Jumat, 13 Agustus 2021

Beramal dengan kitab-kitab mazhab Ada diskusi menarik dalam tweet Masyaikh : Syaikh Abdul-Aziz Ar-Rays menuliskan: "Kitab-kitab Fiqh dalam mazhab yang 4 tidaklah ditulis berdasarkan yang rajih berdasarkan dalil, namun hanya rajih berdasarkan mazhabnya, maka tidak boleh beribadah dengannya (sesuai kitab-kitab mazhab).

✒️ Beramal dengan kitab-kitab mazhab

   Ada diskusi menarik dalam tweet Masyaikh :

   Syaikh Abdul-Aziz Ar-Rays menuliskan: "Kitab-kitab Fiqh dalam mazhab yang 4 tidaklah ditulis berdasarkan yang rajih berdasarkan dalil, namun hanya rajih berdasarkan mazhabnya, maka tidak boleh beribadah dengannya (sesuai kitab-kitab mazhab). Sesungguhnya ia (kitab-kitab mazhab) hanya penolong yang baik dalam belajar fiqh, tanpa perlu melampaui batas dan tidak pula meremehkan" (tweet Syaikh Abdul-Aziz Ar-Rays حفظه الله).

   Maka twit tsb kemudian disanggah oleh Syaikh Badr Al-Utaibiy : "Seandainya Syaikh yang mulia ketika mengkritisi ta'asshub mazhab tidak perlu sampai mengkritisi mengikuti mazhab hingga tingkat meremehkan matan-matan Fiqh dan mengatakan bahwa itu tidak bisa diamalkan. Yang benar beribadah dengannya adalah BOLEH bagi :
1. Alim yang sepakat dengannya
2. Orang bodoh yang taqlid. Yang tidak boleh (ikut kitab mazhab) adalah bagi yang telah tampak baginya bahwa yang tertera di kitab mazhab adalah bertentangan dengan dalil, dan itu adalah posisi mujtahid dan memang pantas untuk melakukan itu"(Tweet Syaikh Badr Al-Utaibiy حفظه الله تعالى).

   Jika kita bahas lebih dalam, pengetahuan terhadap amalan-amalan hamba beserta hukumnya itu adalah inti dan hakikat "Fiqh".

   Imam Al-Juwainiy mendefinisikan "fiqh" sebagai : Mengetahui hukum-hukum syar'iy dengan cara ijtihad". (Al-Waraqat fi Ushul Fiqh). Sebagian ulama menambahkan keterangan : hukum syar'iy yakni bab amalan, karena bab keyakinan itu bukanlah ranah ilmu Fiqh melainkan ranah ilmu Aqidah atau I'tiqad. Dan juga ada yang menambahkan keterangan :
... بأدلتها التفصيلية
"... Dengan dalil-dalilnya secara terperinci". Maka mengetahui hukum amalan hamba alias Fiqh itu butuh kepada ijtihad terhadap dalil-dalil syar'iy yang itu dilakukan oleh mujtahid, apakah mutlaq atau mujazza.

   Kitab-kitab Fiqh itu sendiri dari manakah asalnya? Dahulu ijtihad-ijtihad para ulama baik dari kalangan para Sahabat رضي الله عنهم dan Tabi'in sebenarnya telah tertulis bahkan adakalanya lengkap dengan sanadnya. Silakan anda buka Shahih Al-Bukhariy, maka dalam bab-bab nya akan anda saksikan aqwal para Sahabat dan Tabi'in baik dalam Tafsir atau qawl berhubungan dengan Hadits atau Fiqh nya bahkan bisa dibilang amat jarang Imam Al-Bukhariy menukil aqwal Tabi'ut-Tabi'in, seperti Imam Malik dan Imam Asy-Syafi'iy atau yang semisalnya.

   Jika anda buka lagi kitab Muwattha Imam Malik bin Anas, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah dan Mushannaf Abdurrazzaq Ash-Shan'aniy niscaya anda akan dapati penuh qawl para Ulama tsb baik dari kalangan para Sahabat, Tabi'in maupun qawl sang penulis sendiri seperti Imam Malik yang menorehkan Muwattha.

   Kemudian dari era Sahabat dan Tabi'in tsb beralih ke era Tabi'ut-Tabi'in, di era ini kebanyakan mazhab yang berkembang hingga hari ini seperti Imam Malik dan Imam Asy-Syafi'iy, maupun mazhab yang telah punah seperti mazhab Imam Sufyan Ats-Tsauriy, mazhab Imam Al-Awza'iy, mazhab Imam Laits bin Sa'ad dan lainnya. Adapun Imam Ahmad bin Hanbal beliau era tepat setelah Tabi'ut-Tabi'in.

   Imam Malik mendiktekan Muwattha kepada murid-muridnya, bahkan telah mengalami beberapa revisi, bisa dilihat dengan banyaknya atsar di riwayat Abu Mush'ab Az-Zuhriy dan berkurang jauh di riwayat Yahya Al-Laitsiy. Dan kemudian Imam Malik sering ditanya berbagai permasalahan oleh murid-muridnya yang itulah kemudian ditorehkan dalam "Al-Mudawwanah Al-Kubra".

   Imam Asy-Syafi'iy, maka pengikutnya termasuk yang paling berbahagia dan tidak perlu bersusah payah, karena Ushul Fiqh dan Furu' nya telah lengkap terlebih dahulu digariskan oleh Imam nya, Ar-Risalah dalam Ushul Fiqh nya, Al-Umm dalam Furu' nya, ditambah Mukhtashar Al-Buwaithiy dan Mukhtashar Al-Muzaniy yang hakikatnya juga mengumpulkan aqwal Imam Asy-Syafi'iy, belum lagi jika ditambah dengan kutub dan riwayat-riwayat Imam Al-Baihaqiy dengan sanadnya yang bersambung kepada Imam Asy-Syafi'iy.

   Ini awal pembukuan kitab mazhab. Kemudian era setelahnya manusia semakin bodoh dan akalnya tidak sekuat para imam pendahulu, jelas saja karena hal tsb memang telah diisyaratkan dalam Hadits :
لا يأتي على الناس زمان إلا والذي بعده شرّ منه
"Tidaklah datang kepada manusia suatu zaman, kecuali zaman setelahnya akan lebih buruk daripada sebelumnya".

   Sehingga kitab-kitab besar tersebut menjadi sulit bagi orang-orang setelahnya, maka perlu diringkas terlebih dahulu dalam rangka memudahkan pemula dalam belajar Fiqh.

   Mukhtashar Al-Muzaniy tsb sempat disyarah panjang lebar oleh Imam Al-Mawardiy dalam "Al-Hawiy Al-Kabir" bahkan dengan khilaf nya yang kebanyakan khilaf antara Imam Asy-Syafi'iy dengan Imam Abu Hanifah. Lalu beliau meringkas simpulan-simpulan dalam mazhab Asy-Syafi'iy ke dalam "Al-Iqna'. Setelahnya Qadhi Abu Syuja' meringkas kembali poin-poin yang disebutkan oleh Imam Al-Mawardiy dan dituangkan dalam "Matan Ghayah wa Taqriib" atau biasa dikenal dengan Matan Abi Syuja'.

   Belajar secara bertahap hakikatnya merupakan tuntunan Qur'an dan juga wasiat para Salafusshalih. Allah Ta'ala berfirman :

ولكن كونوا ربانيين بما كُنتم تعلّمون الكتاب وبما كنتم تدْرسون
  "Akan tetap jadilah kalian orang-orang yang rabbaniy dengan cara kalian mengajarkan Al-Kitab dan dengan cara mempelajarinya" (QS Ali Imran : 79)

   Ibnu Abbas رضي الله عنه menyebutkan sebagaimana yang dinukil oleh Imam Al-Bukhariy bahwa alim rabbaniy :

الذي يُربي الناس بصغار العلم قبل كباره
 "Orang yang mendidik manusia dengan ilmu-ilmu yang kecil terlebih dahulu sebelum ilmu-ilmu yang besar". Di antara cara rabbaniy adalah mengajarkan matan-matan yang kecil karena di dalamnya para Fuqaha telah mengumpulkan masalah-masalah yang paling penting dalam Bab Thaharah, Shalat, Zakat, Puasa, Haji dan sebagainya. Bukan malah langsung nyebur ke "Al-Umm" Imam Asy-Syafi'iy yang bagai lautan ilmu yang hanya membuat pemula tenggelam tanpa paham. Ana pernah dengar Syaikhunaa fil-Fiqh Dr Isma'il Asy-Syindidiy, yang beliau takhasshus nya adalah Fiqh Asy-Syafi'iy, beliau mengaku bahwa baru menyentuh Al-Umm setelah berhasil selesai Doktoral Fiqh mazhab Asy-Syafi'iy.

   Demikian pula dalam mazhab Imam Ahmad bin Hanbal yang aslinya beliau tidak ingin menulis sendiri Fiqh nya. Namun Imam Ahmad bin Hanbal dikarunai murid-murid setia yang menghimpun pertanyaan-pertanyaan plus jawaban Imam Ahmad, seperti Masail anaknya Abdullah, Masail Abu Dawud, Masail Al-Kawsaj, dll Masail riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal. Lalu datang Imam Al-Khallal yang mengumpulkan ilmu-ilmu Imam Ahmad bin Hanbal dari ratusan Ashab nya. Lalu datang setelahnya Imam Al-Khiraqiy yang mengumpulkan berbagai riwayat Imam Ahmad tsb dan dipilih-pilih kiranya mana aqwal terakhir Imam Ahmad dalam Mukhtashar Al-Khiraqiy. Dan pada abad ke 7 H datang Imam Ibnu Qudamah Al-Hanbaliy yang mensyarah panjang lebar matan Al-Khiraqiy tsb beserta berbagai riwayat Imam Ahmad bin Hanbal, adakalanya beliau mengikuti yang masyhur dan adakalanya mengikuti riwayat yang gharib jika dalilnya lebih shahih dan juga khilaf dengan mazhab-mazhab lainnya.

   Inilah peninggalan kutub mazahib yang amat berharga, bukan hanya sebagai pembelajaran akan tetapi juga untuk diamalkan karena itulah yang RAJIH MENURUT PARA IMAM MUJTAHID TSB, tentunya untuk diamalkan, karena nyatanya kutub Fiqh tsb berisi tentang bagaimana Shalat, bagaimana Zakat, bagaimana Puasa, bagaimana Haji dan bagaimana Mu'amalah dll. 

   Imam Al-Baihaqiy menyatakan bahwa barangsiapa yang meyakini apa yang beliau maktubkan di "Al-Irsyad" dan juga "As-Sunan Ash-Shaghir" maka in sya Allah termasuk orang yang beriman dan BERAMAL SHALIH.

Allamah Ibnu Raslan berkata dalam "Zubad" nya:

وَبَعْدُ هذِي زُبدٌ نظَمتُهَا # أبيَاتُهَا ألْفٌ بما قَد زدْتُهَا
...
تَكْفِي مع التّوْفِيقِ لِلمُشْتَغِلِ # إنْ فُهِمَتْ وأتْبِعَتْ بالعَمَلِ
"Adapun setelah itu, ini adalah zubad yang aku gubah # Baitnya seribu bait dan aku tambah...
(Bait) ini cukup dengan taufik dari Allah bagi yang menyibukkan diri dengannya # Jika bisa dipahami dan diikuti amalannya. 

   Jika ada yang bilang : Kita tidak boleh taqlid, akan tetapi HARUS membandingkan masing-masing dalilnya mana yang sesuai Qur'an dan Sunah... Sebenarnya perkataan tsb tidaklah salah, akan tetapi siapakah yang mampu?

    Imam Utsman bin Sa'id Ad-Darimiy berkata :

 "Tidak setiap manusia mampu membandingkan riwayat-riwayat (Hadits) dengan Qur'an lantas mengetahui mana yang sesuai dan mana yang bertentangan (secara zhahirnya), sesungguhnya yang mengetahui itu HANYA PARA FUQAHA, ULAMA YANG AHLI LAGI PENELITI..."(Naqdh Utsman Ad-Darimiy: hal 230).

   Nah tinggal masing-masing kita berkaca sejauh mana ilmunya tentang Qur'an, mana Nasikh-mansukh nya, mana yang umum dan mana yang khusus, mana yang global dan mana yang terkait sifat tertentu, apakah benar telah memiliki bekal ilmu untuk memahami Qur'an, ini baru Qur'an bagaimana menjamaknya dengan Hadits Nabi صلى الله عليه وسلم, metode penggabungan dalil apa yang dipakai... Jelas sekali ini bukan mainan orang awam, akan tetapi tugas para Ulama Fuqaha sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ad-Darimiy.

  Syaikh Badr Al-Utaibiy juga menyatakan bahwa barangsiapa yang telah bisa ijtihad maka dipersilakan untuk melakukan tarjih dan tidak mengikuti kitab-kitab mazhab, memang demikian semestinya. 
  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :

"Adapun MUJTAHID maka silakan ia melihat karya-karya ulama mutaqaddimin di kurun yang tiga KEMUDIAN MENTARJIH yang sepatutnya ditarjih (Majmu Fatawa: 10/ 175).

   Kaidah-kaidah dalam tarjih biasanya ditaruh di bagian akhir kitab-kitab Ushul Fiqh. Tarjih terkait Hadits saja, Imam As-Suyuthiy menuliskan sekitar 100 cara di Tadribur-Rawi, ini baru seputar Hadits. Tarjih itu bukan sekedar ada dalil atau tidaknya. Akan tetapi melihat apakah ada ijma' atau tidak, jika khilaf maka lihat lagi mana dalilnya yang lebih umum maka dalil yang lebih khusus didahulukan daripada yang umum, untuk mengetahui umum dan khusus diperlakukan pengetahuan terkait Bahasa Arab dan cakupan lafazh tsb dalam Bahasa Arab. Mana yang mujmal dan mana yang muqayyad, maka dahulukan yang muqayyad apakah secara wajib sebagaimana menurut Hanabilah, atau sebagai kehati-hatian sebagaimana menurut Syafi'iyyah, belum perlu dilihat apakah itu dalam sebab dan hukum yang sama atau salah satunya, masing-masing ada khilaf nya dalam Ushul Fiqh. Jika dalilnya sama-sama hadits maka dilihat apakah bersesuaian atau khilaf secara zhahir sehingga perlu dijamak de el el sekian metode dalam tarjih. Belum metode tarjih tsb terdapat khilaf antara mujtahid yang satu dengan yang lain, metode tarjih mana yang anda pakai?
Ustadz varian Ghani