Rabu, 07 Oktober 2020

Perkara yang ketiga : Orang yang mempelajari madzhab-madzhab ini akan mengetahui. Bahwa pendapat-pendapat madzhab bukanlah pendapat dari imam madzhab.

Perkara yang ketiga : Orang yang mempelajari 
madzhab-madzhab ini akan mengetahui. Bahwa 
pendapat-pendapat madzhab bukanlah pendapat dari 
imam madzhab. 

Bahkan di kalangan Hanafiyah ada 
pendapat yang merupakan pendapat Hanafiyah dan 
pendapat para tokoh madzhab. Akan tetapi mereka 
memiliki pendapat yang tidak pernah dikatakan oleh Abu 
Hanifah. 

Fenomena seperti ini ada juga di kalangan 
madzhab Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.
Penyebab dari disebutkannya fenomena ini adalah 
apa yang telah berlalu isyarat tentangnya. Yaitu apabila 
engkau menyelisihi seseorang ia akan berkata : 

“Kamu 
kok berani menyelisihi Abu Hanifah ? 

Maka dikatakan :
“Tidak mesti ketika aku menyelisihi madzhab Hanafi, itu artinya aku telah menyelisihi Imam Abu Hanifah.” Bisa 
jadi Imam Abu Hanifah belum berbiacara di dalam 
permasalahan ini. Atau bisa jadi pendapat Imam Abu 
Hanifah menyelisihi pendapat yang banyak tersebar di 
kalangan madzhab Hanafi. 

Pernyataan serupa juga bisa 
dikatakan kepada Hanabilah, Malikiyah, Syafi’iyah.

Perhatian : Tidak ada patokan kokoh yang dijadikan 
dasar bahwa suatu pendapat itu merupakan pendapat 
madzhab. Maka dari itu engkau akan mendapati para 
tokoh madzhab berselisih di dalam menetapkan pendapat 
madzhab. 

Seandainya engkau membaca lima halaman saja 
dari kitab Al-Inshof tulisan Al-Mardawai. Niscaya engkau 
akan mendapatkan kitab itu menukilkan dari madzhab 
Hanabilah sendiri banyak permasalahan berisi perbedaaan 
pendapat mereka di dalam menetapkan pendapat 
madzhab. Jadi tidak ada patokan yang jelas.

Maka dari itu banyak sekali dari kalangan fanatikus 
madzhab mereka sangat ketergantungan kepada ulama 
kontemporer. Hanafiyah misalnya banyak bergantung 
kepada Ibnu Abidin, Hanabilah banyak bergantung 
kepada Al-Buhuti. 

Terkadang mereka membuang ucapan Imam Ahmad ke balik tembok, membuang ucapan 
sahabat kibar Imam Ahmad ke balik dinding, karena Al-
Buhuti berada di atas suatu pendapat (yang berbeda). 

Bahkan seandainya engkau lebih memilih pendapat 
sahabat kibar Imam Ahmad dari pada pendapat Al-Buhuti 
maka para fanatikus madzhab ini akan mencaci maki 
engkau. 

Terkadang ada orang bertanya, apa manfaat dari 
adanya perbedaan di dalam internal madzhab fiqih itu 
sendiri. Seperti madzhab Hanafi dan madzhab Hanbali, di 
dalam kedua madzhab ini di dalamnya terdapat pendapat 
yang banyak. Demikian pula di dalam internal madzhab 
Syafii ada banyak pendapat seperti yang ada di dalam 
kitab Al-Mujmu’) tulisan Imam Nawawi. Atau yang ada 
di dalam kitab Al-Hawi tulisan Imam Al-Mawardi ?

Maka dikatakan sebagai jawabannya, manfaat 
terbesar dari adanya perbedaan ini adalah dengannya bisa 
diketahui bahwa di sana ada salaf di dalam permasalahan 
ini. Sehingga seseorang tidak memunculkan pendapat yang 
baru. Apabila engkau telah mengetahui bahwa Imam 
Ahmad memiliki dua riwayat atau tiga riwayat. Atau fuqaha Hanabilah memiliki dua pendapat atau fuqoha 
Syafi’iyah memiliki dua pendapat, engkau bisa memilih 
pendapat yang menurut engkau lebih tampak dalilnya. 

Karena ia tidak berstatus sebagai pendapat yang baru. 
Sehingga engkau bisa mengetahui bahwa engkau 
memiliki salaf (pendahulu) dalam pendapat tersebut.

Jawaban ini telah diisyaratkan oleh Ibnu Taimiyah di 
dalam bantahan beliau terhadap As-Subki di dalam Ta’liq 
Ath-Thalaq yang diterbitkan dalam dua jilid kitab.

-Syaikh Abdul Aziz Ar-Rayyis-

Sumber : Study Fiqih Antara Kejumudan Bermadzhab Dan Kengawuran Berijtihad : 40-43.
Ust Abul aswad Al bayati