Rabu, 31 Januari 2024

Maafkan Dia... Sebuah Kisah yang Menginspirasi HidupmuKisah yang menginspirasi ini diceritakan oleh Syaikh Abdurrazzaq al-Badr:

Maafkan Dia... Sebuah Kisah yang Menginspirasi Hidupmu

Kisah yang menginspirasi ini diceritakan oleh Syaikh Abdurrazzaq al-Badr:

Ini adalah adalah kisah Abu Bakar dan Misṭaḥ. 

Misṭaḥ berasal dari kalangan Muhajirin, termasuk orang Muhajirin yang fakir. Ia masih termasuk kerabat Abu Bakar As-Siddiq. 

Abu Bakar menanggung nafkah Misṭaḥ. Abu Bakar memberikan nafkah untuk memenuhi kebutuhannya. 

Namun, Misṭaḥ ternyata ikut andil dalam menyebarkan Ḥādiṡatul Ifki. Sebuah fitnah dusta yang menimpa ibunda kaum mukminin, Aisyah--semoga Allah meridai beliau--hingga turun ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang kesucian Aisyah dari fitnah ini. 

Ketika kabar ini sampai kepada Abu Bakar--semoga Allah meridai beliau--bahwa Misṭaḥ termasuk orang-orang yang menyebarkan kabar dusta itu, Misṭaḥ ikut memfitnah Aisyah, Abu Bakar bersumpah dengan nama Allah bahwa beliau tidak akan menafkahi Mistah lagi.

Ketika turun ayat yang menjelaskan kesucian Aisyah Ibunda kaum mukminin--semoga Allah meridai beliau--di antara isi dari ayat ini adalah firman Allah Subḥānahu wa Ta’alā,

وَلا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

"Janganlah orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah, bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kerabat mereka, orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, maka HENDAKLAH MEREKA MEMBERI MAAF dan AMPUNAN. Bukankah kalian suka jika Allah mengampuni kalian?" (QS. An-Nur: 22) 

Ketika Abu Bakar mendengar hal ini, ketika ayat ini sampai kepada beliau, beliau langsung berkata, 

"Ya, tentu saja!" 

Beliau langsung berkata, 

"Ya, tentu saja!" 

Mengisyaratkan bahwa Abu Bakar langsung mematuhi perintah dalam ayat tersebut.

Kemudian Abu Bakar kembali menafkahi Misṭaḥ, langsung, tanpa berpikir panjang.

Ayat ini tidak khusus untuk Abu Bakar--semoga Allah meridai beliau--sehingga hikmahnya dipetik berdasarkan keumuman ayat ini, oleh sebab itulah Allah berfirman,

"Janganlah orang yang mempunyai kelebihan di antara kamu bersumpah, …"

Ini bisa mencakup siapa saja yang tertimpa hal serupa, atau hal yang mirip seperti itu atau semacam itu, maka hendaknya dia merenungkan keagungan makna ayat ini dan memperhatikan firman Allah yang Maha Suci lagi Maha Tinggi:

أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ

"Bukankah kalian suka jika Allah mengampuni kalian?" (QS. An-Nur: 22) 

Abu Bakar berkata, "Ya, tentu saja! Ya, tentu saja!" dan langsung menafkahi Misṭaḥ lagi.

KISAH MEMAAFKAN YANG LAIN

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr kembali bercerita:

Pada kesempatan ini, aku ceritakan pada kalian sebuah kisah yang menakjubkan, sangat bagus, dan sangat menyentuh jiwa. 

Di masjid ini, di antara jamaah mulia yang pernah datang ke sini, seorang laki-laki, dia pernah duduk berdua bersamaku dan mulai berbincang-bincang denganku tentang salah seorang kerabatnya, dia berkata, 

"Aku jauhi dia karena Allah dan aku tidak berbicara dengannya." 

Dia yang diceritakan oleh laki-laki ini adalah suami saudarinya (adik iparnya).

Syaikh Abdurrazzaq meneruskan kisahnya: 

Laki-laki yang berbincang dengan saya ini dahulu adalah orang kaya dan pedagang sukses, sedangkan suami saudarinya itu orang miskin, tidak punya apa-apa. 

Laki-laki itu berkata, "Aku adalah pedagang dan punya harta, aku sangat ingin saudariku dan anak-anaknya serta suaminya hidup dengan penghidupan yang baik."

"Sehingga aku menuliskan sertifikat sebuah bangunan yang terdapat padanya sebuah toko, aku tulis sertifikatnya atas nama lengkapnya."

Laki-laki itu berkata kepada adik iparnya itu, "Ini adalah hadiah dariku untukmu dan tinggallah di sini."

Laki-laki itu terus bercerita,

"Kemudian, setelah beberapa lama, Allah mentakdirkan bahwa usaha dagang saya bangkrut."

"Hingga aku tidak memiliki apa-apa, dan tidak ada yang ada di benakku kecuali ipar saya tadi."

"Kemudian aku pergi menemuinya, aku beramah-tamah dengannya, dan aku berkata kepadanya bahwa aku sedang membutuhkan tempat yang bisa aku tempati sementara waktu hingga aku bisa mengatur kembali kehidupanku."

"Dia malah mengusir, mencelaku, dan berkata kasar kepadaku, … bahkan mengingkari pemberianku kepadanya."

"Maka kemudian aku menjauhinya dan aku putuskan hubunganku dengannya sejak hari itu."

Syaikh Abdurrazzaq meneruskan ceritanya:

Ketika itu orang ini berbincang kepadaku dengan rasa sakit hati yang sangat, aku (Syaikh) berkata kepadanya, 

"Walaupun dengan semua hal yang telah dilakukan oleh kerabatmu tersebut, apakah mempengaruhi kehormatanmu? Apakah dia merusak kehormatan dan kemuliaanmu dan keluargamu?"

Laki-laki itu menjawab, "Tidak sama sekali!"

Syaikh lantas berkata, "Seandainya dia merusak kehormatanmu, itu masalah yang lebih berat atau lebih ringan?"

Laki-laki itu menjawab, "Tidak, tentu itu lebih berat. Urusan dunia tidak sebanding dengan urusan kehormatan."

Syaikh lalu berkata, "Masalah kehormatan lebih berat bagimu?" 

Laki-laki itu menjawab, "Iya."

Lalu Syaikh Abdurrazzaq membacakan ayat ini dan mengisahkan kepadanya kejadian yang menimpa Abu Bakar di atas.

Langsung laki-laki itu berkata, "Selesai urusan!" 

"Masalah selesai!"

Mengisyaratkan bahwa laki-laki itu telah memaafkan iparnya.

Laki-laki itu berkata, "Selesai sudah, tidak ada apa-apa lagi dalam hatiku!"

Sebenarnya, nilai-nilai seperti ini harus bisa kita pahami, sehingga kita mengerti betapa agungnya sifat pemaaf walau apa pun yang terjadi, kita tetap meyakini firman Allah yang Maha Suci lagi Maha Tinggi ini:

أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ

"Bukankah kalian suka jika Allah mengampuni kalian?" (QS. An-Nur: 22)

Hendaknya hal ini selalu ada dalam diri seseorang, jangan sampai hilang!

Karena betapa banyak kejadian antar kerabat; saling boikot dan memutus hubungan karena urusan dunia yang sepele namun dibesar-besarkan oleh setan dalam hati mereka, hingga hubungan mereka terputus terus menerus hingga turun kepada anak-anak mereka, dan begitu seterusnya. Apa manfaat yang seseorang harapkan dari perbuatan semacam itu?

Maaf dari Allah dan ampunan-Nya jauh lebih agung. 

Oleh karena itu, hendaknya seseorang memaafkan agar Allah memaafkannya, memberi ampunan agar Allah mengampuninya, dan mengharapkan dari hal tersebut apa yang ada di sisi Allah.

Jangan melihat kepada orang yang menyakitinya atau menyusahkannya bahwa dia pantas untuk dimaafkan atau tidak, jangan lihat hal ini! 

Lihatlah betapa agungnya apa yang ada di sisi Allah, sehingga dia memaafkan agar Allah memaafkannya, dan memberi ampunan agar Allah Subḥānahu wa Ta’alā mengampuninya. 

Sebagaimana yang dikisahkan oleh Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah di video Nasehat Ulama Yufid, ditulis ulang dengan penyesuaian oleh tim Yufid.
Ustadz hendri syahrial