Senin, 11 Desember 2023

kitab Min Akhlaqil ‘Ulamaa

Dalam kitab Min Akhlaqil ‘Ulamaa, dikisahkan tentang Yahya bin Ma’in rahimahullah. Siapa yang tak kenal dengan beliau? Rerata para Ahli ilmu dan penuntut ilmu kenal dengan beliau. Shahib-nya Imam Ahmad. Imam besar dalam Jarh wat Ta’dil.

Ia anak dari Sekretarisnya Abdullah bin Malik. Ketika ayahnya wafat, ia menerima warisan sebesar 1.050.000 dirham. Semua uang tersebut habis untuk biaya perjalanan mencari hadits. Tak tersisa sedikitpun, hingga ia tak punya sandal yang bisa dipakai!

Dalam Tadzkiratul Huffaazh dan Miizaanul I’tidaal diceritakan tentang Isma’il bin ‘Ayyasy Al Himshiy (106 H - 182 H). Seorang Imam, Ahli Hadits Syam, Ulama tenar. Al A’masy dan ulama lainnya termasuk murid seniornya. Yahya bin Shalih mengutip perkataannya, “Aku mendapat warisan dari Ayahku 4.000 dinar dan semuanya kugunakan untuk menuntut ilmu.”

Dalam Taariikh Baghdaad karya Al Khaathib al-Baghdaadiy dan Dzail al-Jawaahir al-Mudhiyyah karya Ali al-Qari disebutkan manaqib-nya Muhammad bin Hasan asy-Syaibaniy al-Kuufiy (132 H - 189 H), muridnya Imam Abu Hanifah rahimahullah.

Ayahnya telah mewariskan 30.000 dirham padanya. Kemudian ia membaginya menjadi dua; 15.000 untuk belajar Gramatika Arab dan Syair, 15.000 untuk Hadits dan Fiqih.

Di Tadzkiratul Huffaazh ada kisah Hisyam bin Abdullah ar-Raaziy (w. 221 H). Setelah digembleng oleh Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan, ia menjadi ulama besar. Diantara muridnya adalah Abu Hatim ar-Raaziy.

Musa bin Nashr pernah mendengarnya bertutur, “Aku berjumpa dengan 1.700 guru. Biaya yang kukeluarkan selama menuntut ilmu adalah 700.000 dirham.” 

Aduhai terlalu banyak kisah lainnya dari para pendahulu. Begitulah nilai harta jika di tangan para pencinta Ilmu dan orang shalih. Betapa nikmat sekali dalam membelanjakannya dalam ketaatan. Benar sabda Rasul yang mulia Shallallahu ‘alayhi wasallam kepada ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu,

يا عمرو، نعم المال الصالح للمرء الصالح

“Wahai ‘Amr, senikmat-nikmat harta yang shalih adalah untuk seseorang yang shalih.” [Ahmad, Al-Bukhaariy, Abu ‘Awaanah, Ibnu Hibbaan, Al-Haakim, dll. Shahih menurut Al-Albaaniy]

Orang shalih tentu akan tepat dalam membelanjakan hartanya. Ia akan belanjakan dalam ketaatan. Ia juga TAK MERASA BERAT membelanjakannya untuk kebaikan —termasuk menuntut ilmu—.

Bagaimana dengan kita?

—Abu Hazim Mochamad Teguh Azhar, MA.,—