Kamis, 25 Januari 2024

Ada satu pelajaran penting yang diserap dari dari Ilmu Akidah, yang semoga berguna untuk kita semua, sebagai berikut.

Bismillah.

Ada satu pelajaran penting yang diserap dari dari Ilmu Akidah, yang semoga berguna untuk kita semua, sebagai berikut.

TAKDIR maupun MASA LALU tidak dapat dijadikan sebagai ALASAN untuk melakukan atau meninggalkan amalan. Dalam hal ini yang dimaksud adalah MELAKUKAN AMALAN BURUK dan MENINGGALKAN AMALAN BAIK.

Yang dapat dijadikan sebagai ALASAN untuk melakukan atau meninggalkan perbuatan (apa pun perbuatan itu) adalah SELERA, PENGARUH, NILAI, dan TUGAS. Lantas apabila terjadi pertentangan, maka yang dikedepankan adalah alasan yang lebih utama.

Kita ulas sedikit, bi'aunillah.

TAKDIR tidak dapat menjadi alasan sebab apa yang memang akan terjadi, baik berupa pelaksanaan maupun pembatalan perbuatan, itu memang sudah ditakdirkan akan terjadi sedemikian, sehingga pentakdiran bukanlah alasan yang relevan untuk memutuskan apakah perbuatan itu akan dikehendaki ataukah dijauhi. Apalagi, isi takdirnya pun belum diketahui.

Karenanya, ketika para sahabat bertanya mengenai apakah mereka perlu beramal ataukah diam saja mengandalkan Takdir, Rasulullah SAW cukup menjawab, "Beramallah..." Dan, ketika Khalifah Umar RA ditanya apakah kita lari dari takdir (dalam rangka menjauhi potensi penyakit di daerah yang akan didatangi), beliau cukup menjawab, "Kita lari dari takdir (saat ini) ke takdir (masa depan)". Yang pertama adalah mengusahakan perbuatan baik (melakukan salat dsb) dan yang kedua adalah menjauhi tindakan buruk (memasuki daerah berwabah).

Apa pun yang memang akan dipilih oleh si hamba (dan kemudian terlaksana) itu memang sudah ditakdirkan akan begitu, dan akan terlebih dahulu si hamba ditakdirkan untuk berkehendak melakukan atau meninggalkan perbuatan sadarnya itu. Sehingga, tidak sah seseorang menggantungkan diri pada hal ini untuk memutuskan apakah dia akan berbuat ataukah tidak. Justru perbuatan sadarnya itu akan terlaksana atas hasil dari kehendaknya, maka sangat tidak valid kalau dia menggantungkan kehendaknya pada apa yang justru akan terwujud dari kehendaknya itu sendiri. Orang yang tidak mau makan karena menunggu dirinya mau makan adalah orang yang tidak bisa berpikir dengan sehat.

MASA LALU tidak sah dijadikan sebagai alasan untuk melakukan kejahatan atau meninggalkan ketaatan sebab masa lalu (yang suram) itu telah berlalu, dan masa depan ini dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kesuraman masa lalu tersebut. Kalau masa depan digantungkan pada masa lalu yang suram, maka itu sama saja dengan menolak peluang yang sudah tersedia, dan penolakan itu jelas tidak sah. Masa yang masih mengandung peluang tidak sah untuk disamakan dengan masa yang sudah lewat dan tidak akan hadir kembali.

Karenanya, argumentasi Iblis untuk berusaha menggoda dan menyesatkan anak Adam dengan alasan bahwa sebelumnya dia telah "DITAKDIRKAN SESAT oleh Allah Ta'ala" adalah alasan yang tidak sah dan sangat tidak relevan. Justru harusnya kekelaman masa lalu dijadikannya sebagai pelajaran agar tidak mengulang kesalahan yang sama dan berusaha untuk meraih peluang perbaikan di masa depan (karena memang itulah makna dari adanya kesempatan), tetapi dia justru membalik pemikiran ini menjadi semakin memperburuk kualitas dirinya dengan alasan masa lalunya yang kelam.

---

Yang dapat dijadikan sebagai ALASAN untuk melakukan atau meninggalkan perbuatan (apa pun perbuatan itu) adalah SELERA, PENGARUH, NILAI, dan TUGAS. Lantas apabila terjadi pertentangan, maka yang dikedepankan adalah alasan yang lebih utama. Berikut gambarannya.

1. SELERA: Kesenangan atau Keengganan

Orang bisa mengatakan: "Saya akan berolahraga dengan jalan-jalan santai sebab saya menyenanginya, dan tidak lompat-lompat sebab saya enggan melakukannya".

Alasannya sekadar selera. Ini alasan yang wajar.

2. PENGARUH: Manfaat atau Bahaya

Orang bisa mengatakan. "Saya memilih makan jagung rebus ketimbang gorengan sebab rebusan tersebut bermanfaat untuk kesehatan saya sementara gorengan berbahaya".

Alasannya adalah pengaruh. Ini alasan yang wajar sekaligus berkualitas. Alasan ini harusnya mengalahkan alasan selera. Walaupun tidak disenangi, obat perlu diminum karena berguna. Walaupun disenangi, kolesterol perlu dikurangi karena berbahaya.

3. NILAI: Kebaikan atau Keburukan

Orang bisa mengatakan: "Saya putuskan untuk menyalurkan uang ini ke investasi halal (mudharabah) ketimbang untuk piutang berbunga (riba) sebab mudharabah itu baik sementara riba itu buruk".

Alasannya adalah nilai amalan. Ini alasan yang wajar, berkualitas, sekaligus luhur. Alasan ini harusnya mengalahkan alasan selera, dan menjadi penentu ketika ada benturan manfaat dan bahaya. Piutang riba memberikan manfaat, yaitu bunga dan tambahan harta, tetapi dengan menzalimi dan membahayakan pihak lain. Manfaatnya pun hanya jangka pendek, sementara jangka panjangnya justru sangat berbahaya, maka nilai amalan itulah yang menjadi pegangan.

Pada hakikatnya, semua yang baik akan bermanfaat dan semua yang buruk akan berbahaya, tetapi kadang-kadang pengaruh tersebut tidak langsung tampak atau terasa. Alasan ini akan mengendalikan hawa nafsu yang terkadang menggoda manusia dengan bayangan akan kenikmatan dan manfaat sesaat yang ujungnya adalah bahaya berkepanjangan, wal'iyadzubillah.

4. TUGAS: Perintah atau Larangan

Orang bisa, dan seyogianya, mengatakan, "Saya akan melakukan perbuatan ini dan meninggalkan yang itu sebab diperintahkan oleh Tuhan Yang Mahabijak untuk melakukan ini dan meninggalkan itu".

Alasannya adalah tugas, yaitu tugas dari Yang paling layak memberinya perintah atau larangan untuk melakukan atau meninggalkan perbuatan. Ini alasan yang wajar, berkualitas, luhur, sekaligus bijak dan mapan. Karena Allah itu Mahatahu, Mahabaik, dan Mahabijak, maka semua perintah-Nya pastilah baik, bermanfaat dan harus disenangi; dan semua yang dilarang-Nya itu pastilah buruk, berbahaya, dan harus dienggani.

TUGAS adalah alasan yang mapan, sehingga seorang hamba tidak perlu lagi menunggu penelitian akan kebaikan, manfaat, dan daya tarik dari suatu tugas yang jelas-jelas diamanahkan kepadanya untuk dilaksanakan, sebab semuanya itu sudah terjamin. Yang penting sudah jelas bahwa itu memang merupakan tugasnya saat itu, maka nilai dan pengaruhnya pun sudah terjamin, sehingga tinggal dia sukai dan kehendaki. Memahami hikmah dari suatu tugas itu bagus, tetapi bukan keharusan sehingga tidak perlu ditunggu.

Karenanya, ketika Nabi Ibrahim AS ditugaskan Allah Ta'ala untuk menyembelih anak tuggalnya yang sangat beliau cintai, beliau tidak perlu menunggu penelitian panjang akan kebaikan dari tugas ini. Tidak perlu sibuk membedah manfaatnya. Dan, tidak perlu mempedulikan selera dan perasaan sayangnya. Cukup langsung disampaikan tugas itu ke Ismail AS, yang memang perlu bekerja sama karena merupakan sasaran dari apa yang akan beliau lakukan dalam tugas tersebut.

Padahal, tugasnya datang hanya dalam bentuk wahyu paling minimal, yaitu mimpi. Ini sudah cukup bagi seorang kekasih Tuhan untuk yakin dan menjadi alasan bagi pelaksanaannya. Lalu barulah setelah diniatkan dan dimulai maka tersingkap langsung hikmah dari tugas tersebut. Tuntas sudah ujian itu beliau berdua jalani secara lancar, dan menAdapun untuk MELAKUKAN Amal BAIK dan MENINGGALKAN Amal Buruk, maka TAKDIR dan MASA LALU itu tentu dapat menjadi MOTIVASI, atau TAMBAHAN MOTIVASI, untuk hal tersebut. jelaslah nilai baik serta pengaruhnya bagi peningkatan iman dan derajat beliau berdua

{قَالَ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي فَغَفَرَ لَهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (#) قَالَ رَبِّ بِمَا أَنْعَمْتَ عَلَيَّ فَلَنْ أَكُونَ ظَهِيرًا لِلْمُجْرِمِينَ} [القصص: 16-17]

{إِنْ هِيَ إِلَّا فِتْنَتُكَ تُضِلُّ بِهَا مَنْ تَشَاءُ وَتَهْدِي مَنْ تَشَاءُ أَنْتَ وَلِيُّنَا فَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا وَأَنْتَ خَيْرُ الْغَافِرِينَ} [الأعراف: 155]

{رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ (#) رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ} [آل عمران: 193-194]

اللهمَّ إني عبدُك ، و ابنُ عبدِك ، و ابنُ أَمَتِك ، ناصيتي بيدِك ، ماضٍ فيَّ حكمُك ، عدلٌ فيَّ قضاؤُك ، أسألُك بكلِّ اسمٍ هو لك سميتَ به نفسَك ، أو علَّمتَه أحدًا من خلقِك ، أو أنزلتَه في كتابِك ، أو استأثرتَ به في علمِ الغيبِ عندَك ، أن تجعلَ القرآنَ ربيعَ قلبي ، و نورَ صدري ، و جلاءَ حزني ، و ذَهابَ همِّي

Wallahu A'lam.
Ustadz babanya sofia