Sabtu, 31 Juli 2021

Jika menoleh kitab² ulama terdahulu, maka urusan fatwa akan dialihkan pada ulama yang memiliki kompetensi dan kredibilitas serta populer dengan fiqh dan mahir serta cakap dalam kaedah² istimbath.

Jika menoleh kitab² ulama terdahulu, maka urusan fatwa akan dialihkan pada ulama yang memiliki kompetensi dan kredibilitas serta populer dengan fiqh dan mahir serta cakap dalam kaedah² istimbath. 

Adapun dimasa kini, manhaj yang seharusnya menjadi pegangan ini, malah  tidak diindahkan. Sehingga wajar, jika siapa saja bisa mengeluarkan fatwa, terlepas apakah ia memiliki alat atau tidak, karena yang terpenting menurutnya adalah dalil. Padahal dalil dan hukum ini perlu ada peran ketiga yang mengintegrasikannya, yaitu mujtahid.

Lalu mujtahid ini memerlukan beberapa syarat yang mesti dipenuhi didalam melakukan proses nadzor sehingga bisa sampai kepada hukum yang diharapkan :
Pertama: pelaku mesti memiliki komponen ijtihad yang komplit
Kedua : mesti objek yang dikaji adalah dalil bukan syubhat
Ketiga : memenuhi semua syarat² pendalilan, serta meletakkan dalil sesuai dengan tingkatannya. 

Hal ini yang dikemukakan oleh Abu Ishaq dalam luma' dan syarahnya. 

Sedangkan  at tilmisāny dalam "miftāhul wushul" menyebutkan kriteria sebuah dalil yang layak digunakan, mesti memiliki beberapa kriteria:
Pertama: memiliki validitas
Kedua: dipastikan dilalahnya  harus jelas dan terang pada sebuah objek
Ketiga: dalil tersebut mesti tsabit (eksis) tidak mansukh.
Keempat: memastikan tidak ada dalil lain yang menyelisihinya.

Nah inilah secara garis besar persyaratan yang diperlukan, baik persyaratan yang kembali pada pelaku yaitu mustadil  (dalam hal ini adalah mujtahid) atau kepada dalil itu sendiri. Karena jika dirinci setiap point diatas, akan memerlukan kitab tersendiri. 

Terakhir, Sudahkan hal ini terwujud pada kiyai, ustadz, syaikh, tuan guru anda?..
Lalu bagaimana anda tahu hal ini terwujud jika anda bukan bagian dari ahlinya. 
Oleh karenanya, benar kata ahli hikmah:
لا يعرف الفضل لأهل الفضل إلا ذو الفضل
Ustadz abu fadhlullah


Mungkin memang banyak kita temukan fenomena seorang yang berfatwa padahal belum mempunyai perangkat untuk ijtihad yang komplit, atau bisa dikatakan memang yg bersangkutan bukan mujtahid.. 
Akhirnya ijtihad yg dia keluarkan adalah ijtihad yg qashir, atau memiliki kecacatan...
Biasanya fenomena seperti ini salah satu sebabnya adalah yg bersangkutan tidak mawas diri bahwa dia belum dalam ranah mujtahid, tapi sudah merasa mencapai martabah itu.. 

Nah, pengen tanya solusinya ustadz, untuk di era sekarang, terutama lingkup nasional, seorang dikatakan telah mencapai derajat ijtihad itu indikatornya apa,,  dan siapa yang berhak menetapkan bahwa fulan mujtahid ataukah bukan, atau adakah lembaga khusus atau personal yang memiliki Otoritas untuk menentukan hal tersebut..? 

Baarakallahu fiikum
Ustadz setia Setiawan