Minggu, 11 Oktober 2020

Sahnya Sesuatu yang Diperjualbelikan”

🖋️ “Sahnya Sesuatu yang Diperjualbelikan”

Dipersyaratkan pada barang atau sesuatu yang diperjualbelikan beberapa syarat berikut:
1. Barang tersebut memiliki manfaat yang mubah (boleh digunakan) pada keadaan normal.

2. Disyaratkan barang yang diperjualbelikan dapat dikadarkan atau ditimbang.

3. Dipersyaratkan barang yang diperjualbelikan tersebut sudah diketahui/jelas bagi kedua belah pihak (penjual dan pembeli).

```[Dikutip dari Kitab “al-Mulakhas al-Fiqhiyy” hlm. 263, karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizahullahu ta’ala]```.

*_Penjelasannya_*:
1) Barang tersebut memiliki manfaat yang mubah (boleh digunakan) pada keadaan normal. Sehingga tidaklah sah jual beli sesuatu yang haram pemanfaatannya, seperti khamr, babi, alat musik, dan mayat (bangkai). Berdasarkan sabda Nabi ﷺ,

(( إِنَّ اللّٰهَ حَرَمَ بَيْعُ المَيْتَةِ وَ الْخَمْرِ وَ الْأَصْنَامِ ))

_“Sesungguhnya Allah mengharamkan menjual bangkai, khamr dan patung”_ (Muttafaqun ‘alaih).

Serta juga dalam riwayat Abu Dawud,

(( حُرِمَ الْخَمْرُ وَ ثَمَانُهَا، وَ حُرِمَ المَيْتَةُ وَ ثَمَانُهَا، وَ حُرِمَ الْخِنْزِيْرُ وَ ثَمَانُهُ ))

_"Khamr dan jual belinya diharamkan, bangkai dan jual belinya diharamkan, serta babi dan jual belinya diharamkan”_" (HR. Abu Dawud no. 3485, disahihkan oleh Syaikh al-Albani _rahimahullahu ta'ala_ dalam _"Shahih Targhib wa Tarhib"_ no. 2358).

Begitu pula tidaklah sah menjual minyak yang najis meskipun sudah tidak tercampur najis. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ,

(( إِنَّ اللّٰهَ إذَا حَرَمَ شَيْئًا حُرِمَ ثَمَنُهُ ))

_"Sesungguhnya ketika Allah mengharamkan suatu hal, maka Allah mengharamkan pula jual belinya”_.

Dalam hadis _muttafaqun ‘alaih_ (hadis riwayat Bukhari dan Muslim) juga dijelaskan,

((يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ ؛ فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ، وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ، وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ؟ فَقَالَ : " لَا، هُوَ حَرَامٌ ". ))
 
“Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang lemak yang terbuat dari bangkai (binatang) yang digunakan manusia untuk melumasi perahu, menghaluskan kulit, dan menjadi minyak lampu?’. Rasulullah ﷺ lalu menjawab, _‘Tidak, hal tersebut haram’_.” (Muttafaqun ‘alaih), جامع الكتب التسعة.

Ustadz Aris Munandar, M.PI. _hafizhahullahu ta’ala_ menambahkan penjelasan untuk hadis di atas bahwa larangan Rasulullah ﷺ dalam hadis di atas ditujukan apabila lemak dari bangkai binatang yang dimanfaatkan tersebut diperjualbelikan. Sedangkan apabila lemak bangkai tersebut tidak diperjualbelikan, namun hanya sebatas dimanfaatkan maka hal ini dibolehkan. Inilah pendapat yang lebih kuat dari perselisihan ulama _(ikhtilaf ulama)_ dalam hal ini.

2) Dipersyaratkan pada barang yang diperjualbelikan dapat dikadarkan atau ditimbang. Dikarenakan sesuatu yang tidak dapat dikadar atau ditimbang seperti dalam jumlahnya, maka tidaklah sah menjualnya. Sehingga tidaklah sah menjual budak yang melarikan diri, unta yang kabur, burung di langit, dan menjual barang curian dari selain yang mencurinya atau dari orang yang mampu mengambil barang tersebut dari pencurinya.

3) Disyaratkan barang yang diperjualbelikan tersebut sudah diketahui/jelas bagi kedua belah pihak (penjual dan pembeli). Dikarenakan sesuatu yang tidak diketahui adalah tidak jelas _(gharar)_. Sesuatu yang tidak jelas adalah hal yang dilarang. Sehingga tidaklah sah menjual sesuatu yang kabur selama sudah tidak terlihat lagi, atau sesuatu yang terlihat namun tidak jelas sesuatu tersebut.

Tidak boleh pula menjual secara bersendirian bayi binatang yang masih berada dalam perut induknya atau susu yang masih berada di embing induknya. Ustadz Aris Munandar, M.PI. _hafizhahullahu ta’ala_ menambahkan penjelasan untuk hal ini bahwa penjualan bayi binatang atau susu pada embing induknya ini termasuk jual beli yang sah apabila keduanya dijual secara keseluruhan dengan induknya. Artinya keduanya hanya menjadi pengikut _(taabi’)_ dari penjualan induknya.

Kemudian tidak sah juga jual beli _al-mulaamasah_ (jual beli zaman jahiliyah) seperti dengan mengatakan: ‘baju yang saya sentuh ini jadi milikmu dengan harga sekian’. Begitu pula jual beli _al-munabadzah_ seperti dengan mengatakan: ‘pakaian yang dilempar kepadaku –seperti jubah pakistan yang berwana hijau- itu harganya sekian’.  Sebagaimana hadis Abu Hurairah _radhiallahu 'anhu_ beliau berkata, _"Bahwasanya Nabi ﷺ melarang dari jual beli al-mulamasah dan al-munabadzah”_ (Muttafaqun ‘alaih).

Begitu pula tidak sah jual beli _al-hashaah_ seperti dengan mengatakan: Lemparlah kerikil ke pakaian itu maka pakaiannya jadi milikmu. Yaitu pakaian yang kena lemparan batu itu jadi milikmu dengan harga sekian.

Ustadz Aris Munandar, M.PI. _hafizhahullahu ta’ala_ menjelaskan bahwa macam-macam penjualan di atas tidaklah sah karena mengandung alasan _(‘illah)_ yang sama yaitu ketidakjelasan barang yang diperjualbelikan (mengandung unsur _gharar_).

```[Penjelasan dari kajian Kitab “al-Mulakhas al-Fiqhiyy” bersama Ustadz Aris Munandar, S.S., M.PI., hafizhahullahu ta’ala]```.

📥 Tim Alfiyyah.com

♻️ _Yuk ikut dishare_

➖➖➖➖➖➖
➡️ *Follow akun dakwah kami juga ya..*

🌐https://linktr.ee/alfiyyah.com