FATWA VS DALIL (?)
"Tidak ada dalilnya atau beda pemahaman terhadap dalil?"
☆ ☆ ☆ ☆ ☆
Belakangan beredar narasi yang mengesankan kontradiksi antara fatwa dan dalil, semisal: “Kalau sudah ada dalil, maka wajib ikut dalil, tinggalkan fatwa ulama dan tidak boleh taqlid.”
Jika yang dimaksud dengan narasi semacam itu adalah bahwa dalil lebih diunggulkan dibandingkan pendapat ulama, dan bahwa tidak ada ucapan seorang pun yang lebih diunggulkan dibandingkan ucapan Nabi (shallallahu ‘alahi wa sallam), maka ini adalah prinsip yang benar dan harus diyakini oleh tiap muslim.
Namun, permasalahannya dan pertanyaannya:
● Benarkah para ulama itu, khususnya ulama Ahli Sunnah, bisa sedemikian lancangnya hingga berani berfatwa dan berkata tentang agama Allah tanpa ilmu/dalil?
● Benarkah fatwa para ulama itu tidak berdalil, ataukah justru para pengklaim itu yang tidak mengetahui dalil mereka?
Dalam bahasan disiplin ilmu Ushul al-Fiqh, yang dimaksud dengan dalil itu mencakup banyak jenis. Dalil itu tidak hanya: Quran dan Sunnah, tapi juga termasuk: Ijmak, Qiyas, serta dalil-dalil yang masih diperselisihkan seperti: qaul shahaby, istishhab, istishlah, istihsan, syar' man qablana, saddudz-dzari’ah, dan lain-lain. Jadi, apakah para pengklaim itu sudah memiliki pengetahuan yang memadai dan telah melakukan riset dengan baik, untuk kemudian mereka bisa menyimpulkan bahwa fatwa ulama itu tidak ada dalilnya atau menyelisihi dalil?
● Kalau misalnya ada hadis yang diklaim menyelisihi fatwa, maka apakah benar hadis itu tidak diketahui oleh para ulama tersebut, ataukah mereka memahami hadis tersebut tidak sebagaimana para pengklaim itu? Kalau sekadar ada dalil, bahkan seluruh sekte dalam Islam: Khawarij, Murjiah, Qadariyyah, Jabriyyah, dan seterusnya, pun juga punya dalil-dalil dari Quran dan Sunnah. Tapi problem umumnya adalah bukan terkait eksistensi dalil, namun yang lebih krusial adalah bagaimana cara memahami dalil tersebut secara tepat (termasuk dengan cara mengompromikannya dengan dalil-dalil lainnya). Selanjutnya, jika masalahnya adalah pemahaman terhadap dalil, maka apa masalahnya jika masyarakat lebih percaya pada pemahaman para ulama Ahli Sunnah terhadap dalil, yang pemahaman mereka dinilai lebih otoriatif?
Dari uraian di atas, tampak bahwa akar masalahnya tidaklah sesederhana sebagaimana klaim sebagian orang. Selanjutnya, sangat disayangkan klaim yang tidak tepat itu lantas menyebabkan sebagian orang bersikap ofensif, merendahkan, dan berburuk sangka kepada pihak lain, bahkan terhadap para ulama.
Demikian saja yang saya ingin tuliskan. Intinya, mari kita berusaha menyerap informasi secara benar, berpikir lebih kritis dan bersikap secara bijak. Semoga tulisan ini bisa dipahami dengan baik dan ada manfaatnya. Allahu a’lam.
14/08/2021
AdniKu