، تركت هذا، وهذا واجب. أما أن تتحدث من وراء حجاب في سب ولي الأمر والتشهير به، فهذا ليس من الصدع بالحق؛ بل هذا من الفساد، هذا مما يوجب إيغار الصدور وكراهة ولاة الأمور والتمرد عليهم، وربما يفضي إلى ما هو أكبر إلى الخروج عليهم والعياذ بالله

"Tidak boleh bagi kita untuk berbicara di depan umum yang menimbulkan efek kebencian terhadap pemerintah, dan termasuk apa saja yang membuat orang murka kepada mereka, karena pada hal semacam ini terdapat kerusakan yang besar. Bagi seseorang, ini tampak seperti bentuk semangat, dan termasuk menyampaikan kebenaran secara terang-terangan. Padahal menyampaikan kebenaran tidaklah dilakukan di belakang layar.

Menyampaikan kebenaran di depan penguasa itu caranya adalah dia ada di depanmu dan engkau sampaikan: "Anda melakukan ini dan itu, sedangan itu tidak boleh.. Tinggalkan itu.. atau.. Hal ini wajib..". Adapun jika engkau berbicara mencela pemerintah di belakangnya serta mengumpatnya, maka hal ini bukanlah menyampaikan kebenaran. Bahkan hal ini termasuk kerusakan. Ini termasuk hal yang akan mengobarkan kebencian dan pembangkangan terhadap mereka, dan hal itu bisa mengarah kepada yang lebih besar lagi yaitu pemberontakan terhadap mereka.. wal 'iyadzu billah.."

[Syarh Riyadhis Shalihin 3/668]
Ustadz ristiyan ragil