Senin, 16 Agustus 2021

IJTIHAD KOLEKTIF

IJTIHAD KOLEKTIF
____________________________________________

Proses ijtihad bukanlah sesuatu pekerjaan yang ringan, oleh karenanya secara etimologi ijtihad itu adalah: 

بذل الجهد لإدراك أمر شاق
"Mengerahkan kesungguhan/upaya untuk mendapatkan perkara yang berat/sulit"

Atau kalau didefinisikan secara terminologi kurang lebih: 

بذل الجهد لإدراك حكم شرعي
"Mengerahkan segala upaya untuk mengetahui hukum syari"

Pelaku ijtihad juga bukan orang yang sembarangan, dia adalah orang yang terkumpul dalam dirinya paling tidak beberapa syarat berikut: 

1. Mengetahui dalil-dalil syari (al-quran,  sunnah atau selainnya) dalam masalah yang sedang dibahas, dia tahu betul sohih atau lemahnya dalil, mengenal mana dalil yang sudah mansukh, mana yang masih eksis, tujuannya agar tidak berdalil dengan yang lemah, atau dengan  yang mansukh/tidak eksis.

2.Menguasai bahasa Arab yang dengannya menjadi wasilah untuk memahami dalil, karena sumber hukum semuanya berbahasa arab.

3. Mengetahui disiplin ilmu ushul fiqih dan mampu menerapkan kaidah-kaidahnya pada dalil untuk memahami dilalah dan maknanya. Tanpa ilmu ini, seorang yang berijtihad permisalannya seperti orang sudah di depan kompor, sudah ada wajan, sayur, bumbu dan bahan lainnya namun tidak mampu untuk mengolahnya.

4. Mengetahui mana masalah yang sudah dikonsensuskan (ijmak), mana yang masih ada silang pendapat, agar fatwanya tidak menyelisihi ijmak. 

Adapun berkaitan dengan hukum syari yang sedang diijtihadkan (المجتهد فيه) alias yang sedang dicari statusnya, ia adalah hukum-hukum syari dengan dalil-dalil yang dzonni, bukan yang memiliki dalil secara qat'iy (karena sudah tidak perlu diijtihadkan). 

Sebagaimana disebutkan di awal, bahwa proses ijtihad itu berat, syaratnya tidak ringan, sangat sedikit orang yang mampu dan mencapai level ini. Jika ada orang yang belum mencapai level tersebut namun memaksakan berijtihad maka berpotensi melahirkan hasil yang prematur, atau hasil ijtihad yang memiliki kecacatan.

Karena sulitnya mencapai level mujtahid, tidak dipungkiri maka kemudian muncul sebagian pendapat ulama bahwa ijtihad di masa belakangan sulit terwujud, atau sangat sedikit dan langka, sehingga sebagian mereka kemudian mewajibkan bagi yang awam untuk bermadzhab (mengambil semua azimah & rukhsoh) dari pendapat ulama terdahulu melalui kitab-kitab mereka, karena ulama terdahulu sudah jelas dan terakui pencapaian mereka pada derajat ijtihad.

Memang untuk mencapai level mujtahid dalam setiap pembahasan tema agama itu berat dan sedikit wujudnya, namun para ulama ushul fiqh membahas bahwa masih memungkinkan untuk menjadi mujtahid namun hanya dalam bagian kecil pembahasan tema agama, misal seorang dikatakan mujtahid dalam tema muamalat, atau dalam tema fiqih jinayat, atau mujtahid dalam tema fiqih keluarga (ahwal syakhsiyah) dan semisalnya, ini yang diistilahkan oleh para ulama dengan (تجزء الاجتهاد)  “mencapai level mujtahid dalam sebagian pembahasan”.

Nah, karena sulitnya menemukan adanya satu orang yang mencapai derajat ijtihad dalam semua aspek pembahasan agama, maka kemudian muncullah lembaga-lembaga ijtihad kolektif (الإجتهاد الجماعي) yang menghimpun para pakar dan ahli agama agar masing-masing bisa saling menutupi dan melengkapi, sehingga dengan kolektifitas itu mereka bisa mencapai level ijtihad secara menyeluruh dengan hasil ijtihad semakin sempurna. Taruhlah permisalannya muncul Majma fiqih islami milik robitah al-aalam al-islami, majma fiqih islami milik OKI, haiah kibar ulama kerajaan saudi arabia, al-lajnah al-daimah saudi arabia, majma fiqih islami di sudan dan india, dan lainnya.

Dengan ijtihad secara kolektif yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut, maka diharapkan bisa lebih meminimalisir kesalahan dan kecacatan dalam ijtihad jika dibandingkan dengan proses ijtihad individu (الإجتهاد الفردي) karena output hukum yang muncul adalah hasil diskusi dan pengompromian berbagai sudut pandang dari para ulama yang tergabung dalam lajnah.

Dalam salah satu jurnal yang ditulis perihal ijtihad kolektif oleh Prof Dr Mahir Hamid al-Hauly (dekan fak syariah univ islam gaza, palestina) beliau mengungkapkan:

الاجتهاد الجماعي له أهمية عظيمة كما له أغراض عملية كثيرة يحققها بتحققه. وهو أصل تشريعي تأتي مكانته بعد الإجماع الحقيقي التام، بل هو سبيل إليه في كثير من الأحيان وهو فوق القياس وفوق كل اجتهاد فردي 

“Ijtihad secara kolektif memiliki urgensi yang sangat agung dan tujuan-tujuan amaliah yang begitu banyak, itu semua tidak terwujud melainkan dengan merealisasikannya. Ia merupakan dasar syariat yang memiliki kedudukan setelah konsensus ulama, bahkan sejatinya ia adalah satu tahapan menuju konsensus ulama dalam banyak kesempatan, ia juga mempunyai kedudukan di atas qiyas dan ijtihad secara individu”. (Tandzimu al-Ijtihad al-jamaiy fi al-‘aalam al-islamy).

Dari keterangan tersebut kita pahami bahwa ijtihad kolektif itu begitu memiliki urgensi besar dalam menyimpulkan hukum syari, dan dia lebih baik daripada ijtihad secara personal/individu.

Di sisi yang lain, untuk orang awam seperti saya, hasil simpulan hukum dari ijtihad secara kolektif ini lebih menentramkan bagi saya untuk diadopsi daripada hasil ijtihad individu. Dan secara kaidah memang demikian yang disebutkan, jika seorang awam menghadapi suatu masalah dan mendapati fatwa yang berbeda-beda dalam perkara itu, satu bilang A, lainnya bilang B, lainnya lagi C,  maka salah satu cara untuk memilih fatwa terkuat bagi awam adalah dengan melihat mana kuantitas ulama yang lebih banyak berpendapat dari salah satu pendapat yang ada.
Syaikh Dr Sa’d bin Nashir al-Syatsry mengatakan:

والعامي مطالب باتباع شرع الله، ولا يعرف شرع الله إلا بقول المفتي، فإذا اختلفت عليه أقوال المفتين وجب عليه العمل بما يغلب على ظنه أنه شرع الله سواء غلب على ظنه بوساطة كثرة المفتين بأحد الأقوال، أوبأفضلية القائلين به، أو بالأدلة الشرعية

“Seorang awam dituntut untuk mengikuti syariat Allah, dan ia tak akan mengenal syariat Allah melainkan dengan perantara fatwa seorang mufty. Jika fatwa para mufty ia dapati berbeda-beda, wajib atasnya untuk beramal dengan apa yang dominan dari prasangka kuatnya bahwa salah satu pendapat itulah yang merupakan syariat Allah, entah ia dapatkan dominannya prasangka itu karena sebab banyaknya  mufty yang berpegang dengan salah satu pendapat, atau dengan menengok siapa yang paling afdol dari para mufty tersebut, atau dengan perantara dalil syari”. (al-Qawaid al-Ushuliah wa al-Fiqhiyyah al-Muta’alliqah bi al-Muslim Ghair al-Mujtahid hal:26).
______________________________________________

Kesimpulannya: ijtihad secara kolektif memiliki urgensi yang begitu besar dalam memecahkan permasalahan-permasalahan kontemporer dan nawazil yang tak putus dan senantiasa baru di tengah umat, dan bagi orang awam seperti saya, hasil ijtihad secara kolektif itu lebih menentramkan untuk diterima, apalagi jika itu hasil ijtihad kolektif para ulama internasional yang sudah tidak diragukan lagi kepakarannya. Wallahu a’lam.
Ustadz setia Setiawan 
https://www.facebook.com/1719921258/posts/10208482057045181/