Bedakah madzhab syafi’iyyah dengan madzhab asy syafi’i?
Bismillah,
Sebelum kita menjawab pertanyaan di atas, marilah kita sama-sama melihat dahulu apa itu takhrij fiqh dan tingkatan-tingkatan takhrij khususnya dalam madzhab asy syafi’i. sehingga bisa menjawab pertanyaan di atas.
Makna takhrij di dalam fiqh bermacam-macam diantaranya
1. Usaha untuk mengembalikan khilaf-khilaf fiqh kepada kaidah-kaidah ushuliyyah yang dipegang oleh madzhab fulan dan madzhab allan. Definisi inilah yang akan dijumpai saat kita membaca kitab takhrijul furu’ ‘alal ushul karya Al Imam Az zanjani dan juga kitab at tamhid fi takhrijil furu’ ‘alal ushul karya Al Imam Al Isnawi.
2. Usaha untuk menjustifikasi pendapat-pendapat yang di nukil dari para imam dan menjelaskan dari mana asal pengambilan-pengambilan pendapat ini dengan metode mengeluarkan sebab-sebab atau alas an-alasan (illah) dan bagaimana menyandarkan hukum itu kepada illahnya.Ini yang lebih dikenal dengan istilah takhrijul manath.
3. Pendapat yang tidak ada nashnya dari Imam madzhab (yang dimaksud nash di sini dan seterusnya dalam tulisan ini adalah teks perkataan al imam), namun dikeluarkan dari pendapatnya yang ada nash (teks) nya dan berdasarkan ushul dari madzhab Al Imam. Dalam hal ini dengan cara mengqiyaskan apa yang di diamkan oleh Al Imam atau tidak terdapat nash perkataan dari sang Imam kepada apa yang telah di nash kan oleh Al Imam tentunya dengan kaidah-kaidah ushuliyyah dari Imam Madzhab. Ini yang disebut oleh Asy syaikh Ya’qub Al Bahussain dengan Al Istinbath al Muqoyyad. Jadi yang ketiga ini seperti qiyas namun yang menjadi ashl adalah nash dari Al Imam. Dan inilah yang umumnya dimaksudkan oleh para fuqoha terkait aktifitas takhrij.
Di dalam madzhab syafi’i aktifitas takhrij ini sudah berlangsung sejak generasi awal (mutaqoddimin) yang dikenal dengan istilah generasinya ashabul wujuh. Ada beberapa tingkatan takhrij dalam madzab syafi’i sebagaimana di nukil oleh Al Imam An Nawawy dari Al imam Abu 'amr Ibnus sholah rahimahumallah:
1. Diambil dari nash tertentu, dalam satu masalah tertentu kemudian dikeluarkan darinya kepada masalah yang serupa tanpa ada perbedaan dan disana tidak terdapat adanya nash yang menyelisihinya. Takhrij seperti ini yang paling kuat di dalam madzhab.
2. Mirip dengan yang tingkatan pertama namun disana ada nash al imam yang menyelisihinya. Maka Ashabus syafi’i khilaf dalam hal ini, ada yang mengunggulkan hasil takhrij tersebut, ada pula yang menjadikannya pendapat tersendiri. Yang kedua ini umumnya akan mengatakan ada dua qoul dalam masalah ini: satu dari penukilan (nash imam yang menyelisihi hasil takhrij) dan satu dari takhrij.
3. Tidak terdapat nash tertentu dalam satu masalah tertentu, namun di sana ada kaidah madzhab yang universal yang merupakan kesimpulan dari berbagai nash-nash syar’iyyah yang dapat menjadi dasar hukum dari suatu masalah yang tidak ada padanya nash dari Al Imam. Jenis takhrij yang ketiga ini hampir setara dengan yang pertama kekuatannya dan bisa jadi bahkan lebih kuat dari jenis yang kedua.
4. Seorang mukhorrij tidak mendapati ketiga jenis takhrij di atas namun ia mendapati sebuah dalil syar’i yang berjalan sesuai dengan ushul yg di tetapkan oleh Al Imam asy syafi’i maka kemudian ia mentakhrij berdasarkan dalil tersebut.
5. Seorang mukhorrij tidak mendapati keempat jenis takhrij di atas namun ia mendapati sebuah dalil syar’i yang berjalan sesuai dengan sebuah ashl (ushul fiqh) dari jenis apa yang dikatakan oleh Al Imam namun tidak ada nash perkataan Al Imam terkait ashl yang dimaksud.
6. Seorang mukhorrij tidak mendapati satupun dari kelima jenis takhrij di atas, namun ia adalah seorang yang sangat paham dan menguasai akan madzhab syafi’i baik fiqh maupun ushulnya dan itu mendarah daging pada dirinya. Kemudian ia dengan malakah nya ini dapat mengetahui apa yang diinginkan atau dimaksud oleh Al imam walaupun al Imam tidak terang-terangan mengatakannya. Kemudian bersamaan dengan itu sang mukhorrij ini mendapatkan dalil yang sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Al Imam.
7. Seseorang mukhorrij tidak mengikuti pendapat imamnya di dalam madzhab, tidak mengikuti dalil yang dipakai oleh Al Imam. Namun ia di nasabkan kepada madzhab asy syafi’i karena ia mengikuti metode sang imam di dalam ijtihad dan ia mengajak kepada metode sang imam. Maka ketika ia mengatakan sebuah pendapat itu ibaratnya seperti mujtahid mutlaq tetapi karena intisabnya kepada asy syafi’i kemudian mengikuti metode ijithadnya asy syafi’i maka qoul mukhorrij seperti ini yang disebut wajh dalam madzhab.
Tidak adalagi diluar yang tujuh macam takhrij ini melainkan ijtihad mutlak yang mana seorang mujtahid mutlak tidak mengikuti metode selainnya sebagaimana yang terjadi pada salah seorang ashabusy syafi’i yang sangat masyhur, Al Imam Ismail bin Yahya bin Ismail abu Ibrahim al muzani rahimahullah. Apakah beliau masuk kepada kategori yang terakhir ini ataukah tidak sehingga manakala beliau menyendiri di dalam pendapatnya maka pendapatnya tersebut tidak dianggap madzhab syafi’i.
Dari paparan di atas terlihat bagaimana hubungan kuat antara pendapat yang merupakan hasil dari takhrij para ulama’ syafi’iyyah dengan nash Al Imam Asy Syafi’i ataupun qowaid ushuliyyah yang telah digariskan oleh Al Imam Asy Syafi’i. Meskipun demikian para ulama berselisih terkait pendapat-pendapat yang merupakan hasil takhrij apakah boleh di nisbahkan kepada Asy Syafi’i ataukah tidak? Maka Al Imam Abu Ishaq menguatkan pendapat bahwa qoul yang merupakan takhrij tidak di nisbahkan kepada Al Imam Asy syafi’i adapun wajh maka tidak juga di nisbahkan kepada Al Imam Asy syafi’i tanpa ada khilaf. Demikian juga tidak lah dinisbahkan kepada madzhab syafi’i melainkan jika terkumpul dua hal yaitu adanya nash dari Al Imam dan ashabus syafi’i atau kebanyakan dari mereka berpendapat dengannya. Hal ini karena sebuah kaidah laa yunsabu ilaa sakitin qoulun (tidaklah sebuah perkataan di nisbahkan kepada orang yang diam). Demikianlah sikat amanah ilmiyah dari para ulama. Satu hal lagi, para ahli takhrij ini bukanlah orang sembarangan di dalam madzhab. Mereka adalah ulama-ulama yang sangat dalam ilmunya dan sangat mengenal nash dari Al Imam dan ushul nya. Mengetahui dengan sangat baik metode istidlal dari sang Imam terhadap dalil-dalil syar’i dan sangat menguasai furu’ madzhab dan kaidah-kaidahnya. Allahua'lam bish showab.
Demikian mudah-mudahan tulisan ringan ini bermanfaat dan bisa menambah wawasan kita semua....amin.
Bahan Bacaan:
Al Madzhab Asy Syafi'i karya asy syaikh Muhammad Thoriq maghribiyyah
Ustadz Farid Fadhilah