Rabu, 04 Agustus 2021

Syubhat-syubhat penghalal musik dan jawaban ringkasnya

Syubhat-syubhat penghalal musik dan jawaban ringkasnya 

* Syubhat: "Tidak ada dalil yang melarang musik" 
Dalil yang melarang musik sangat banyak sekali, dari Al Qur'an, Sunnah dan ijma' ulama. Di antaranya, hadits dari Abu Malik Al Asy'ari radhiallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ والحريرَ والخَمْرَ والمَعَازِفَ

“Akan datang kaum dari umatku kelak yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan ma’azif (alat musik)” (HR. Bukhari secara mu’allaq dengan shighah jazm, Ibnu Hibban no. 6754, Abu Daud no. 4039).

* Syubhat: "Hadits Bukhari tentang haramnya musik adalah hadits lemah, dinilai lemah oleh Ibnu Hazm" 
Hadits dalam Shahih Bukhari itu tallaqqal ummah bil qabul, telah diterima sebagai hujjah oleh umat Islam secara umum. Bahkan An Nawawi mengatakan ia adalah kitab paling shahih setelah Al Qur'an. 

Hadits riwayat Bukhari tentang haramnya musik adalah hadits yang shahih. Ditegaskan keshahihannya oleh banyak imam besar dalam bidang hadits seperti Al Bukhari, Ibnu Shalah, Ibnu Hajar, Ibnu Taimiyah, Ibnu Rajab, An Nawawi, Asy Syaukani dan ulama besar lainnya. 

Klaim dari Ibnu Hazm bahwa hadits tersebut munqathi' (terputus sanadnya) adalah klaim yang keliru, dan telah dibantah oleh banyak ulama. Selain itu, Ibnu Hazm tidak dikenal sebagai ulama hadits.

Dan andai kita asumsikan hadits tersebut lemah, masih banyak dalil lain yang menunjukkan haramnya musik.

* Syubhat: "Rasulullah juga bersyair"
Melantunkan syair atau nasyid jika tanpa musik maka hukum asalnya mubah. Dan ini yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. 

* Syubhat: “Rasullullah membolehkan bermain duff (rebana) di hari pernikahan dan hari raya”
Hukum asal bermain alat musik adalah haram. Yang melarang adalah Allah dan Rasul-Nya. Namun Rasulullah mengecualikan permainan duff (rebana) para hari raya Idul Fitri dan Idul Adha serta pesta pernikahan. Itu pun yang dibolehkan hanya duff (rebana) saja bukan semua alat musik, dan dimainkan oleh anak-anak perempuan. Bukan dimainkan oleh anak-anak laki-laki atau orang dewasa.  

* Syubhat: “Jika untuk dakwah, maka musik dibolehkan”
Berdakwah itu baik, namun bagaimana mungkin berdakwah dengan sesuatu yang diharamkan oleh agama? Al ghayah la tubarrir al washilah, tujuan tidak menghalalkan segala cara.

Dan bukankah dakwah itu mengajak kepada ketaatan dan melarang perbuatan yang haram? Selain itu, musik sudah ada di zaman Nabi, namun Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam dan para sahabat tidak ada yang berdakwah dengan musik. Demikian juga para tabi'in, tabi'ut tabi'in serta para imam Ahlussunnah, tidak ada yang berdakwah dengan musik.

* Syubhat: “Sebagian ulama membolehkan musik”
Yang benar, sebagian ulama madzhab membolehkan beberapa model alat musik seperti ribab (semacam biola), syababah (semacam seruling), dan duff (rebana) secara mutlak. Bukan membolehkan semua alat musik. Namun ini pun pendapat yang keliru dan bertentangan dengan dalil-dalil yang ada. Karena tidak terdapat dalil yang mengecualikan alat-alat musik ini, kecuali rebana ketika dimainkan pada hari raya atau pernikahan. 

Selain itu telah dinukil ijma oleh belasan ulama di antaranya: Al Ajurri, Abu Thayyib Asy Syafi'i, Ibnu Qudamah, Ibnu Shalah, Abul Abbas Al Qurthubi, Ibnu Taimiyah, Tajuddin As Subki, Ibnu Rajab, Ibnu Hajar Al Haitami, Ibnu Abdil Barr, dan lainnya mereka semua menukil kata sepakat ulama tentang haramnya musik. Tentu saja dengan nukilan ijma sebanyak ini, menjadi suatu hal meyakinkan. 

Adapun perkataan ulama kontemporer yang membolehkan musik seperti Syaikh Yusuf Al Qardhawi, Syaikh Shalih Al Maghamisi, Syaikh Wahbah Az Zuhaili dan semisalnya, maka kita katakan, perkataan ulama bukan dalil. Tidak boleh meninggalkan dalil demi membela perkataan ulama. Terlebih sudah ada ijma' ulama dalam masalah ini. Pendapat yang menyelisihi ijma' adalah pendapat yang keliru. 

* Syubhat: “Asy Syaukani dalam Nailul Authar membawakan riwayat bahwa Ahlul Madinah membolehkan musik”
Pertama, Asy Syaukani tidak membolehkan musik, beliau hanya menukilkan riwayat. Dan riwayat yang beliau nukilkan juga sebagiannya shahih dan sebagiannya lemah. 
Kedua, apa yang difatwakan oleh Ahlul Madinah ketika itu adalah bentuk zallatul ulama (ketergelinciran ulama), yang tidak boleh diikuti. Oleh karena itu Al Auza'i mengatakan:

نتجنب من قول أهل العراق خمسا ، ومن قول أهل الحجاز خمسا ...  فذكر من قول أهل العراق : شرب المسكر ، ومن قول أهل الحجاز : استماع الملاهي، والمتعة بالنساء

“Jauhilah 5 pendapat Ahlul Iraq dan 5 pendapat Ahlul Hijaz (Madinah termasuk Hijaz) : di antara pendapat Ahlul Iraq yang dijauhi adalah pembolehan minuman yang memabukkan. Di antara pendapat Ahlul Hijaz yang dijauhi adalah pembolehkan alat musik dan nikah mut'ah” (Lihat Siyar A'lamin Nubala, 7/131).

Bagi yang sudah belajar kitab Syarhus Sunnah Al Barbahari tentu sudah tahu perkataan Ibnul Mubarak:

لا تأخذوا عن أهل الكوفة في الرفض شيئاً ولا عن أهل الشام في السيف شيئاً، ولا عن أهل البصرة في القدر شيئاً، ولا عن أهل خراسان في الإرجاء شيئاً، ولا عن أهل مكة في الصرف شيئاً، ولا عن أهل المدينة في الغناء، لا تأخذوا عنهم في هذه الأشياء شيئاً

“Jangan ambil pendapat Ahlul Kufah tentang syiah Rafidhah sama sekali. Jangan ambil pendapat Ahlus Syam tentang pemberontakan sama sekali. Jangan ambil pendapat Ahlul Bashrah tentang takdir sama sekali. Jangan ambil pendapat Ahlul Khurasan tentang irja' sama sekali. Jangan ambil pendapat Ahlu Makkah tentang transaksi sharf sama sekali. Jangan ambil pendapat Ahlul Madinah tentang musik sama sekali. Jangan ambil pendapat mereka dalam masalah-masalah ini sama sekali”.

Ini semua bentuk-bentuk zallatul ulama (ketergelinciran ulama), yang tidak boleh diikuti. Dan pendapat mereka pun bukan dalil, tidak boleh meninggalkan dalil demi mengikuti pendapat orang. Jika yang seperti ini diikuti, maka nikah mut'ah bisa jadi dihalalkan, minuman keras dan narkoba dihalalkan, pemahaman menolak takdir dianggap benar, dan lainnya.

* Syubhat: “musik itu seperti pisau, tergantung digunakan untuk apa. Jika untuk kebaikan, maka baik. Jika untuk keburukan maka buruk”.
Kaidah “hukmul wasa'il hukmul maqashid” (hukum sarana tergantung apa tujuannya) ini diterapkan pada perkara-perkara yang mubah (boleh). Sedangkan musik bukan perkara mubah. Banyak dalil yang mengharamkannya. Adapun pisau, tidak ada dalil yang mengharamkannya. Maka ini qiyas ma'al fariq (menganalogikan dua hal yang berbeda).

* Syubhat: “Kalau musik haram, maka bagaimana dengan suara burung, suara rintik hujan, suara ombak dan berirama seperti musik”
Yang diharamkan oleh Al Qur'an dan As Sunnah adalah ma'azif (alat musik). Adapun suara burung, rintik hujan, suara ombak itu semua tidak diharamkan oleh dalil. Dan tidak bisa di-qiyaskan karena suara-suara tersebut berbeda dengan suara alat musik.

* Syubhat: “Kalau musik haram, maka mengapa banyak sekali masyarakat yang memainkan?”
Patokan kebenaran adalah dalil Al Qur'an dan As Sunnah, bukan perbuatan kebanyakan orang. Kebenaran adalah kebenaran walaupun tidak ada yang melakukannya. Kesalahan adalah kesalahan walaupun dilakukan oleh semua orang.

* Syubhat: “Kalau musik haram, maka silakan diam di rumah saja karena di mana-mana banyak musik”
Tidak dipungkiri bahwa benar bahwa dimana-mana banyak musik. Ini hal yang kita patut disesalkan dan disedihkan. Karena banyak masyarakat Islam tidak paham hukum Islam. Namun bukan berarti dalam keadaan seperti ini kita tidak bisa beraktifitas, karena yang keliru adalah yang memainkan musik dan mendengarkannya dengan sengaja. Adapun yang mendengarkan musik karena tidak sengaja, maka ia tidak berdosa. Dan boleh saja masuk ke tempat-tempat yang ada musiknya seperti minimarket, pasar, bank, kantor-kantor, terminal, bandara, dan semisalnya jika tujuannya bukan untuk mendengarkan musik. Kaidah fiqhiyyah mengatakan:

يثبت تبعاً ما لا يثبت استقلالاً

“Terkadang suatu hukum berlaku jika ia sebagai perkara sekunder, namun tidak berlaku jika ia menjadi perkara primer”

Boleh masuk ke minimarket yang ada musiknya, karena musik di sana bukan tujuan primer kita. Namun ia perkara sekunder yang sifatnya mengikuti. Namun jika musik dijadikan tujuan primer ketika masuk ke minimarket, maka menjadi tidak boleh. 

Itu pun dengan tetap berusaha tidak berlama-lama dan berusaha untuk mengingkari sesuai kemampuan.

* Syubhat: “Kalau musik haram, mengapa pak Haji Fulan dan pak Ustadz Alan main musik?”
Perbuatan orang, apalagi orang zaman sekarang, sama sekali bukan dalil. Tidak kita bayangkan ada orang yang meninggalkan Al Qur'an, Sunnah dan Ijma ulama demi mengikuti si Fulan dan si Alan orang zaman sekarang. Mereka telah melakukan kemungkaran, dan kita doakan semoga mendapat hidayah.

Wallahu a'lam.

Join channel telegram @fawaid_kangaswad