AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH MELIPUTI SEMUA PERBUATAN HAMBA SEBAGAIMANA TAKDIR ALLAH MELIPUTINYA
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- berkata:
“Dzikri Amri (syari’at Allah) meliputi semua perbuatan para mukallaf (orang yang dibebani untuk melaksanakan syari’at); baik berupa: perintah, larangan, izin (tentang hal yang dibolehkan), atau ‘afwu (yang dimaafkan).
Sebagaimana Dzikri Qadari (takdir Allah) meliputi semuanya; berupa: ilmu Allah, kitabah (penulisan), maupaun qadar (takdir). Maka ilmu-Nya, penulisan-Nya, dan takdir-Nya telah meliputi semua perbuatan hamba-Nya, sebagaimana perintah-Nya, larangan-Nya, pembolehan-Nya, dan ma’af-Nya…telah meliputi semua perbuatan hamba yang berkaitan dengan taklif (pembebanan syari’at).
Maka tidak ada satu pun perbuatan hamba yang keluar dari salah satu dari 2 (dua) hukum: kauni (takdir) atau syar’i amri.
Sungguh, Allah -Subhaanahu- telah menjelaskan melalui lisan Rasul-Nya -dengan firman-Nya dan sabda Rasul-Nya-:
- semua yang Dia perintahkan,
- semua yang Dia larang,
- semua yang Dia halalkan,
- semua yang Dia haramkan,
- dan semua yang Dia ma’afkan.
Dengan inilah agama-Nya telah sempurna, sebagaimana yang Allah -Ta’aalaa- firmankan:
{الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي...}
“…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu…” (QS. Al-Maa-idah: 3)
Akan tetapi terkadang pemahaman kebanyakan manusia kurang mampu untuk memahami apa yang ditunjukkan oleh dalil-dalil, dan segi serta tempat pendalilannya. Dan umat ini berbeda-beda dalam tingkatan pemhaman terhadap (maksud) Allah dan Rasul-Nya dengan (tingkatan-tingkatan) yang tidak ada yang mampu untuk menghitungnya kecuali Allah. Kalaulah semua pemahaman adalah sama; maka tentunya akan sama juga pijakan (kekuatan) para ulama dalam ilmu.”
Kemudian beliau -rahimahullaah- berkata:
“Dalil-dalil telah meliputi hukum-hukum tentang segala yang terjadi. Dan Allah dan Rasul-Nya tidak mengarahkan kita kepada ra’yu (pendapat) dan tidak juga qiyas. Bahkan Allah telah menjelaskan semua hukum secara keseluruhan, dan dalil-dalil telah mencukpi dan meliputi semuanya. Dan qiyas yang shahih; maka itu benar dan pasti sesuai dengan dalil, sehingga menjadi dua dalil: Al-Kitab dan Al-Mizan (qiyas), dimana terkadang penunjukkan dalil tersamar atau tidak sampai kepada seorang ulama sehingga (ulama tersebut) berpaling kepada qiyas; kemudian terkadang tampak kesesuaiannya dengan dalil sehingga menjadi qiyas yang shahih, dan terkadang tampak penyelisihannya terhadap dalil sehingga menjadi qiyas yang fasid (rusak).”
Beliau juga pernah berkata ketika menjelaskan faedah firman Allah:
{...فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ...}
“…Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu (apa pun); maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya),…”(QS. An-Nisaa’: 59)
“Firman-Nya:
{فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ}
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu (apa pun)”
(Kata شيء) di sini adalah “isim nakiroh” dalam kalimat berbentuk “syarth” sehingga berlaku umum mencakup segala yang diperselisihkan oleh kaum mukminin dalam masalah-masalah agama; baik yang kecil maupun yang besar, dan baik yang jelas maupun yang samar. Kalaulah di dalam Kitabullah (Al-Qur-an) dan (Sunnah) Rasul-Nya tidak ada penjelasan tentang hukum dari apa yang diperselisihkan oleh mereka; maka (keduanya) tidaklah mencukupi, dan tentunya Allah tidak akan perintahkan untuk mengembalikan kepadanya. Karena, tidak mungkin Allah -Ta’aalaa- memerintahkan -ketika terjadi perselisihan- untuk kembali kepada yang tidak ada pemutus perselisihan.”
[“I’laamul Muqwaqqi’iin” (II/90 & 97) dan (I/92) -cet. II)]
-diterjemahkan & diberi judul oleh: Ahmad Hendrix