Senin, 04 Mei 2020

Sikap Khawarij Terhadap Penegakan Hujjah Dan Keterangan Para Imam Dakwah Dalam Menjelaskan Pentingnya Iqamatul Hujjah Dalam Pengakafiran (Takfir) (Bag. 2)

Sikap Khawarij Terhadap Penegakan Hujjah Dan Keterangan Para Imam Dakwah Dalam Menjelaskan Pentingnya Iqamatul Hujjah Dalam Pengakafiran (Takfir) (Bag. 2)

Dan masalah penegakan hujjah ini, agar lebih rinci dan mengkombinasikan seluruh ucapan para imam dakwah dan agar bisa menjadi riset yang lebih jelas, maka aku akan menyebutkannya perkara berikut ini:

Pertama:
Kesepakatan Para Imam Dakwah Dalam Membedakan Antara Pemutlakan Dan Vonis Individu Mengikuti Nushush (dalil dari al-Quran dan Sunnah) Dan As-Salaf 

Sesungguhnya masalah perorangan itu berbeda dengan masalah umum dan mutlak, para Salaf dan imam-imam setelah mereka berpendapat penegakan hujjah itu adalah perkara yang sangat penting (dibutuhkan) dalam masalah pengkafiran individu (Takfir Mu'ayyan), akan tetapi terkadang bisa berbeda pada sebagian gambaran. Sebagian mereka berpendapat bahwasanya telah tegak hujjah atas si fulan dengan al-Quran, dan telah tegak hujjah atas si fulan dengan as-Sunnah, dan telah tegak hujjah atas si fulan dengan keduanya (al-Quran dan as-Sunnah), dan si fulan belum tegak hujjah atasnya bisa jadi karena ketidakpahamannya terhadap bahasa al-Quran, atau karena tidak sampainya as-Sunnah kepadanya, atau (bisa jadi) karena tidak ada kedua-keduanya (tidak paham bahasa al-Quran dan tidak sampai kepadanya)

Perkara ini pada hakikatnya bukanlah perselisihan, bahkan ini sama seperti masalah pengkafiran itu sendiri. Karena sesungguhnya Ahlussunnah -dahulu dan sekarang- berpendapat bahwasanya orang yang terjatuh dalam kekufuran maka dia telah kafir, dan ini dari sisi pemutlakan dan pensifatan menurut kesepakatan. Adapun dari sisi takyin (tunjuk hidung) dan takhshish (pengkhususan), maka sesungguhnya sebagian mereka mengkafirkan si fulan berdasarkan keyakinannya bahwasanya syarat-sarat pengkafiran telah terpenuhi dan penghalang-penghalangnya telah hilang, sedangkan ulama yang lain tidak mengkafirkannya berdasarkan keyakinannya tidak terpenuhi salah satu syaratnya atau dia menyangka adanya penghalang, bersamaan dengan itu semua (para ulama) ini bersepakat bahwasanya perbuatan itu sendiri adalah kekufuran. 

Syaikh Hamd bin Nāshir -rahimahullahu- berkata:

Barangsiapa yang telah sampai padanya dakwah Muhammadiyyah ini, dan dia mengikutinya dan mentauhidkan Allah, dia hanya menyembah Allah dan tidak menyekutukannya serta mematuhi syariat-syariat Islam... maka (orang) ini bagian dari kaum muslimin yang dijanjikan Surga di setiap zaman dan tempat.

Adapun seorang yang kondisinya seperti kondisi orang-orang Jahiliyyah, dia tidak mengenal Tauhid yang dengannya Allah utus Rasul-Nya untuk mendakwahkannya, dan dia juga tidak mengetahui syirik yang Allah utus Rasul-Nya untuk melarang dan memeranginya, maka orang seperti ini tidak dikatakan sebagai muslim dikarenakan kebodohannya (tersebut), bahkan barangsiapa yang lahiriyyah amalannya adalah syirik kepada Allah, maka lahiriyyahnya adalah kekufuran, maka tidak boleh memohonkan ampunan untuknya, tidak boleh bersedekah atas namanya dan diserahkan urusannya kepada Allah yang mengetahui rahasia-rahasia dan menetahui apa yang disembunyikan di dalam dada.
Kita tidak mengatakan si fulan mati kafir, karena kita membedakan antara mu'ayyan (individu/personal) dan selainnya, maka kita tidak menghukumi kafir terhadap mu'ayyan (individu/personal tertentu) karena kita tidak mengetahui hakikat kondisinya dan urusan batinnya, bahkan kita serahkan hal itu kepada Allah." 

(Ad-Durar As-Saniyyah: 11/75-76, lihat yang semisalnya dalam: Majmu ar-Rasāil wa al-Masāil: 1/589)

Maka Syaikh menetapakan;

Pertama:

Sesungguhnya barangsiapa yang terjatuh dalam kekufuran dan syirik akbar maka dengan hal itu dia kafir, dan ini secara mutlak, karena kata "مَنْ" (barangsiapa) adalah lafadz yang menunjukkan yang dimaksud adalah: keumuman yang mutlak "العام المطلق"

Kemudian beliau menjelaskan: Bahwasanya mu'ayyan (individu:person) dari kalangan mereka ini diserahkan urusannya kepada Allah Ta'aala, dan kita tidak mengkafirkannya secara takyin (vonis individu), dan dari sisi lain karena individu/person tertentu itu berbeda pandangan (ulama) didalamnya, sebagian ahli ilmu berpendapat dia kafir, dan sebagian mereka tidak berpendapat demikian karena adanya penghalang-penghalang yang dilihatnya.

Syaikh Sulaiman bin Sahmān -rahimahullahu-berkata:

Adapun pengkafirannya -yakni orang yang keliru dan salah-, maka itu termasuk ke bohongan dan ilzam batil, karena sesungguhnya tidak seorang pun ulama yang mengkafirkan seseorang jika pada orang tersebut ada sebab-sebab yang dengannya seorang alim memberi udzur jika dia keliru, dan tidak ada dalil disisinya tentang kekafiran seorang yang padanya ada sifat seperti ini yang menjadi kafir orang yang melakukannya, akan tetapi jika telah dijelaskan padanya kemudian setelah itu dia membangkang, menyombongkan diri dan terus menerus di atasnya. 

Oleh karena itu, ketika ada sekelompok Shahabat dan Tabi'īn yang menghalalkan khamer seperti Qudāmah bin Mazh'ūn dan para shahabatnya, mereka menyangka khamer itu dihalalkan bagi orang-orang yang memgamalkan amalan shalih sesuai apa yang mereka pahami dari ayat dalam surat al-Māidah, maka para ulama Shahabat seperti Umar, Ali dan selain mereka bersepakat bahwasanya mereka diminta untuk bertaubat, jika mereka terus-menerus dalam menghalalkannya maka mereka kafir, dan jika mereka mengakui keharamannya (khamer) maka mereka harus dicambuk.

Mereka (para Shahabat) tidak serta merta mengkafirkan mereka dikarenakan syubhat yang menimpa mereka sampai dijelaskan kebenaran kepada mereka, jika mereka terus menerus di atas pembabgkangan maka mereka  kafir.
Akan tetapi kebodohan dan tidak adanya ilmu terhadap apa yang para Muhaqqiq (ulama peneliti) berada di atasnya, menjadikanmu terjatuh ke dalam -kengawuran berbicara tanpa hujjah dan (tanpa) dalil- ilzam-ilzam yang batil dan kebodohan-kebodohan yang rusak.
Dan jalan seperti ini adalah bagian dari jalan-jalan ahli bid'ah, maka orang yang berlebihan ini telah menduplikat metode mereka dengan kamuflase dan memutarbalikkan fakta, tidak begini caranya mengggiring unta wahai Sa'ad."
(Kasyfu al-Auhām wa al-Iltibās Li Ibni as-Sahmān, hal. 70-71)

Jadi (kesimpulannya), Ahlussunnah membedakan antara pemutlakan dan takyin (vonis individu), menyelisihi ahli bid'ah dan orang-orang yang ekstrem, karena sesungguhnya mereka membawa nushush (dalil dari al-Quran dan Sunnah) sekaligus dan tidak melihat perbedaan antara pemutlakan dan takyin

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin -rahimahullahu- berkata:

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam al-Fatāwa (3/229)..."Aku selalu -dan orang-orang yang duduk bersamaku tahu hal itu dari ku- termasuk orang yang sangat melarang untuk memvonis kafir, fasiq dan maksiat terhadap individu tertentu (mu'ayyan), kecuali jika telah diketahui bahwasanya telah tegak padanya hujjah risāliyyah yang barangsiapa menyelisihinya terkadang bisa menjadi kafir, fasiq dan terkadang (dianggap) pelaku maksiat. 
Dan aku menetapkan bahwasanya Allah Ta'āla telah mengampumi kesalahan umat ini, dan itu berlaku umum mencakup kesalahan dalam masalah khabariyyah qauliyyah dan masalah ilmiyyah.
As-Salaf masih berselisih dalam kebanyakan permasalahan ini, tidak seorang pun dari mereka mempersaksikan kekufuran, tidak pula kefasikan dan tidak pula kemaksiatan.
Sampai ucapan beliau: Dan dahulu aku menjelaskan bahwasanya apa yang dinukil dari as-Salaf dan para Imam berupa pemutlakan ucapan kafirnya orang yang berkata begini dan begitu, maka ini juga benar, akan tetapi wajib dibedakan antara pemutlakan (al-Ithlāq) dan takyin (vonis individu).
Sampai ucapan beliau: pengkafiran (Takfir) itu termasuk ancaman, karena sesungguhnya walaupun itu adalah ucapan yang mendustakan apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, akan tetapi seseorang (yang berucap) itu bisa jadi baru masuk Islam, atau tumbuh besar di pedalaman yang jauh, maka yang seperti ini  tidak dikafirkan karena pengingkaran sesuatu yang dia ingkari sampai tegak hujjah atasnya, bisa jadi seseorang itu belum mendengarkan nushush (dalil-dalil) itu, atau bisa jadi dia telah mendengarkannya akan tetapi tidak valid menurutnya, atau ada dalil yang bertentangan  yang mengharuskan penakwilan walaupun (sebenarnya) dia keliru."
(Fatāwa Arkān al-Islām Lis Syaikh Ibni 'Utsaimin, hal. 133-136)

Kemudian beliau menyebutkan satu pendapat dari Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullahu-, dan aku telah menyebutkannya, kemudian beliau mengatakan:

"Jika ini merupakan konsekwensi nushush (dalil-dalil) dari al-Quran dan as-Sunnah, dan ucapan ahli ilmu, maka itu merupakan konsekwensi hikmah Allah Ta'āla dan kelembutan dan kasih sayangNya, Allah tidak mengadzab seseorang sampai dia memberikan udzur, dan akal tidak bersendirian dalam mengenal sesuatu yang diwajibkan berupa hak-hak Allah Ta'aala, jika seandainya akal berdiri sendiri dalam hal itu maka hujjah tidak akan bergantung pada pengutusan para Rasul.

Maka hukum asal pada seseorang yang menyandarkan diri pada Islam adalah tetapnya penamaan itu sampai benar-benar valid hilangnya hal tersebut darinya berdasarkan konsekwensi dalil syar'iy, dan tidak boleh bergampangan dalam pengkafiran (Takfir)." (Fatāwa Arkān al-Islām Lis Syaikh Ibni 'Utsaimin, hal. 133-136)

Imam Dakwah berkata menjelaskan yang dimaksud:

"Adapun ungkapan Syaikh (maksudnya: Ibnu Taimiyyah -rahimahullahu-)....sesungguhnya beliau terang-terangan didalamnya bahwasanya individu/person tertentu itu tidak dikafirkan kecuali setelah tegak hujjah atasnya. Jika individu/person dikafirkan setelah tegak hujjah atasnya, maka termasuk perkara yang sudah diketahui bahwasanya tegaknya hujjah itu bukan ertinya dia memahami kalamullah dan Rasul-Nya seperti pemahaman Abu Bakr dan Umar -radhiyallahu anhuma-, bahkan jika telah sampai padanya kalamullah dan Rasul-Nya, dan terbebas dari perkara yang dia diberi udzur dengannya, maka dia telah kafir, sebagaimana orang-orang kafir telah tegak hujjah atas mereka seluruhnya dengan al-Quran." (Ar-Rasāil asy-Syakhshiyyah, dalam Majmu Muallafāt Syaikh 3/2/122, termasuk dalam risalah yang beliau kirim ke Ahmad bin Abdul Karim, seorang pria penduduk al-Ahsā', dan kitab Hukmu Takfir Mu'ayyan wa al-Farqu Baina Qiyāmi al-Hujjah wa Fahmi al-Hujjah, hal. 13)

Dan sebagian Aimmah Dakwah dalam sebagian ungkapan mereka dipahami darinya tidak dipersyaratkan qiyāmul hujjah (penegakan hujjah), dan terkadang secara mujmal (global) dalam sebagian tulisan-tulisan (Lihat Hukmu Takfir Mu'ayyan wa al-Farqu Baina Qiyāmi al-Hujjah wa Fahmi al-Hujjah, hal. 9), maka sepantasnya membawakan hal tersebut kepada (makna) Takfir Mutlak yang para penyelesihi mereka menyelisihi mereka di dalamnya. Barangsiapa yang memperhatikan kalimat-kalimat mereka secara sempurna, maka dia akan mendapati bahwa sesungguhnya mereka tidak mempersyaratkan paham hujjah (fahmul hujjah) pada masalah-masalah tertentu, dan itu tidaklah bermakna bahwa mereka tidak berpendapat penegakan hujjah (qiyamul hujjah) sebagai syarat dalam pengkafiran individu (takfir mu'ayyan), karena sesungguhnya ungkapan-ungkapan ini terikat (muqayyad) dengan waktu, atau masalah, atau individu, maka hendaknya memperhatikan perkara ini(1).

Ini adalah metode yang dikenal (makruf) di sisi ulama, terkadang mereka memutlakkan di suatu tempat dan mentaqyid pada sebagian tempat yang lain, mereka mengglobalkan (memujmalkan) pada suatu tempat dan memaparkan rinci pada tempat yang lain, maka sesuatu yang mutlak diarahkan kepada (makna) muqayyad, demikian pula sesuatu yang mujmal (global) diarahkan kepada makna mubayyan (pemaparan rinci)

Pada sebagai tempat ungkapan-ungkapan mereka ada penjabaran rincian, atau sesuatu yang global dirinci pada tempat yang lain sehingga dijabarkan (secara rinci), atau ucapan pada sifat-sifat muktabar. Maka menggiring (semua ini) kepada individu/person bisa menyebabkan banyak keburukan.

===============
(1) Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz al-'Anqariy -rahimahullahu- menjelaskan bahwasanya di antara perkara yang penting adalah mengetahui perkara-perkara yang melingkupi sebagian ungkapan, dan pentingnya mengenal sebab-sebab pengumpulan kitab-kitab dan tulisan-tulisan:

"Kami jelaskan kepada kalian sebab ditulisnya kitab "Ad-Dalāil, sesungguhnya Syaikh Sulaiman menulis kitab itu ketika tentara-tentara Turki menyerang Najed di masanya, dan mereka ingin menghilangkan agama Islam dari akarnya, dan mereka dibantu oleh sekelompok orang dari penduduk Najed dari kalangan orang-orang pedalaman dan kota dan mereka senang untuk membantu mereka(tentata Turki).
Demikian pula tulisan Syaikh Hamd bin 'Atīq (berjudul) "Sabīl an-Najāh", itu ketika tentara-tentara Turki menyerang negeri-negeri kaum Muslimin, dan dibantu oleh orang-orang yang membantu mereka, sehingga mereka berhasil menguasai kebanyakan dari negeri Najed. Maka mengetahui sebab penulisan di anatra perkara yang membantu untuk memahami ucapan para ulama. (Ad-Durar as-Saniyyah: 9:157-58)

Aku (penulis) katakan: demikian pula mengenal sebab ucapan, arahnya dan hal-hal yang melingkupinya adalah perkara yang sangat penting, karena hal itu akan membantu untuk memahami pembicaraan dalam masalah penegakan hujjah (qiyāmul hujjah), contohnya; jika kita membaca ucapan sebagian imam-imam dakwah yang tidak berpendapat adanya penegakan hujjah (iqāmatul hujjah), maka hendaknya kita memperhatikan dalam masalah apakah mereka berbicara? Jika kita dapati mereka berbicara terhadap seseorang (individu tertentu) seperti Ibnu Manshur yang menjadikan orang-orang yang terjatuh ke dalam kesyirikan itu mendapatkan pahala, dan mereka itu mentakwil, oleh karena itu tidak boleh memutlakkan kekafiran atas perbuatan mereka, maka di sini kita meyakini bahwa sesungguhnya ucapan para imam tersebut diarahkan kepada perbuatan-perbuatan (al-Af'āl), atau itu diarahkan kepada individu tertentu yang telah tegak hujjah atasnya.

[Diterjemahkan dari kitab Taqriiraat Aimmatid Dakwah Fii Mukhaalafati Madzhab al-Khawārij Wa Ibthālihi (Cetakan pertama: 2009), karya Syaikh DR. Muhammad Hisyaam Thaahiriy]

Bersambung insya Allah...
=============••••••••============

Catatan:

1. Demikian pula dalam pembahasan udzur biljahl, ketika sebagian penuntut ilmu menjelaskan bahwa dalam masalah itu ada khilaf di kalangan para ulama (dan ini fakta), maka tidak pantas bagi penuntut ilmu yang lain untuk memvonisnya dengan vonis yang tidak layak baginya, seperti vonis "Murjiah". Kalau ada yang mengatakan: "Ini adalah ucapan Syaikh fulan", saya jawab: Ulama itu bukan Syaikh fulan saja. Mereka bisa salah dan bisa benar, kalau mereka benar dapat dua pahala dan jika salah dapat satu pahala, mereka mujtahid, kamu muqollid dapat apa?
2. Ulama yang berpendapat adanya udzur biljahl itu banyak, tentunya dengan perincian yang mereka sebutkan. Apakah para ulama itu kita vonis "Murjiah" juga? Atau vonisnya pilah-pilih?
3. Kitab yang membahas tentang pemikiran dan metodologi dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab-rahimahullahu- itu banyak, dari tulisan ringkas hingga penelitian ilmiyyah seperti kitab di atas. Seorang penuntut ilmu perlu menelaah dan membaca kitab-kitab atau penelitian ilmiyyah yang telah ditulis, agar wawasan menjadi luas dan tidak serampangan mengkafirkan atau memurjiahkan orang lain.

Semoga bermanfaat, baarakallahu fiykum.

Muhammad Tamrin Abu Zakariyya At-Tawawy