Kamis, 22 Juli 2021

Sulṭānul-MutakallimīnFAKHRUDDĪN AR-RĀZĪ(Akidah & Sikapnya terhadap Ilmu Kalam, 1/8)


Dulu ramai tanggapan karena banyak yang baru tahu, ada yang tercerahkan tapi ada pula yang tambah $#@€&¥%£¿₦.

Tambahan sekilas info:
Ulama kontemporer yang secara tegas juga tobat dari Ilmu Kalam adalah Imam Sājiqlī Zādah Al-Mar‘asyī Al-Hanafī (w. 1145 H), keputusan besar beliau ini karena mengikuti langkah Imam Al-Gazzali. 

Bahkan tokoh mutakallimin maturidi dizamannya ini memohon kepada Allah agar tidak dikumpulkan dengan para mutakallimin diakherat kelak. Pertobatan ini justru terjadi setelah Beliau menulis kitab ilmu kalam level tinggi, judulnya Nasyruth-Thawāli‘.

Oleh karena itu, beliau berupaya mengumpulkan naskah² kitab ilmu kalamnya untuk dibakar, agar bekas² ilmu kalam benar² bersih dari dirinya, tapi upaya itu tidak berdaya saking meluasnya sebaran kitab tsb.



Sulṭānul-Mutakallimīn
FAKHRUDDĪN AR-RĀZĪ
(Akidah & Sikapnya terhadap Ilmu Kalam, 1/8)

Dalam Ṣaqāfah Ad-Dā‘iyah (hal. 81), Dr. Syekh Yūsuf Al-Qaraḍāwī mengatakan:

أن نتبنى طريقة السلف في وصف الله تعالى بما وصف به نفسه من غير تكييف ولا تمثيل، ولا تحريف ولا تعطيل. وهي الطريقة التي انتهى إليها أساطين علم الكلام من الأشاعرة وغيرهم، مثل أبي الحسن الأشعري في "الإبانة" والغزالي في "إلجام العوام عن علم الكلام" والفخر الرازي في "أقسام اللذات" حيث يقول فيه:
"لقد تأملت المناهج الفلسفية، والطرق الكلامية، فلم أرها تشفي عليلا أو تنقع غليلا. ورأيت خير الطرق طريقة القرآن: اقرأ في الإثبات "الرحمن على العرش استوى" واقرأ في النفي "ليس كمثل شيء". ومن جرب مثل تجربتي، عرف مثل معرفتي
“Hendaklah kita mengadopsi metode Salaf dalam menyifatkan Allah taala sebagaimana yang Dia telah sifatkan pada diri-Nya sendiri tanpa takyīf, tanpa tamṡīl, tanpa taḥrīf, dan tanpa ta‘ṭīl. Inilah metode yang menjadi pengakhiran bagi ulama² besar dalam Ilmu Kalam, baik dari kalangan Asyā‘irah dan selain mereka, seperti Abul-Ḥasan Al-Asy‘arī dalam kitab Al-Ibānah, Al-Gazzālī dalam kitab Iljamul-‘Awam ‘an ‘Ilmil-Kalām, dan Al-Fakhr Ar-Rāzī dalam kitab Aqsāmul-Lażżāt yang mana beliau menyebutkan di dalamnya: 

“Aku telah meneliti manhaj² Ahli Falsafah dan metode² Ahli Kalam, maka aku tidak melihat manhaj dan jalan tersebut bisa memgobati orang yang sakit (akidahnya) dan (tidak juga dapat) menghilangkan dahaga (bagi orang yang haus tentang ilmu² akidah). Lalu aku melihat bahwa sebaik² jalan adalah metode Al-Qur’an. Bacalah tentang iṡbat sifat (pada firman Allah taala): ‘Ar-Raḥman (Allah) ber-istiwā’ di atas Arasy’; dan bacalah tentang penafian (pada firman Allah taala): ‘Tiada sesuatu jua pun yang menyamai-Nya’; Maka barangsiapa yang melakukan kajian seperti kajian yang Kulakukan, maka dia akan mengetahui seperti yang telah Kuketahui”.

Faedah yang dapat kita petik dari keterangan diatas adalah bahwa ulama besar selevel Sulṭānul-Mutakallimīn Imam Fakhruddīn Ar-Rāzī Asy-Syāfi‘ī (w. 606 H) raḥmatullāh ‘alayh pun meninggalkan metode Kalāmiyyah dalam memahami Akidah Islam, khususnya tentang sifat² Allah, dan rujuk kepada metode Salaf yang berdasarkan metode Al-Qur’an. Hal senada juga disebutkan oleh Syekh Al-‘Allāmah Muhammad Al-Amīn Asy-Syinqiṭī Al-Mālikī (1325-1393 H) raḥmatullāh ‘alayh dalam kitab Aḍwā’ul-Bayān fī Īḍāḥil-Qur’ān bil-Qur’ān (7/506-507):

واعلم أيضا أن الفخر الرازي الذي كان في زمانه أعظم أئمة التأويل رجع عن ذلك المذهب إلى مذهب السلف معترفا بأن طريق الحق هي اتباع القرآن في صفات الله.
وقد قال في ذلك في كتابه: أقسام اللذات.
لقد اختبرت الطرق الكلامية، والمناهج الفلسفية، فلم أجدها تروي غليلا، ولا تشفي عليلا، ورأيت أقرب الطرق طريقة القرآن أقرأ في الإثبات: {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى}، {إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ}، وفي النفي: {لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ} [الشورى:11]، {هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً} [مريم:65]، ومن جرب مثل تجربتي عرف مثل معرفتي.

Dalam Risālah Żamm Lażżat Ad-Dunyā, kitab pungkasan yang selesai ditulis oleh Sang Sulṭānul-Mutakallimīn pada tahun 604 Hijriah (2 tahun sebelum kewafatannya), berisi tentang ringkasan sekaligus kesimpulan perjalanan (pengalaman) intelektualnya dalam dunia Kalāmiyyah dan ‘Aqliyyah. Disebutkan pada Bagian Ketiga tentang Al-Lażżāt Al-‘Aqliyyah, bahwa Sulṭānul-Mutakallimīn sangat menyesal dan bersedih karena terlalu mendalami Ilmu Kalam hingga hampir tenggelam, mengeksplorasi sekaligus mengeksploitasi Ilmu Kalam dalam memahami tentang Ilah (Tuhan). Ilmu Kalam yang disangka obat, ternyata bukan; dikira burhan qaṭ‘i, ternyata zan belaka; diduga metode terbaik, ternyata tidak. Sulṭānul-Mutakallimīn menutup risalah tersebut dengan syair yang aura kesedihannya sangat kuat terasa:

نهاية إقدام العقول عقال
 وغاية سعي العالمين ضلال
Akhir dari mendahuluan akal adalah belenggu;
Dan puncak usaha orang-orang yang tahu adalah kesesatan.

وأرواحنا في وحشة من جسومنا
وحاصل دنيانا أذى ووبال
Ruh-ruh kita liar dalam jasad-jasad kita;
Dan hasil dunia kita adalah kesusahan dan bencana.

ولم نستفد من بحثنا طول عمرنا
سوى أن جمعنا فيه: قيل وقالوا
Kita tak memperoleh dari pembahasan kita sepanjang umur kita;
Selain kita mengumpulkan, katanya dan katanya.

فكم قد رأينا من رجال ودولة
فبادوا جميعا مسرعين وزالوا
Betapa banyak kita melihat para tokoh dan negara;
Kemudian mereka semua  musnah binasa.

وكم من جبال قد علت شرفاتها
رجال فزالوا والجبال جبال
Betapa banyak gunung (ilmu kalam) yang telah didaki puncak gunung;
Oleh orang-orang, kemudian mereka binasa, sedang gunung itu tetap gunung.

Demikianlah tulisan ringkas tentang rujuknya Sulṭānul-Mutakallimīn dari Ilmu Kalam, apa yang disebutkan oleh Syekh Al-Qaraḍāwī dan Syekh Asy-Syinqiṭī hanyalah hasil tahkik dan tarjih dari ulama² terdahulu, seperti Al-Ḥāfiẓ Ibnu Kaṡīr, Al-Ḥāfiẓ Aż-Żahabī, dan yang lainnya. Secara tersurat dapat kita pahami bahwa Sulṭānul-Mutakallimīn telah rujuk kepada Mazhab Salaf, dan secara tersirat bahwa  Ilmu Kalam bukan metode Al-Qur’an yang dipakai oleh ulama Salaf Ahlussunnah dalam memahami nas² sifat.

Walau begitu, mempelajari Ilmu Kalam itu penting untuk menjadi bekal ketika berhadapan dengan sekte² sesat lagi menyesatkan yang terpapar Helenisme, tapi jangan menggunakannya dalam memahami hakikat Allah. Imam Ibnu Hurmuz, misalnya. Beliau pakar Ilmu Kalam dikalangan Salaf, bahkan sejarah mencatat bahwa Imam Mālik belajar Ilmu Kalam kepadanya selama 15 tahun. TETAPI, Kedua Ulama Salaf tersebut tidak menggunakan Ilmu Kalam dalam memahami Akidah Islam, alias hakikat ketuhanan. 

Bagi Anda yang tergiur belajar Ilmu Kalam, lebih baik jangan diteruskan. Bagi Anda yang terlanjur menyelaminya, jangan sampai tenggelam, segera kembali ke “daratan”, sebagaimana yang dilakukan oleh Sulṭānul-Mutakallimīn. Bersambung...[æ]

Salam Persahabatan,
Alfan Edogawa
https://www.facebook.com/100007268449111/posts/2887452738173646/