Penyesalan Ahlul Kalam
Imam Asy Syaukani (w. 1250 H) rahimahullah berkata :
“Aku melahap kitab-kitab karangan para ahli filsafat/kalam yang bermacam-macam dengan harapan pulang dapat ilmu yang bermanfaat dan dapat keuntungan. Ternyata aku tidak mendapatkan apa-apa dari semua itu, selain kekecewaan dan kebingungan. Hal itulah yang menjadikan aku cinta (kembali) kepada madzhab salaf, setelah dulunya aku pernah ada di salaf, tetapi saat itu aku ingin tambah memahami dan menguasai (dengan belajar filsafat). Maka pada saat itu aku katakan: hasil akhir dari penelitianku dari pandanganku setelah lama merenung, adalah berdiri di antara persimpangan jalan yang bimbang, tidaklah ilmu orang yang belum bertemu selain kebimbangan, padahal sebelumnya aku telah melalui di tengah-tengahnya. Dan tidaklah aku puas sebelum menyelaminya.”
(At-Tuhaf fii Madzahib As-Salaf)
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah berkata :
إنني قد سلكت الطريقة النقشبنديــة ، وعرفت الخفي والأخفى من لطائفها وأسرارها ، وخضت بحر التصوف ورأيت ما استقر باطنه من الدرر ، وما تقذف أمواجه من الجيف ، ثم انتهيت إلى مذهــــب السلــــف الصالحين ، وعلمت أن كل ما خالفه فهو ضلال مبين
“Sesungguhnya saya telah menempuh tarekat An-Naqsyabandiyyah dan saya telah mengenali yang tersembunyi dan yang paling tersembunyi dari misteri-misteri dan rahasia-rahasianya. Saya telah mengarungi lautan tasawuf dan telah meneropong intan-intan di dalamnya yang masih kokoh dan buih-buihnya yang terlempar ombak. Namun pada akhirnya petualangan itu berakhir pada madzhab salafush shalih dan tahulah aku bahwa setiap yang bertentangan dengannya adalah kesesatan yang nyata.”
(Majalah Al-Manar. Edisi Rajab. Tahun 1326 H)
Imam Ath-Thahawi rahimahullah ta'ala :
فَيَتَذَبْذَبُ بَيْنَ الْكُفْرِ وَالْإِيمَانِ، وَالتَّصْدِيقِ وَالتَّكْذِيبِ، وَالْإِقْرَارِ وَالْإِنْكَارِ، مُوَسْوِسًا تَائِهًا، شَاكًّا زَائِغًا، لَا مُؤْمِنًا مُصَدِّقًا، وَلَا جَاحِدًا مُكَذِّبً.
"Maka bagi (ahli kalam) merasa bimbang berada di antara kekufuran dan keimanan, pembenaran dan kedustaan, serta menerima atau ingkar, di mana ia merasa gelisah dengan kesesatannya, keraguan dan penyimpangannya. Ia bukan seorang mukmin yang jujur bukan pula orang yang ingkar yang pendusta."
(Syarh At-Thahawy Ibnu Abil 'Izz, 1/242)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata :
"Ilmu kalam disebut demikian karena mereka terlalu banyak kalam (bicara) dan terlalu banyak argumen. Padahal perkara yang dibahas sederhana saja. Namun anda dapati mereka membahas satu masalah akidah kemudian menulisnya berlembar-lembar tanpa ujung dan tanpa faedah. Mereka membahas muqaddimah dan konsekuensi yang panjang lebar, yang andaikan itu tidak ada, tentu akan lebih baik dan lebih berkah. Oleh karena itu kebanyakan ulama kalam yang mencapai puncak ilmu kalam, justru mereka menyesal.
(Ta'liq 'ala Muqaddimah Al Majmu', hal. 74)