Adapun isnad kami dalam fiqh syafi’i, dari Prof.Dr. Ahmad al maqrami (syaikh halaqah masjid an nabawi dahulu), telah kami mendengar darinya sejumlah matan beserta ta’liq, diantaranya lengkap dan tidak lengkap
Adapun yang lengkap , seperti : al muqaddimah al hadhramiyah, al yaqut an nafis, zubad ibn raslan, ar rahabiyah, matan abi syuja’ , dll.
Adapun yang tidak lengkap , seperti : sebagian dari al minhaj dan al muhadzdzab.
Dan juga mendapat isnad secara umum untuk seluruh marwiyatnya.
Hanya saja, semua ini tidak akan menjadikan kita bergelar faqih, kecuali dengan mudarasah, mudzkarah, muraja’ah dengan waktu yang panjang dan berkesinambungan sehingga benar2 mentahqiq masailnya dengan menguasai Qawa’id dan ta’lilatnya, setelah itu baru layak digelari sebagai faqih asy syafi’i.
Benar , isnad adalah sebuah kehormatan, namun yang paling urgen, apa setelah isnad?!!!.
Al khotib menyebutkan dalam “ al faqih wal mutafaqqih “ : “ janganlah seseorang merasa cukup dan puas hanya menjadi seorang perawi atau muhaddits saja “.
Lalu beliau membawakan riwayat dengan sanadnya bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :
كونوا دراة ولا تكونوا رواة ، حديث تعروفنه خير من ألف تروونه
“ jadilah kalian sebagai orang yang memahami (maksudnya mengerti kandungan marwiyatnya) dan janganlah sebatas menjadi perawi , karena satu hadits yang engkau mengerti kandungannya lebih baik dari seribu hadits yang engkau riwayatkan “.
Maksud dari semua ini adalah, guru merupakan unsur penting, namun itu belum cukup menjadikan seseorang berhasil menjadi seorang faqih dalam ilmu , kecuali dengan upaya sendiri tentunya setelah Taufiq dari Allah subhanallahu wataAla , karena guru hanyalah kunci, adapun samudera maka harus dilalui sendiri. Apa yang ada pada guru mungkin hanyalah 5 % dari maklumat yang tersimpan didalam luasnya samudera kitab.
Ustadz abu fadlullah