Jumat, 13 Agustus 2021

Fikih butuh kepada manhaj agar tidak kebablasan dan kesasar, begitu pula belajar manhaj pun perlu tahu fikih biar tidak asal seruduk..

Fikih butuh kepada manhaj agar tidak kebablasan dan kesasar, begitu pula belajar manhaj pun perlu tahu fikih biar tidak asal seruduk..

Dalam kajian manhaj, kita diajarkan kaidah untuk tidak boleh mendahulukan perkataan siapapun dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, termasuk jika itu perkataan ulama. Sampai di sini clear, sepakat.

Nah kalau seorang ulama belum pernah mendengar sebuah hadits, kemudian berfatwa yang menyelisihi hadits tersebut, maka wajar. Ini banyak terjadi di masa sahabat dan era sebelum pembukuan hadits. Silakan kaidah tadi dipakai.

Tapi kalau di masa sekarang para ulama berfatwa agar shaf renggang padahal Nabi menyuruh untuk rapat, lantas dibombardir dengan kaidah "Tidak boleh ikut ulama yang menyelisihi Nabi", maka ini penerapan kaidah yang tidak tepat. 

Para ulama itu tentu tahu hadits untuk merapatkan shaf, bahkan keseharian mereka di luar pandemi mengajarkan untuk merapatkan shaf.. Tidak mungkin mereka sengaja tinggalkan hanya demi menuruti pemerintah kerajaan, misalnya, atau yang lainnya.

Tapi perlu diingat bahwa dalil itu banyak, saling berhubungan dan berkaitan. 

Kita pernah belajar di ushul fiqh: kenapa ulama ketika mendapati dua dalil yang secara lahiriyah bertentangan, mereka berusaha mengkompromikannya? Semata agar semua dalil tersebut bisa diamalkan! Mereka tidak mau ada satu dalil pun yang mereka tinggalkan.

Kalau Anda dengan satu dalil sudah berani mengatakan para ulama sengaja menyelisihi dalil, maka mungkin justru Anda lah yang meninggalkan dalil-dalil lain yang mereka pakai. Sama saja kan jadinya? Anda katakan mereka tinggalkan dalil merapatkan shaf, sedangkan Anda pun sah untuk dikatakan meninggalkan dalil-dalil tentang penjagaan jiwa.

Jadi, sebaiknya kaidah itu dipakai pada tempatnya. Itu saja.
Ustadz Ristiyan Ragil