TEMPO.CO, Jakarta - Setiap terjadinya pemilihan umum (pemilu), apalagi seiring makin dekatnya Pemilu 2024, masyarakat akan tidak asing dengan istilah golongan putih atau golput. Aksi tidak memilih saat pemilu ini kerap terjadi di negara demokrasi. Namun rupanya, tindakan tersebut bisa berurusan dengan hukum.
Berdasarkan Jurnal Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Memilih Dalam Pemilu yang ditulis oleh Bismar Arianto tahun 2011, fenomena golput sudah terjadi sejak diselenggarakan pemilu pertama tahun 1955, akibat ketidaktahuan atau kurangnya informasi tentang penyelenggaraan pemilu, sehingga ada masyarakat yang tidak datang ke tempat pemungutan suara.
Namun saat masa Orde Baru, golput memiliki makna yang berbeda. Istilah golput muncul pertama kali menjelang pemilu pertama di zaman Orde Baru tahun 1971, dan yang memprakarsasi sikap untuk tidak memilih ini adalah Arief Budiman yang saat itu adalah seorang dosen di Universitas Kristen Satya Wacana. Saat itu, Arif memiliki pandangan bahwa aturan main berdemokrasi pada masa itu tidak ditegakkan, dan cenderung diinjak-injak.
Masih dalam jurnal yang sama, menurut Arbi Sanit, seorang ilmuwan politik Indonesia, terdapat tida kriteria seseorang yang golput yaitu: menusuk lebih dari satu gambar partai, menusuk bagian putih dari kartu suara, atau tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih.
Lalu, bagaimana hukum mengatur orang-orang yang golput?
tempo.co
Tempo.co
Pemilu
Tindakan Golput saat Pemilu Bisa Berujung Sanksi Pidana, Begini Aturannya
Reporter
Fani Ramadhani
Editor
Hisyam Luthfiana
Selasa, 4 Juli 2023 17:21 WIB
Ilustrasi golput. Rnib.org.uk
TEMPO.CO, Jakarta - Setiap terjadinya pemilihan umum (pemilu), apalagi seiring makin dekatnya Pemilu 2024, masyarakat akan tidak asing dengan istilah golongan putih atau golput. Aksi tidak memilih saat pemilu ini kerap terjadi di negara demokrasi. Namun rupanya, tindakan tersebut bisa berurusan dengan hukum.
Berdasarkan Jurnal Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Memilih Dalam Pemilu yang ditulis oleh Bismar Arianto tahun 2011, fenomena golput sudah terjadi sejak diselenggarakan pemilu pertama tahun 1955, akibat ketidaktahuan atau kurangnya informasi tentang penyelenggaraan pemilu, sehingga ada masyarakat yang tidak datang ke tempat pemungutan suara.
Namun saat masa Orde Baru, golput memiliki makna yang berbeda. Istilah golput muncul pertama kali menjelang pemilu pertama di zaman Orde Baru tahun 1971, dan yang memprakarsasi sikap untuk tidak memilih ini adalah Arief Budiman yang saat itu adalah seorang dosen di Universitas Kristen Satya Wacana. Saat itu, Arif memiliki pandangan bahwa aturan main berdemokrasi pada masa itu tidak ditegakkan, dan cenderung diinjak-injak.
Masih dalam jurnal yang sama, menurut Arbi Sanit, seorang ilmuwan politik Indonesia, terdapat tida kriteria seseorang yang golput yaitu: menusuk lebih dari satu gambar partai, menusuk bagian putih dari kartu suara, atau tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih.
Lalu, bagaimana hukum mengatur orang-orang yang golput?
Advertising
Advertising
Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) khususnya tentang ‘Hak Memilih’ pada Pasal 198 ayat (1) menyatakan bahwa “Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih.”
Dalam UU Pemilu ini, seorang pemilik hak boleh menggunakan atau juga tidak menggunakan hak memilih tersebut. Sehingga dapat diartikan bahwa sikap golput merupakan hak seseorang yang terkategorikan sebagai pemilih menjadi pilihan yang diperbolehkan.
Karena jika melihat lebih jauh pada UUD 1945 Pasal 28E Ayat (2) yang berbunyi, ”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” dan pada Ayat (3) yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Sehingga dapat diartikan bahwa hak menyatakan pilihan politik untuk menjadi golput dapat dianggap sebagai bagian dari hak warga negara dalam mengekspresikan pikirannya dan bukan merupakan sebuah perbuatan yang melanggar hukum.
Namun dalam unsur perbuatan pidana yang secara tersirat bersinggungan dengan sikap golput, terdapat pada UU Pemilu Pasal 515 UU Pemilu yang berbunyi:
“Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”
Dikutip dari Institute Criminal Jurtice Reform, atas dasar rumusan pasal ini maka terdapat catatan penting yang harus diperhatikan, antara lain:
Pertama, jika memperhatikan unsur “dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih,” maka yang dapat dipidana hanya orang yang menggerakkan orang lain untuk golput dengan cara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya. Sehingga jika tidak ada janji atau tidak memberikan sejumlah uang atau materi, maka tindakan sekedar menggerakkan orang untuk golput tidak dapat dipidana.
Kedua, orang yang memilih golput atau mendeklarasikan dirinya golput tidak dapat dipidana, karena itu adalah hak yang dijamin oleh Undang-undang dan Konstitusi selama tidak menggerakkan orang lain dengan menggunakan janji dan pemberian uang atau materi lainnya untuk golput.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa memberi sanksi pidana kepada seseorang atau kelompok yang golput akan sangat sulit bahkan tidak bisa, karena sikap tersebut merupakan hak politik warga negara sepenuhnya dan bukan pelanggaran hukum.
https://www.google.com/amp/s/pemilu.tempo.co/amp/1744396/tindakan-golput-saat-pemilu-bisa-berujung-sanksi-pidana-begini-aturannya