Senin, 23 Agustus 2021

MUHAMMADIYAH, SUFI, & TAREKAT

MUHAMMADIYAH, SUFI, & TAREKAT

Belakangan ini di beranda saya marak diskusi tentang Muhammadiyah dan Sufi, ada yang offside dalam muzakarah tersebut, tak paham maksud Sufi yang ditentang oleh Muhammadiyah, baik dari warga Muhammadiyah maupun bukan.

Sufi belum tentu ikut Tarekat, tapi kesufian yang dikenal saat ini sangat identik dengan aneka “merk” Tarekat, saya belum menjumpai orang sufi yang mujahadatnya independen seperti Imam Al-Junayd, An-Naṣrābāżī, ‘Amrū bin ‘Uṡmān Al-Makkī, Al-Ḥāriṡ Al-Muḥāsibī, dan para salik lurus lainnya. Dengan kata lain, dalam khazanah tasawuf saat ini, hampir bisa dikatakan ijmak bahwa kesufian itu (mesti) bertarekat. Adapun buku Sang SUFI yang beredar itu berupaya menggiring opini bahwa KH. Ahmad Dahlan identik dengan ajaran Tarekat tertentu, ini yang dibantah oleh kader Muhammadiyah. Tapi bantahannya tampak kesasar menyasar sufi secara global (dimata orang diluar Muhammadiyah), meski yang dimaksudkan adalah yang bertarekat.

Secara resmi Muhammadiyah tidak terikat dengan mazhab fikih manapun, apatah lagi dengan tarekat. Hal ini ditegaskan oleh Majelis Tarjih Dan Tajdid (MTT) Muhammadiyah dalam Tanya Jawab Agama:

“Muhammadiyah meskipun tujuan ibadahnya sama dengan tarekat termasuk dengan umat Islam yang lain, yakni bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, namun dalam praktiknya Muhammadiyah berbeda dengan Tarekat. Untuk lebih jelasnya kami akan mencantumkan butir ke-3 dan ke-4 dari Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (MKCH) yang mengandung persoalan mengenai paham agama menurut Muhammadiyah.
..........
Menilik naskah MKCH Muhammadiyah di atas, maka jelaslah alasan Muhammadiyah tidak bertarekat, yakni karena dalam mengamalkan agama, adanya perbedaan mendasar khususnya dalam bidang praktik ibadah, seperti berdzikir, ratib, pembacaan wirid-wirid atau syair-syair tertentu yang diiringi dengan bunyi-bunyian rebana, melakukan gerakan-gerakan menari mengiringi wirid yang dibaca, berupa pengaturan nafas yang berisi dzikir tertentu. Berbagai contoh di atas tidak diamalkan oleh Muhammadiyah karena tidak ada tuntunannya. Melaksanakan amalan dalam bidang ibadah yang tidak ada tuntunannya tidak dapat dibenarkan...” [Majalah Suara Muhammadiyah, Edisi 5 Tahun 2015]

Pada hari Jumat, tanggal 22 Februari 2013 (11 Rabiulakhir 1434 H), MTT Muhammadiyah mendapat pertanyaan tentang kegiatan Suluk Tarekat Naqsabandiyah, ulama Muhammadiyah menjawab:

“Mengenai suluk sendiri, sejauh penelusuran kami dari berbagai sumber, ditemukan beberapa fakta yang perlu diketahui dan menjadi catatan di sini. Pertama, suluk menurut tarekat Naqsabandiyah – selain seperti yang dijelaskan bapak dalam pertanyaan di atas -merupakan suatu kegiatan yang biasa dilakukan oleh tarekat tersebut dua kali dalam setahun, yakni pada bulan Rabiulawal dan Ramadan. Kegiatan ini berlangsung beberapa hari, mulai siang dan malam dengan tujuan pembersihan diri dan pendekatan kepada Allah. Kedua, seorang yang mau mengikuti kegiatan suluk ini sebelumnya harus mau dibaiat agar berjanji mau mengikuti segala aturan yang ada dalam tarekat tersebut.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, kegiatan suluk seperti yang bapak tanyakan meskipun sekilas hampir mirip dengan i‘tikaf, tidak serta merta dapat disamakan secara mutlak dengannya, karena antara keduanya terdapat beberapa perbedaan yang cukup fundamental. Dalam i‘tikaf tidak ada waktu-waktu khusus dan bacaan-bacaan khusus yang harus dibaca, berbeda dengan kegiatan suluk yang mensyaratkan pelaksanaannya pada bulan Rabiulawal dan Ramadan. Selain itu, ketika seseorang akan melaksanakan i‘tikaf tidak perlu mengadakan baiat dengan siapapun, dan apabila dia adalah seorang perempuan maka tidak perlu diantar oleh pihak keluarga atau suaminya. Oleh karena itu saran kami, untuk lebih menjaga akidah dan ibadah kita dari hal-hal yang dapat mengotorinya, maka kita amalkan saja amalan-amalan yang sudah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kita tinggalkan amalan atau kegiatan yang tidak jelas atau bahkan tidak ada tuntunannya.” [Majalah Suara Muhammadiyah, Edisi 9 Tahun 2013]

Adapun istilah sufi atau tasawuf secara umum tanpa tendensi pada Tarekat manapun masih dipakai oleh ulama-ulama Muhammadiyah, termasuk juga istilah-istilah dalam ilmu Tasawuf seperti irfani, burhani, dll masih digunakan. Tapi konteks penggunaan tersebut jangan dipahami seperti penggunaan diluar Muhammadiyah, karena setiap tempat punya perkataan yang tepat dan setiap perkataan punya tempat yang tepat (لكل مقام مقال ولكل مقال مقام).

Sekian, semoga berfaedah. Amiin...

Salam Persahabatan Berkemajuan,
Alfan Edogawa
https://www.facebook.com/100007268449111/posts/2909640949288158/