Minggu, 31 Mei 2020

Diantara keistimewaan manhaj dan akidah salaf adalah keselarasannya dg naluri manusia. Ketika sebuah akidah selaras dg naluri, maka selain akidah tersebut membuat jiwa tenang, juga menjadi bukti kebenarannya

Diantara keistimewaan manhaj dan akidah salaf adalah keselarasannya dg naluri manusia. Ketika sebuah akidah selaras dg naluri, maka selain akidah tersebut membuat jiwa tenang, juga menjadi bukti kebenarannya.

Sebab ahlu sunnah meyakini, selain Allah yang menurunkan wahyu, Allah juga yang telah menanamkan naluri dalam fitrah manusia. Sehingga seharusnya, tidak ada pertentangan antara dua hal tersebut, karena berasal dari sumber yang sama.

Makanya kita dapatkan dalam akidah salaf, keyakinan keyakinannya begitu mudah dipahami dan naluriah. Sementara kalau kita melihat kelompok lain, seperti ahlu kalam dan ahlu filsafat, akan kita dapatkan banyak sekali akidah yang sulit dicerna dan menyalahi naluri manusia.

Itulah yang menyebabkan banyak dari mereka, ketika sudah mencapai puncak pengembaraannya merasa kebingungan dan kebimbangan. Hingga mereka pun berandai andai memiliki keyakinan seperti orang awam. Ya, karena orang awam akidahnya hanya mengikuti naluri.!!

Seperti keyakinan kalau Allah diatas. Selain itu hal yang bersifat pasti dalam nusus wahyu. Kemudian juga sesuai dg akal sehat. Hal tersebut juga sangat sesuai dengan naluri manusia.

Meskipun terkadang adanya naluri ini tidak terasa, karena tertutupi syubhat dan sebagainya. Tapi bukan berarti hilang. Makanya lihatlah, terkadang mereka yang secara teoritis mengingkari Allah di atas pun, tetap saja dalam beberapa kondisi, -terutama dalam kondisi terdesak- akan keluar naluri tersebut.

Seperti kisah imam Al Juwaini dan perdebatannya dg Al Hamdzani, yang populer itu. Terlepas dari benar atau tidaknya kisah tersebut, tapi Ibnu Taimiyah juga memiliki pengalaman yang sama. 

Beliau bercerita : "Maka mereka yang mengingkari ketinggian Allah, ketika salah seorang dari mereka terdesak, mereka akan menghadapkan jiwanya ke atas (untuk) berdoa kepada Allah. 

Dahulu pernah, ada diantara para pengingkar (sifat ketinggian Allah) itu, yang dia termasuk tokoh mereka, memiliki kebutuhan terhadapku.
Aku pun berbicara kepadanya tentang madzhab ini (menolak sifat ketinggian) seolah olah aku tidak mengingkarinya. 

Lalu aku (sengaja) menunda untuk memenuhi kebutuhannya sampai sesak dadanya. Maka (ketika sudah terdesak dan sesak dadanya) diapun mengangkat kepala dan pandangannya ke langit, dan berkata : "Ya Allah...". Aku pun berkata kepadanya : " Kepada siapa anda mengangkat pandangan dan kepalamu? Apakah ada seseorang di atas mu?" 

Dia berkata, "astahgfirullah". Dan dia kembali dari nya, ketika mengetahui kalau keyakinannya bertentangan dengan fitrah nya..."

(Dar'ut Ta'aarudh, 6/343-344)

Beberapa waktu lalu, saya juga melihat sebuah video, yang berisi beberapa potongan ceramah para tokoh mereka yang mengingkari ketinggian Allah. Ketika menyebut nama Allah, dalam ceramah mereka, mereka mengisyaratkan - entah dengan mata atau jari- menunjuk ke arah atas.Apalagi kalau bukan karena naluri.

Diantara buku yang cukup luas membahas tentang naluri manusia, urgensi dan kaitannya dengan kejiwaan serta pengetahuan manusia adalah buku di gambar ini.  

Sebagaimana terlihat dari judulnya, buku ini ditulis dengan bersandar kepada statemen statemen nya Ibnu Taimiyah.

Lagi lagi Ibnu Taimiyah.... :D 

اعرف_ابن_تيمية
Ust abu Hanin asSalemi