Senin, 18 Desember 2023

Terkadang seseorang telah merasa “paling wah” dari yang lain ketika memberikan effort yang lebih untuk dirinya. Ia menyangka yang lain masih berada di bawahnya. Padahal bisa jadi orang lain telah lebih dahulu dan lebih tinggi dari standarnya.

Terkadang seseorang telah merasa “paling wah” dari yang lain ketika memberikan effort yang lebih untuk dirinya. Ia menyangka yang lain masih berada di bawahnya. Padahal bisa jadi orang lain telah lebih dahulu dan lebih tinggi dari standarnya.

Dulu, seorang kawan merasa superior dengan habits baca 1 jam sehari. Ia mencoba mendominasi pembicaraan di kelas. Wajar. Ketika memiliki input lebih biasanya ananiyah-nya (ke-aku-an) muncul. Kalam akan diperbanyak. Merasa semua telah digenggam. Hanya saja ia tak tahu bahwa yang lain justru telah melewati standar itu.

Suatu ketika ketika dosen merasa “risih” dengan sok tahu-nya, beliau melemparkan pertanyaan pada kawan saya itu secara spontan. Tak dinyana ia terkejut. Persoalan yang dilemparkan itu bukan text book, butuh elaborasi mendalam; persoalan ushuliy yang agak rumit. Syahdan terjadi skak mat. Kikuk tak bergeming. Begitu sunyi bak malam ditelan gelap.

Al Faqir memberanikan diri mengurai pertanyaan itu semampunya. Qadarullah jawaban tersebut tepat. Saya memuji Allah. Dosen penasaran bertanya berapa lama Al Faqir baca dalam sehari. Sebenarnya malu untuk menjawabnya. Namun kawan saya yang satu itu butuh peluang untuk introspeksi.

“Hanya 4 Jam dalam sehari, Syaikh.”
“Jamiil.”

Al Faqir tak melihat raut wajah sang kawan. Hanya menangkap gestur yang berbeda. Agak menyesal menjawabnya, memang. Saya tak bermaksud membungkamnya. Situasinya cukup sulit untuk menghindar. Semoga Allah mengampuni saya. 

Dari sejak itu ia lebih bisa mengontrol dirinya. Sudah mulai tak “berisik” lagi. Tensi sok tahu-nya sudah mulai ditekan. Ngobrol malah makin asyik. Diskusi malah makin renyah di kemudian hari. Satu sama lain mulai menilai diri tak lebih baik dari yang lain.

Na’am. Ilmu bukanlah sekedar pengetahuan pemuas otak dan alat untuk merasa, “Ana khairun minhu wa minhum”; melainkan juga untuk memanage isi dada dari gemuruh kesombongan. Mari kita renungi ayat ini,

سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ...

“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku…” [Al A’raaf: 146]

As-Sa’diy rahimahullah mengatakan,

يتكبرون على عباد اللّه وعلى الحق…

“… Mereka menyombongkan diri atas hamba-hamba Allah yang lainnya dan atas Al Haq…” [Tafsir As-Sa’diy]

Kawan…,
Jika standarmu merasa telah dinaikkan, maka fahamilah bahwa orang lain bisa jadi telah mendahuluimu atau bahkan telah melewati spec-mu. Diantara ciri tawadhu itu merasa bahwa diri tak lebih baik dari orang lain.

Akhukum,
—Abu Hazim Mochamad Teguh Azhar, MA., C.PE., C.PS., C.ITQ.—