Rabu, 31 Januari 2024

BELAJAR IKHTILAF DENGAN ABDULLAH BIN MUBAROK –RAHIMAHULLAH-

BELAJAR IKHTILAF DENGAN ABDULLAH BIN MUBAROK –RAHIMAHULLAH-

Diriwayatkan dari Ibnu Mubarok –rahimahullah- sesungguhnya dia berkata: “kami berada di Kufah, kemudian mereka (ahli Kufah) mendebat saya dalam permasalahan ini (yaitu permasalahan nabidz yang diperselisihkan para ulama keharamannya) 

Maka aku berkata kepada mereka: “kemarilah! Hendaknya ada yang berhujah di antara kalian dengan siapa saja dari para sahabat Nabi –shallallahu alaihi wa salam- yang menganggapnya rukhshoh (dibolehkan)! Apabila kami tidak membantahnya dengan membawakan riwayat yang sah dari sahabat itu juga berupa syidah (larangan terhadap nabidz) maka berhujahlah kalian dengan pendapatnya!”  

Maka tidaklah mereka mendatangkan sebuah riwayat pun dari seorang sahabat yang berpendapat rukhshoh (membolehkan), kecuali kami mendatangkan riwayat lain yang menerangkan pendapatnya yang syiddah (melarang).

Maka ketika tidak tersisa lagi argumentasi di tangan mereka kecuali pendapat Abdullah bin Mas’ud –padahal argumentasi mereka dengan pendapat Abdullah bin Mas’ud tentang bolehnya nabidz tidak ada yang sahih darinya- berkatalah Abdullah bin Mubarok: “aku berkata kepada yang berhujah dengannya tentang rukhshohnya nabidz: “wahai bodoh! Anggap bahwa Abdullah bin Mas’ud di sini duduk dan dia berkata: “ untukmu nabidz itu halal” kemudian apa yang kami datangkan dari Nabi –shallallahu alaihi wa salam- dan para sahabatnya yang melarangnya dengan keras, harusnya kalian berhati-hati, atau bingung (dengan pendapat Abdullah bin Mas’ud yang membolehkan), atau kalian takut (ketika berpendapat menyelisihi Hadits dan Jumhur Sahabat. Pent.)!

Maka berkatalah salah seorang dari mereka: “wahai Aba Abdirahman! Imam An-Nakhoi’ dan Imam Asy-Sya’bi –dan dia menyebut beberapa ulama lagi yang membolehkan nabidz- apakah mereka meminum yang haram?!”

Aku berkata: “ketika berhujjah tinggalkanlah (janganlah) menyebutkan nama-nama orang; karena betapa banyak orang yang ia memiliki kedudukan ini dan itu di dalam Islam dan bisa jadi dia memiliki ketergelinciran. APAKAH BOLEH BAGI SESEORANG BERDALIL DENGAN KETERGELINCIRANNYA?!

Kalau kalian enggan juga; bagaimana pendapat kalian tentang Imam ‘Atho, Imam Thowus, Imam Jabir bin Zaid, Imam Said bin Jubair serta Imam Ikrimah?”
Mereka berkata: “mereka adalah orang-orang baik”

Aku berkata: “apa pendapat kalian apabila satu dirham ditukar dengan dua dirham secara tunai?
Mereka berkata: “haram”

Maka berkatalah Ibnu Mubarok: “sesungguhnya mereka berpendapat halal. Kemudian mereka telah meninggal, apakah mereka telah memakan harta yang haram juga?”
Maka mereka terdiam dan terbantahkanlah hujah mereka.  

Berkata imam Asy-Syatibi setelah membawakan kisah ini:
“dan yang haq`adalah apa yang dikatakan Ibnu Mubarok; karena Allah berfirman: “apabila kalian berselisih dalam sesuatu hal maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul” QS. An-Nisa: 59

Apabila telah jelas dan terang bahwa pendapat seseorang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah; tidak sah menganggap (baik) pendapatnya dan membangun hukum di atasnya. Oleh karena itu dibatalkan keputusan Qodhi apabila bertentangan dengan Nash atau Ijma’, padahal hukumnya dibangun di atas yang dzohir bersama dengan kemungkinan menyelisihi dzohir. Dan tidak dibatalkan hukumnya apabila salah dalam ijtihad dan jelas kesalahannya setelah itu: karena maslahat tugas seorang hakim bertentangan dengan pembatalan hukumnya (maksudnya seorang qodhi apabila memutuskan perkara kemudian setelah berlalu waktu ia mendapati ada dalil yang lebih kuat maka hukum yang pertama tidak dibatalkan demi kemaslahatan mahkamah hukum. pent) akan tetapi dibatalkan apabila menentang dalil; karena perbuatan tersebut adalah BERHUKUM DENGAN SELAIN HUKUM ALLAH.
[muwafaqot (V/137-138)]

Dika Wahyudi Lc.